Mia yang baru saja lulus dan wisuda tiba-tiba dipanggil untuk menjadi seorang sekretaris CEO di perusahaan terbesar di negara ini. Pekerjaan yang sama sekali tidak berani dia impikan.
Dan apa jadinya jika kau yang seumur hidup menjalani hidup yang biasa saja tiba-tiba bertemu dengan sesosok hantu yang entah muncul dari mana.
Hantu tampan yang begitu mudah menarik hati dan pikiran Mia. Hingga membuat Mia penasaran dan mencari tau tentang asal usulnya.
Di samping itu, dia tidak tau kalau CEO tempatnya bekerja yang saat ini tengah koma ternyata adalah penggemar rahasia dirinya.
Bagaimana kisah cinta Mia? Apakah sang CEO akan bangun dan menyatakan cintanya? Atau justru si hantu yang akan terus menemani Mia?
Ikuti kisahnya di sini!!!!❤❤❤❤
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Risa Oktaghost, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari H
"Dia kemana sebenarnya? Kenapa dari kemarin tidak muncul-muncul."
Hari sudah pagi, tapi Arka belum menunjukkan batang hidungnya juga. Ternyata inilah resiko berpacaran dengan hantu. Hanya bisa menunggu tanpa bisa menghubungi.
Mia mendesah, kemudian memilih berangkat ke kantor. Dia akan mencarinya lagi nanti kalau memang dia tidak muncul.
***
"Mia, mana berkas untuk rapat dengan Mr.Alex?" Leo datang sedikit terlambat dari jam biasanya.
"Ini." Mia memberikannya, kemudian mengambil tas untuk mengikuti Leo.
"Kau tidak perlu ikut, biar aku saja yang bertemu Mr.Alex." Leo menghentikan Mia.
"Benarkah? Kau akan menemuinya sendiri?"
Leo mengangguk, lalu berjalan kembali meninggalkan ruangan itu.
"Yeayyy!!!"
Mia berjingkrak seperti anak kecil.
***
Leo mendatangi gedung Giant Family sesuai janji. Sebelum masuk, dia menghembuskan nafas panjang terlebih dahulu.
"Aku ada janji dengan Mr.Alex." Leo mengatakan itu pada resepsionis
"Silakan, Tuan Leo. Anda sudah ditunggu."
Leo berjalan ke arah ruang rapat.
"Selamat pagi Mr.Alex!" Leo menyapa Mr. Alex dengan sopan, tapi hanya dibalas dengan anggukan.
Leo merasakan ada yang aneh dengan sikap Mr.Alex. Dia menatap Leo dengan sangat tajam. Berbeda dari biasanya yang selalu banyak bicara dengan angkuh.
"Jadi, di mana CEO kalian? Ah aku lupa, kalo dia ternyata sedang terbaring koma."
"Jadi anda sudah tau."
"Tentu saja. Berani sekali kau berbohong tentang itu kepadaku."
"Harusnya anda juga tau siapa yang menyebabkan saya seperti itu." Seseorang yang baru masuk ke ruang rapat membalas perkataan Alex, membuat Alex dan Lola terkejut bukan main.
"Kau.." Alex tidak bisa berkata-kata.
"Ini saya Mr. Alex. Asisten saya telah menepati janjinya untuk membawa saya dalam rapat kali ini." Devan duduk di ujung meja panjang itu, bersebrangan dengan Alex.
Alex begitu terkejut melihat Devan. Mulutnya terbuka lebar tanpa sadar. Dia yakin Dion mengatakan kalau Devan tidak ada kemungkinan sadar. Tapi apa ini?
"Baguslah kalo begitu, itu artinya aku tidak perlu repot membatalkan kerjasama kita." Alex bicara setelah menetralkan keterkejutannya.
Devan dan Leo saling pandang. Mereka tersenyum mengingat kejadian tadi malam.
***
*Rumah Sakit Singapura, Senin, pukul 17.00*
Tit..tit..tit..
Bunyi alat penyangga kehidupan Devan berbunyi dengan nyaring dan cepat membuat para perawat dan satu dokter langsung berlari ke ruangannya.
Tubuh Devan mengalami kejang, dadanya naik turun tidak beraturan, tekanan darahnya naik drastis.
Dokter segera melakukan tindakan dengan menyuntikkan beberapa obat ke selang infusnya.
Lalu, dalam hitungan detik kejang Devan mulai berhenti. Dokter kembali memeriksa Devan. Namun, yang dokter dapatkan adalah respon dari matanya.
"Dokter, lihat! Jarinya bergerak." satu perawat menyerukan itu.
Dokter Gu dan beberapa perawat di sana tetap menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Dan Devan membuka matanya.
Dokter Gu mendekati Devan.
"Kau bisa mendengarku?"
"Aaa.." Devan membuka mulutnya, tenggorokannya terasa sakit.
"Kau bisa mengedipkan matamu satu kali jika kau mendengar apa yang aku katakan."
Devan mengedip.
"Sekarang, bisa kau gerakkan tangan kananmu?"
Devan mengangkat tangan kanannya sedikit demi sedikit, begitu juga dengan tangan kirinya.
Dokter terus melakukan pemeriksaan fisik Devan. Setelah dia yakin semuanya normal, Dokter Gu segera menghubungi Leo.
"Dia sadar." Hanya dua kata, tapi bisa membuat jantung Leo berdetak lebih kencang. Dia langsung mengambil penerbangan saat itu juga dengan jet pribadi milik Devan.
***
"Hai!" Itulah kata pertama yang Leo katakan saat masuk ke ruangan Devan. Terlihat Devan tengah berbaring dengan bagian atasnya di naikkan.
Devan tersenyum melihat sahabatnya datang.
"Lo datang." Devan mengatakan itu hampir seperti bisikkan.
"Pasti gue datang, siapa lagi emangnya? Lo gak punya siapa-siapa lagi selain gue." Leo bicara seperti tak ada yang terjadi, padahal dia mati-matian menahan tangisnya.
"Ya. Gue emang cuma punya lo." Devan terkekeh.
Kemudian, hening. Mereka hanya saling pandang untuk beberapa saat. Dan, greb.. Leo memeluk Devan dengan erat begitupun Devan membalasnya tak kalah erat.
"Akhirnya lo bangun, Dev. Akhirnya lo bangun." Leo mengatakannya dengan berlinang air mata. Dia begitu terharu penantiannya selama hampir empat bulan ini membuahkan hasil. Yang tadinya dokter menyarankan untuk melepas alat penyangga hidup Devan setelah satu bulan tak ada perubahan. Tapi, Leo tak pernah mau menyerah dan tetap mempertahankan Devan.
Tak ada kata lagi yang terucap, mereka masih berpelukan dengan isak tangis haru yang begitu dalam.
"Terimakasih, lo udah bangun." Leo melepaskan pelukannya.
"Makasih juga lo udah nungguin gue." Devan menghapus air mata yang tak kunjung berhenti, begitu pun Leo. Keduanya sama-sama menunjukkan sisi rapuh mereka.
"Lo udah makan?" tanya Leo ketika keduanya sudah sama-sama tenang.
Devan menggeleng. "Belum, dokter belum ngijinin. Gue cuma boleh minum air."
Leo mengangguk mengerti.
"Gue tau lo baru bangun, tapi ada dua hal yang harus gue sampein." Leo menatap Devan serius.
"Apa itu?"
"Pertama, tentang siapa yang ngeracunin lo. Gue curiga sama dua orang."
"Siapa?"
"Tadinya gue kira paman lo, tapi ternyata setelah gue selidiki dia gak mencurigakan sama sekali, dia bahkan gak terhubung lagi ke negara ini setelah hari lo ngusir dia."
"Terus siapa satu lagi?"
"Celina."
"Apa? gak mungkin."
"Gue juga mikirnya gitu, tapi ga ada orang lain lagi yang masuk ke apartemen lo setelah Celina kecuali cleaning service. Dan cleaning service itu bilang berkali-kali bukan dia. Dia bilang cuma beresin belanjaannya doang."
"Terus apa yang bikin lo yakin kalo itu Celina."
"Dia selalu bilang cemburu sama lo, karna gue selalu ngutamain lo. Dan lo tau sendiri, dengan gangguan obsesi yang dia idap, gue rasa dia mampu ngelakuin itu."
Devan terdiam, merenung. Rasanya tidak percaya kalau Celina melakukan itu karena cemburu.
"Lo udah coba tanya ke dia?"
"Udah, dia bilang bukan dia. Dia bilang cuma naruh kantong belanjaan terus keluar lagi."
"Dan lo gak percaya?"
"Mungkin gue bakal percaya kalo gue gak tau dia punya gangguan delusi juga."
"Dari mana lo tau dia kena skizorfenia?"
"Dion yang ngirim hasil tesnya. Dan lo tau? Celina punya banyak gangguan mental yang bikin gue semakin yakin kalo itu dia."
Devan merenung lagi. Leo pun berhenti bicara.
"Terus apa yang kedua?"
"Mr.Alex minta lo datang ke rapat, kalo enggak dia bakal batalin kerjasama kita."
"Kapan?"
"Besok."
"Hah?"
Setelah konsultasi dengan dokter, akhirnya Devan diizinkan pulang dengan syarat harus check up seminggu sekali dan malam itu juga Leo membawa Devan pulang.
***
*Sekarang*
Devan dan Leo sudah dalam perjalanan kembali dari Giant Family. Kerjasama tetap lanjut seperti di awal. Namun, ada yang aneh dengan tatapan Alex terhadap Leo hari ini. Jika biasanya dia selalu menatapnya sinis, kali ini lebih dari itu. Alex menatapnya dengan tatapan tajam seperti ingin membunuhnya. Keo tidak merasa melakukan kesalahan. Leo tidak tau, kalau Alex sudah mengetahui hubungannya dengan Celina, dan itu adalah sebuah kesalahan.
Mereka berdua sudah sampai di gedung Astra Group. Tidak ada yang berubah, semuanya sama seperti saat empat bulan lalu sebelum Devan masuk rumah sakit.
Semua karyawan menunduk dan menyapa Devan. Tapi, seperti biasa Devan hanya membalas dengan anggukkan wajah datar.
"Siap bertemu pujaan hati?" Leo mengatakan itu saat akan membuka pintu ruangan CEO. Devan menghela nafas dalam-dalam dan Leo menunggu dengan sabar.
"Oke, buka!" ucap Devan.
Leo membuka pintu itu lebar-lebar, Devan masuk perlahan lalu Leo mengikuti. Langkah demi langkah terasa sangat lambat bagi Devan, rasanya dia ingin berlari.
Devan berhenti melangkah di tengah ruangan. Dia memandang sekeliling. Tata letak meja kerjanya benar-benar di desain seperti yang Devan inginkan.
Dan di sanalah pujaan hatinya, duduk dengan serius menatap layar komputer. Wajah manis berambut pendek yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama kini ada di depan matanya. Jika dulu Devan yang selalu membuntuti gadis itu di mana pun gadis itu bekerja, sekarang gadis itu sendiri yang akan datang padanya setiap hari.
"Ekhem..." Leo berdehem, karena tampaknya Mia tak menyadari kehadiran mereka.
Mia mengangkat wajahnya, lensanya melebar melihat wajah familiar yang sejak kemarin dia cari. Senyumnya mengembang tak bisa ia tahan. Kekasihnya itu tampak sedikit berbeda, wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya agak pucat. Tidak! ini tidak sedikit, mereka sama sekali berbeda. Ini seperti dua orang dengan wajah yang sama.
"Mia, kenalkan ini Tuan Devan, CEO Astra Group." suara Leo membuyarkan lamunannya tentang perbandingan kekasihnya dengan orang di depannya ini.
Mia menatap Leo seolah minta diyakinkan.
"Ini, Mia sekretaris baru anda." Leo kembali bersuara karena Mia maupun Devan tak kunjung bicara.
Senyum Mia luntur sepenuhnya, dia menatap Devan dengan tatapan bingung. Banyak pertanyaan yang melintas di kepalanya. Ini kah alasan Arka tidak kembali?
"Halo, Mia. Maaf baru bisa menemuimu. Senang bertemu denganmu." Devan mengulurkan tangannya kepad Mia dengan senyum tipis yang sulit diartikan.
Ternyata dia tak mengenaliku, batin Mia.
"Mia!" tegur Leo.
"Ah iya, senang bertemu dengan anda, tuan." Mia menjabat tangan Devan dengan sedikit gemetar. Hangat. Itu yang Mia rasakan saat menyentuh Devan, berbeda dengan Arka.
"Tanganmu dingin, Mia. Apa kau sakit?" Devan merasakan ada yang aneh dengan gerak gerik Mia.
"Saya baik-baik saja," Mia menarik tangannya.
Mia menunduk tak berani menatap.
"Lo gak mau duduk?" Leo menyadarkan Devan yang tak berhenti menatap Mia.
Devan duduk di kursinya. Kembali memandang Mia yang terus menunduk. Benar, ada yang aneh dengan gadis itu.
Mia bangkit, menghampiri Leo.
"Leo."
"Ada apa?"
"Apa aku boleh izin pulang hari ini?"
"Kenapa? kau sakit?"
Devan ikut menatap Mia.
"Sepertinya aku kurang enak badan."
"Kalo begitu pulanglah." Leo memberi izin.
"Mau kuantar?" suara Devan mengejutkan Mia yang sedang membereskan mejanya, bukan hanya Mia tapi juga Leo. Leo tak menyangka kalau Devan akan secepat itu.
"Tidak, tuan. Terimakasih."
"Saya permisi." Mia menunduk, memberi hormat, kemudian pergi keluar.
"Lo gila! dia bisa takut kalo lo sefrontal itu." seru Leo ketika Mia sudah keluar dari ruangàn.
"Kenapa? Gue udah lama kenal dia."
"Iya, lo udah lama kenal dia, tapi dia baru sekarang kenal elo."
Devan tak menjawab, dia malah kembali menatap monitornya. Kemudian seringaian kecil muncul di wajahnya.
***
bersambung....