Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Gemetar Tangan yang Berdoa
Pedal rem itu amblas tanpa perlawanan, menyentuh dasar lantai mobil dengan bunyi logam yang hampa. Arfan merasakan seluruh aliran darahnya mendesak ke arah kepala saat mobil sedan itu justru meluncur semakin kencang menuruni aspal yang curam.
Di depan sana, tikungan tajam yang berbatasan langsung dengan jurang sedalam puluhan meter sudah menanti dengan kejam. Arfan mencoba menarik rem tangan berkali-kali, namun kabelnya tampaknya telah disabotase hingga hanya meninggalkan suara gesekan yang tidak berguna.
"Arfan, kenapa kecepatannya tidak berkurang sama sekali?" teriak Baskara sambil mencengkeram pegangan pintu dengan buku jari yang memutih.
Arfan tidak sempat menjawab karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk memutar kemudi agar tidak menghantam dinding tebing. Fatimah yang berada di kursi belakang hanya mampu mendekap erat tasnya sambil memejamkan mata dalam ketakutan yang mencekam.
Bibir wanita itu bergerak tanpa suara, merapalkan untaian doa yang lahir dari lubuk hati paling dalam di sela-sela napasnya yang terputus. Gemetar tangan Fatimah semakin menjadi-jadi saat ia merasakan tubuhnya terombang-ambing akibat pergerakan mobil yang tidak terkendali.
"Tundukkan kepala kalian dan lindungi bagian leher!" seru Arfan dengan suara parau yang dipenuhi kepanikan.
Mobil itu melesat membelah kegelapan malam, menyambar tiang penunjuk jalan hingga hancur berkeping-keping di pinggir aspal yang dingin. Arfan mengambil keputusan berisiko dengan mengarahkan moncong kendaraan ke deretan pohon pisang di sisi jalan untuk meredam laju kecepatan.
Benturan keras tidak terelakkan lagi hingga kaca depan mobil retak menjadi jutaan butiran kristal yang menyakitkan mata. Arfan merasakan kepalanya menghantam kemudi, menciptakan rasa pening yang luar biasa hebat sementara pandangannya mulai mengabur.
"Apakah semua orang masih hidup?" tanya Baskara dengan suara yang lemah tertutup kepulan asap dari bagian mesin.
Fatimah perlahan membuka matanya dan merasakan bau gosong yang menyengat bercampur dengan aroma tanah basah di sekitar mereka. Ia melihat Arfan tersungkur di atas kemudi dengan darah segar yang mulai mengalir dari pelipisnya menuju pakaian koko yang ia kenakan.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Fatimah mencoba mendorong pintu mobil yang sudah ringsek dan terhimpit batang pohon yang tumbang. Ia berhasil merangkak keluar melalui jendela yang pecah, membiarkan butiran kaca menggores telapak tangannya hingga berdarah.
"Tuan Arfan, bangunlah! Kita harus segera keluar sebelum mobil ini benar-benar terbakar!" teriak Fatimah sambil menarik lengan Arfan dengan panik.
Arfan mengerang pelan, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat hilang akibat hantaman benda tumpul pada bagian dahinya yang keras. Ia melihat Fatimah yang sedang berjuang menarik tubuhnya, sebuah pemandangan yang membuat Arfan merasa sangat bersalah karena gagal melindunginya.
Baskara berhasil keluar dari pintu sebelah kiri dan segera membantu Fatimah untuk memapah Arfan menjauh dari bangkai kendaraan tersebut. Mereka melangkah terseok-seok menembus semak belukar yang berduri, menjauhi jalan raya yang mungkin saja sedang dipantau oleh para pengejar.
"Mereka tidak akan berhenti sampai kita benar-benar menjadi mayat, Arfan," bisik Baskara sambil menyeka peluh di wajahnya yang kusam.
"Aku tahu, sabotase ini sudah direncanakan dengan sangat rapi sejak kita meninggalkan panti asuhan tadi," jawab Arfan sambil menahan perih di kepalanya.
Fatimah jatuh terduduk di atas tanah yang lembap, menatap kedua tangannya yang masih bergetar hebat akibat syok yang belum hilang sepenuhnya. Ia memandangi telapak tangannya yang kini dipenuhi noda tanah dan darah, lalu kembali menautkan jemarinya dalam sikap berdoa yang sangat khusyuk.
"Tuhan, jika memang nyawa saya yang diinginkan, ambillah tanpa harus melibatkan mereka yang tidak bersalah," lirih Fatimah dalam isak tangis yang tertahan.
Arfan yang duduk bersandar di batang pohon besar mendengar rintihan itu dan merasakan sebuah kepedihan yang menyayat nuraninya sebagai seorang lelaki. Ia mencoba mengulurkan tangan untuk menenangkan Fatimah, namun ia segera menariknya kembali karena sadar akan batasan yang harus ia jaga.
Suasana di tengah hutan kecil itu terasa sangat sunyi, hanya ada suara jangkrik dan embusan angin malam yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Baskara tetap berdiri dalam posisi waspada, matanya terus menyisir ke arah jalan raya kalau-kalau ada lampu kendaraan yang mendekat.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini, darahmu butuh penanganan medis segera sebelum kau pingsan karena kehabisan cairan," peringat Baskara kepada Arfan.
"Gunakan kain ini untuk membebat luka di kepala Tuan Arfan, setidaknya agar darahnya tidak terus mengucur deras," ucap Fatimah sambil menyodorkan selembar kain bersih.
Fatimah memalingkan wajahnya saat Arfan mulai membebat dahinya, ia tidak ingin memperlihatkan mata yang merah akibat terus-menerus menangisi keadaan yang tidak kunjung membaik. Arfan menerima kain itu dengan tangan yang juga masih terasa lemas, merasakan kehangatan yang tertinggal dari bekas sentuhan jemari Fatimah.
"Terima kasih, Fatimah. Maafkan aku karena menyeretmu ke dalam bahaya yang lebih besar lagi dari sebelumnya," kata Arfan dengan nada yang sangat tulus.
"Ini bukan salah Anda, ini adalah beban masa lalu saya yang akhirnya menagih janji setianya pada maut," jawab Fatimah dengan nada suara yang mulai tenang.
Mereka mulai berjalan kembali menembus lebatnya pepohonan, mencari jalan tikus yang mungkin akan membawa mereka ke daerah pemukiman penduduk yang lebih ramah. Arfan memimpin di depan dengan langkah yang dipaksakan tegak, meskipun setiap detak jantungnya terasa seperti palu yang menghantam otaknya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki manusia yang sangat banyak terdengar dari arah belakang mereka, disertai dengan cahaya lampu senter yang bergerak-gerak liar di antara batang pohon.
"Mereka sudah sampai di sini! Lari ke arah sungai, kita harus memutus jejak melalui aliran air!" perintah Arfan sambil menarik lengan baju Baskara.
Fatimah mencoba berlari secepat mungkin, namun kakinya yang lelah berkali-kali tersangkut akar pohon yang mencuat dari permukaan tanah yang tidak rata. Arfan selalu sigap menopang bahu wanita itu tanpa melakukan sentuhan kulit secara langsung, menjaga kehormatan wanita itu bahkan dalam kondisi sekarat.
Mereka tiba di pinggir sungai yang alirannya cukup deras dengan bebatuan besar yang licin dan berlumut yang sangat berbahaya untuk dipijak.
"Baskara, seberangi sungai ini lebih dulu dan cari tempat persembunyian di sisi sebelah sana yang lebih rimbun!" seru Arfan di tengah suara gemuruh air.
"Bagaimana dengan kalian? Aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan terluka parah seperti ini!" bantah Baskara dengan nada yang tidak setuju.
"Jangan berdebat! Lakukan saja perintahku agar setidaknya ada salah satu dari kita yang selamat untuk membawa bukti rekaman itu!" tegas Arfan.
Baskara akhirnya mengangguk meski dengan berat hati, ia segera menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang dengan susah payah melawan arus yang kuat. Arfan menoleh ke arah Fatimah dan melihat wanita itu sedang berdiri mematung di pinggir sungai, menatap aliran air dengan pandangan yang kosong.
Gemetar tangan Fatimah kembali muncul, kali ini lebih hebat dari sebelumnya karena ia memiliki trauma masa kecil tentang air yang dalam dan mematikan. Arfan menyadari ketakutan itu dan mencoba memberikan semangat melalui kata-kata yang penuh keyakinan meskipun nyawanya sendiri sedang berada di ujung tanduk.
"Percayalah padaku, pegang kain ini erat-erat dan ikuti langkahku menyeberangi bebatuan ini," ujar Arfan sambil mengulurkan ujung kain sebagai penyambung.
Fatimah meraih ujung kain itu dengan jari yang dingin, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk menginjakkan kaki di atas batu yang sangat licin. Mereka bergerak perlahan di tengah terjangan arus sungai yang mulai membasahi pakaian mereka hingga terasa sangat berat dan dingin mencekam.
Suara gonggongan anjing pelacak mulai terdengar sangat dekat di belakang mereka, menandakan bahwa para pembunuh bayaran itu membawa bantuan yang sangat terlatih. Arfan mempercepat langkahnya, namun salah satu kakinya terpeleset jatuh ke celah batu yang sempit hingga ia mengerang kesakitan yang sangat luar biasa.
"Tuan Arfan! Apa yang terjadi? Tolong jangan tinggalkan saya di tengah air ini!" teriak Fatimah dengan nada suara yang dipenuhi keputusasaan.
"Kakiku terjepit! Pergilah terus, Fatimah! Jangan pedulikan aku lagi, selamatkan dirimu dan rekaman suara itu sekarang juga!" perintah Arfan dengan wajah yang memucat.
Fatimah justru melepaskan pegangan pada kain dan melangkah mendekat ke arah Arfan, menolak untuk menjadi pengecut yang meninggalkan orang yang telah melindunginya. Ia mencoba mendorong batu besar yang menjepit kaki Arfan dengan seluruh tenaganya, meskipun tangannya yang terluka terasa sangat perih terkena air sungai.
Tiba-tiba, sorot lampu senter yang sangat terang menghujam tepat ke arah wajah mereka dari pinggir sungai yang baru saja mereka tinggalkan.
"Ketemu kalian! Jangan bergerak atau aku akan meledakkan kepala pria itu berkeping-keping di depan matamu, Zahra!" teriak seorang pria dari kegelapan.
Fatimah membeku di tempatnya, ia melihat sesosok pria berdiri di pinggir sungai dengan sebuah senapan laras panjang yang membidik tepat ke arah jantung Arfan yang sedang tidak berdaya. Di bawah cahaya lampu senter itu, Fatimah mengenali wajah pria tersebut sebagai salah satu orang kepercayaan ayahnya yang paling kejam.
Tatapan mata Arfan bertemu dengan mata Fatimah, mengisyaratkan sebuah permintaan agar Fatimah melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.