Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUJURAN
Pandangan Langit masih terfokus pada kemudi, sesekali melirik Arum yang bersandar di kursi penumpang menatap jendela dalam lamunan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Yang jelas, di telinga Arum masih terngiang seperti apa Laura menatap dan bicara. Kata-katanya begitu menyakitkan, menusuk ke dada.
Kamu itu ngaca! Yang layak bersanding dengan Langit itu Viona... bukan kamu! Di dunia ini... hanya ada yang namanya kebetulan, bukan keberuntungan. Kamu pikir saya bodoh?! Kamu bahkan menjual tubuh kamu demi mendapatkan kehidupan yang layak dari anak saya
Arum berdeham, mengejutkan dirinya sendiri. lengannya mengangkat lalu jemarinya mengusap kasar air matanya yang nyaris menetes.
"Sayang..." Ucap Langit. Ia menginjak pedal rem, saat mengetahui kendaraan yang ada di depannya berhenti, merayap dan mulai terperangkap dalam kemacetan ibu kota siang hari. "Are you okay?"
Arum membisu. Kata-kata itu berdesakan di ujung lidahnya, namun tak satu pun berani lolos. Ia memilih menelan semuanya sendiri, membiarkan hatinya yang bergetar menanggung beban itu diam-diam. Pandangannya jatuh ke bawah, jemarinya saling bergesekan di antara kuku ibu jarinya sendiri, seolah dengan begitu ia bisa menahan perasaan yang hampir runtuh.
Bukan karena Arum tak percaya pada Langit, melainkan justru karena terlalu peduli. Ia takut, jika ia membuka suara, jika ia mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi, akan ada retakan yang tak bisa diperbaiki—bukan pada cintanya dengan Langit, melainkan pada hubungan Langit dengan ibunya. Ia tak ingin menjadi alasan di balik dinginnya jarak antara ibu dan anak, tak ingin namanya tercatat sebagai penyebab luka yang lebih dalam.
Arum masih diam. Ia tersenyum tipis ketika Langit menatapnya, berpura-pura baik-baik saja, sementara di dalam dadanya ada rasa sesak yang kian menumpuk. Ia rela menanggung perih itu sendiri, asalkan Langit tetap bisa berdiri di antara cinta dan bakti tanpa harus kehilangan salah satunya.
"Sayang..." Desak Langit lembut, sebelah jemarinya yang sedari tadi memegang tuas persneling, perlahan bergerak menyentuh punggung jemari kekasihnya.
Arum tersentak. Ia tertegun sejenak, lalu menoleh menatap Langit sekilas—tatapan singkat yang menyimpan keterkejutan dan kegamangan sekaligus. Namun hanya sesaat. Matanya segera kembali memandang lurus ke depan, seolah pemandangan di hadapannya jauh lebih aman untuk ditatap Langit daripada perasaan yang tiba-tiba bergolak di dalam dadanya.
Ia menarik napas perlahan, berusaha menenangkan, "Mas?"
"Hm?" Kata Langit bernada lembut.
"Kalau... ada seorang wanita yang..."
Kalimat Arum menggantung di udara, Terputus sebelum sempat menemukan ujungnya. Bibirnya terkatup kembali, jemarinya mengerat tanpa sadar. Ada keraguan yang menahan kata-kata itu, ada ketakutan yang membuatnya kembali diam.
"Yang apa, sayang?" Desak Langit penasaran.
Arum menoleh menangkap wajah Langit, kali ini sedikit lebih lama. "Kalau ada wanita yang lebih baik dari aku, yang suatu saat akan bersamamu... ba-bagaimana?"
Hening merambat di antara mereka. Seolah waktu berhenti memberi ruang bagi Langit untuk berpikir. Detik berikutnya, pria itu justru mendesis pelan, lalu terkekeh kecil, tawa singkat yang terdengar ringan namun sarat arti.
Alis Arum berkerut. Dadanya makin sesak.
“Mas kok ketawa?” Protesnya lirih, ada kecewa yang tak sempat ia sembunyikan.
Langit menoleh lagi, senyumnya belum pudar. Ia lalu mengangkat tangan, jemarinya mengusap puncak kepala Arum dengan lembut. "Hey..." Ucapnya. "Kenapa kamu punya pikiran seperti itu? Kamu itu... wanita yang tak dapat tergantikan oleh siapapun dan apapun." Katanya lirih, namun penuh keyakinan.
Di saat itu juga, Langit meraih tangan Arum. Dengan gerakan perlahan dan penuh kehati-hatian, ia mengecup punggung jemari itu—lembut, singkat, namun sarat makna. Sentuhan sederhana itu seketika membuat Arum terhenyak. Ada sensasi hangat yang menjalar dari kulitnya, menelusup hingga ke dada.
Ada kupu-kupu yang seolah beterbangan di perutnya, membuat napasnya tertahan sesaat. Hatinya yang semula diliputi ragu kini terasa ringan, tenang, dan aman. Seperti berada di tempat yang tepat, di pelukan keyakinan yang tak perlu banyak janji. Arum tersenyum kecil, membiarkan perasaan itu mengalir, menikmati kehadiran Langit yang membuat dunianya seakan berhenti berisik di sekelilingnya.
Tak berhenti di situ, Arum perlahan menyilangkan lengannya di lengan kokoh langit lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria tersebut. Gerakannya ragu di awal, namun kemudian mantap, seolah ia akhirnya mengizinkan dirinya sendiri untuk bersandar—bukan hanya secara fisik, tetapi juga perasaan. Bahu itu terasa hangat dan menenangkan, menjadi penopang yang membuat segala resah di dadanya luruh sedikit demi sedikit.
Langit tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk tipis, lalu mencium ubun-ubun Arum dengan lembut. Ciuman singkat itu sederhana, namun penuh perlindungan. Sementara, Arum memejamkan matanya, menarik napas pelan, meresapi ketenangan yang mengalir tanpa perlu kata. Dalam diam itu, ada rasa aman yang utuh—seolah untuk sesaat, dunia terasa baik-baik saja.
****