Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Neng Harum, biar bibi saja!” Seruan Bi Jenah dari belakang, mengagetkan Harum yang pagi itu tengah sibuk di dapur.
“Astagfirulloh, Bi Jenah ngagetin saja.” Harum sungguh terkejut dengan kemunculan ART berusia empat puluh tahunan itu. Bahkan, ia lupa jika sejak semalam Jenah tinggal di rumah ini.
Ya, kemarin mertuanya datang dengan membawa serta Bi Jenah—ART yang sudah lama bekerja di keluarga Hangga. Tujuannya adalah memperkerjakan Bi Jenah di rumah Hangga untuk membantu Harum mengurus pekerjaan rumah tangga. Terlebih kini menantu Bu Mirna dan Pak Hendra itu telah kembali aktif bekerja di kedai.
“Maaf atuh, Neng, sampe ngejumbul gitu,” balas Jenah sembari menghampiri Harum.
Harum tersenyum ramah. “Iya enggak papa, Bi. Saya kaget karena lupa kalau sekarang ada Bi Jenah di rumah ini,” ucapnya jujur.
“Lah, kok bisa lupa, Neng?” Harum tersenyum lagi menanggapi pertanyaan Bi Jenah.
“Sini, biar bibi saja yang buatkan sarapan, Neng,” tawar Bi Jenah yang kini telah berdiri di samping Harum yang tengah mengiris bawang.
“Enggak usah, Bi. Biar saya saja yang buatkan sarapan untuk Mas Hangga,” tolak Harum dengan sopan.
“Terus saya ngapain dong, Neng? Ibu ‘kan menyuruh bibi di sini untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga di sini. Ibu enggak mau Neng Harum capek karena mengurus kedai ditambah mengurus pekerjaan rumah tangga,” tutur Bi Jenah.
Meskipun Harum merasa masih sanggup untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri, namun ia menghargai kebaikan ibu mertuanya yang begitu perhatian terhadapnya dengan mengirimkan Bi Jenah untuk membantu pekerjaan di rumah.
“Bagaimana kalau saya yang buat sarapan dan Bi Jenah yang bersih-bersih rumah,” usul Harum akhirnya.
“Siap, Neng! Kalau begitu, bibi mau beres-beres rumah dulu ya,” pamit Bi Jenah.
“Bi, jangan lupa bersihkan kamar Mas Hangga juga ya,” pesan Harum sebelum perempuan yang memakai daster coklat motif bunga itu berlalu.
“Tapi, kayaknya Mas Hangga belum bangun loh, Neng,” sahut Bi Jenah yang belum melihat Hangga sejak bangun tidur tadi.
“Jam segini Mas Hangga belum bangun?” tanya Harum dengan kening mengerut. Tangannya yang tengah mengiris bawang ikut terhenti.
“Sepertinya begitu, Neng. Dari subuh bibi bangun, belum ketemu Mas Hangga,” sahut Bi Jenah.
“Enggak biasanya Mas Hangga bangun kesiangan. Biasanya selalu bangun subuh dan salat Subuh di masjid,” ujar Harum.
Selama tiga minggu berumah tangga, Harum sudah memahami kebiasaan waktu subuh suaminya. Hangga selalu bangun subuh, lalu pergi ke masjid untuk melakukan salat Subuh berjamaah. Setelahnya, baru berolahraga ringan. Kadang joging, kadang bersepeda.
“Maklum pengantin baru,” celetuk Bi Jenah.
Harum tercenung mendengar celetukan Bi Jenah. Ternyata, ia juga melupakan hal itu. Entah benar lupa atau sekuat tenaga mencoba menenangkan hati sehingga membuatnya lupa akan status pernikahan poligami yang kini dijalaninya.
Tiba-tiba saja hatinya berdesir pilu kala mengingat telah ada Nata yang kini menjadi pendamping tidur Hangga.
“Maaf Neng, kalau bibi salah bicara,” sesal Bi Jenah yang menyadari perubahan riak wajah majikannya.
“Enggak papa kok, Bi,” sahut Harum memaksakan senyum. Sedangkan hatinya berdenyut nyeri mengingat Hangga tengah bersama istri barunya.
“Saya permisi, Neng, mau beres-beres rumah dulu.” Bi Jenah berpamitan untuk kedua kalinya.
“Iya, Bi, silakan,” sahut Harum.
Baru Harum hendak melanjutkan aktivitasnya mengiris bawang, terdengar seruan Hangga di belakangnya.
“Rum.”
“Ya.” Harum menolehkan kepalanya pada Hangga dan berbalik badan.
“Kenapa kamu enggak bangunin saya?” tanya Hangga yang masih mengenakan piyama warna abu-abu. Tampak wajah khas bangun tidur yang tetap terlihat menawan di mata Harum.
“Ee ....” Harum tampak bingung mau menjawab apa.
“Saya terlewat waktu subuh,” kata Hangga memotong ucapan Harum.
“Maaf, saya takut mengganggu kalian,” sahut Harum dengan suara terdengar sedikit bergetar.
Entah, tiba-tiba saja ia merasakan hatinya semakin sakit melihat penampakan Hangga pagi ini. Terutama kala mengingat bahwa tadi malam adalah malam pengantin Hangga bersama Nata.
Menatap tepat di manik mata bening Harum, Hangga merasa tidak enak hati. Jelas terpancar kesedihan dari sorot mata Harum saat menjawab pertanyaan tadi.
Setelah hening beberapa jenak, kemudian terdengar seruan suara Nata sembari menuruni tangga.
“Yaaaang!”
“Iya!” Masih dalam posisi berdiri di hadapan Harum, Hangga menjawab seruan Nata.
Nata melangkah menuju dapur, menghampiri asal suara pria yang telah menjadi suaminya itu.
“Pagi, Yang,” sapa Nata saat sudah berdiri di samping Hangga.
“Pagi,” balas Hangga seraya mengulas sebuah senyuman.
“Pagi, Harum,” sapa Nata pada Harum yang masih berdiri di hadapan Hangga.
“Pagi, Kak.” Seperti Hangga, Harum pun menjawab salam Nata diiringi sebuah senyuman.
“Yang, kok kamu enggak bangunin aku sih? Udah kesiangan tau. Mana hari ini ada audit. Aku harus berangkat lebih pagi,” cerocos Nata. Tangannya bergelayut manja di lengan kekar Hangga.
“Aku juga sama, baru bangun. Ya udah cepetan mandi gih, biar enggak makin kesiangan,” sahut Hangga.
Meskipun baru menikah, mereka tetap harus pergi bekerja. Pernikahan yang begitu mendadak membuat mereka tidak sempat mengajukan cuti. Lagi pula mereka hanya menikah siri.
“Kamu enggak mandi?” lontar Nata.
“Kamu duluan aja, nanti aku nyusul,” sahut Hangga.
“Oke.” Nata melepas tangannya dari lengan Hangga, lalu berbalik badan.
Baru dua langkah wanita cantik itu berjalan, ia kembali mendekati Hangga lalu mengecup pipi Hangga. “Ciuman selamat pagi,” ucapnya. Kemudian melenggang meninggalkan Hangga dan Harum yang masih berdiri berhadapan
Harum tergemap melihat adegan di hadapannya. Dada yang terasa sesak sejak tadi, menjadi semakin sesak. Begitu pun dengan Hangga, ia juga semakin merasa tidak enak hati karena ciuman mendadak Nata di depan Harum.
“Rum, makasih ya,” ucap Hangga.
“Makasih kenapa, Mas?” sahut Harum datar. Tumben sekali suaminya itu mengucapkan kata “terima kasih”.
“Terima kasih karena ... sudah mengizinkan kami menikah,” ucap Hangga ragu-ragu.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu