Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 — Rani yang Bukan Rani
Di tengah rumah Laras yang terendam darah cair, Rendra berdiri kaku di hadapan adiknya yang telah berubah. Tubuh Rani yang dingin kini sepenuhnya menjadi wadah bagi memori dendam Laras. Aroma melati yang samar bercampur dengan bau besi yang kuat.
Laras, menggunakan wajah Rani, menunjuk ke belakang Rendra, ke arah tirai basah.
“Kau harus tahu apa yang telah terjadi pada anak itu,” kata Laras, suaranya kini terdengar tenang, namun lebih dalam dan berat. “Dia adalah kunci, Nak Rendra. Kunci untuk mengakhiri segalanya, atau untuk mengunci kutukan ini selamanya.”
Rendra menoleh. Di balik tirai, di sudut ruangan, ia melihat bayangan Dimas.
Bukan Dimas yang lemas yang ia tinggalkan di Sumur Tua. Ini adalah bayangan Dimas kecil, tubuhnya transparan, meringkuk dan menangis di atas air setinggi pinggang. Anak itu memeluk lututnya, bahunya bergetar hebat.
“Dimas!” seru Rendra. “Kau ada di sini?”
Laras (melalui Rani) tertawa pelan. Tawa yang mengerikan.
“Tentu saja dia di sini. Separuh jiwanya telah menjadi milik air sejak ia ditarik ke Kuburan Air. Dia adalah bayangan di dunia bawah, dan tubuh yang lemas di dunia atas. Dia adalah anak yang terjebak di antara dua dunia, di antara dua ibu.”
Bayangan Dimas yang menangis itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, dan ia menatap Rendra dengan mata yang bengkak.
“Kau nggak ngerti, Kak! Aku anaknya dia dan Laras!”
Suara Dimas, meskipun hanya bayangan, terdengar keras dan penuh kesedihan. Rendra terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang es.
“Apa maksudmu, Dimas?” tanya Rendra, suaranya tercekat.
Laras mendekat, air menetes dari tubuh Rani.
“Dimas adalah anak dari orang yang menentang ritual—orang yang Ayahmu dan para tetua desa bunuh. Darahnya bersih, darah dari pihak yang tidak bersalah. Itu sebabnya para tetua ingin mengorbankannya. Mereka ingin menutupi jejak darah orang tak bersalah itu.”
“Tetapi,” lanjut Laras, dengan nada bangga yang dingin, “Aku menyentuhnya di Kuburan Air. Aku memberikan Dimas sedikit dari diriku, sedikit dari air mataku. Aku menjadikannya anak air. Ia adalah anak dari kesucian yang dinodai dan darah yang tertindas. Darahnya adalah campuran yang sangat kuat.”
Laras memejamkan mata, dan ketika ia membukanya, kini matanya memancarkan kesedihan yang tulus. Wajah Rani kembali muncul sejenak.
“Aku nggak hilang, Mas. Aku dipilih.”
“Aku nggak hilang, Mas,” kata Rani, dengan suaranya yang lembut. “Aku dipilih oleh Laras. Dia membutuhkan aku untuk berbicara, untuk memiliki wajah yang familier di hadapanmu. Kami adalah satu. Aku memilih untuk menjadi bagian dari Air untuk membantumu, Mas. Untuk membantumu membersihkan nama Ayah.”
Air mata Rendra mulai mengalir. Ia melihat adiknya, yang memilih mengorbankan dirinya, bukan karena dipaksa, tetapi karena cinta dan rasa bersalah atas dosa Ayah mereka.
“Apa yang harus aku lakukan, Rani? Bagaimana aku bisa membebaskanmu dan Dimas?”
Rani/Laras kembali mengambil alih. Tatapannya menjadi dingin dan menuntut.
“Kau harus menyelesaikan apa yang tidak bisa dilakukan oleh ayahmu: Pengakuan dan Penebusan.”
Laras menunjuk ke roll film basah di tangan Rendra.
“Film itu, Ayahmu takut mencetaknya. Karena ia tahu, foto itu tidak hanya memuat wajah pelaku penodaan yang melarikan diri, tetapi juga wajah Ayahmu sendiri yang berdiri di sana, menjadi saksi yang diam.”
Laras meraih tangan Rendra, cengkeramannya terasa sangat dingin.
“Kau harus mencetak film ini di airku. Kau harus menyebarkan kebenaran itu. Kau harus menyerahkan kebenaran itu kepada air.”
Bayangan Dimas yang menangis di sudut ruangan tiba-tiba berubah.
Bayangan anak kecil itu menjulang tinggi, tumbuh menjadi sosok Dimas yang dewasa, tinggi, kurus, dengan mata hitam pekat yang penuh amarah.
Sosok Dimas dewasa itu menatap Rendra, bukan dengan kesedihan, melainkan dengan kebencian.
“Kau nggak ngerti, Kak! Kau hanya melihat sisi Laras yang menyedihkan! Kau harus melihat sisi Laras yang haus darah! Dia ingin aku menjadi tumbal yang sempurna! Kau ingin membawaku ke atas, tapi aku lebih suka di sini! Di mana aku kuat! Di mana aku punya ibu!”
Suara Dimas yang dewasa itu menggema di seluruh rumah, terdengar seperti guntur yang terendam.
Rendra tersentak mundur, melihat Dimas dewasa yang tampak mengancam itu. Anak itu kini menjadi perwujudan dendam Laras yang kedua, dendam dari darah yang tertindas.
Laras (melalui Rani) menjelaskan dengan suara yang mendesak.
“Dimas adalah dua hal: jiwa yang tertindas, dan kemarahan yang diciptakan oleh air. Kau tidak bisa membawanya keluar sekarang. Jika kau membawanya keluar, kemarahannya akan menghancurkan desa.”
“Tapi aku tidak bisa meninggalkannya!”
“Kau tidak akan meninggalkannya,” kata Laras. “Dia akan tetap di sini sampai kau menyelesaikan tugasmu. Aku akan menjaganya.”
Laras kemudian menunjuk ke arah pintu. “Sekarang, pergilah. Nyai Melati sedang melakukan Ritual Terbalik di atas. Dia mencoba menarikmu keluar. Kau harus cepat, sebelum ia mengorbankan dirinya terlalu jauh.”
“Bagaimana aku bisa kembali?”
Laras memejamkan mata, dan air yang menetes dari tubuhnya semakin deras.
“Tenggelamlah. Tenggelam di dalam airku. Kau akan terbangun di dunia atas, di tempat di mana kau meninggalkan Dimas.”
Rendra tidak punya pilihan. Ia harus mempercayai adiknya yang kini berbagi tubuh dengan entitas yang kejam.
Ia mengambil roll film basah itu, mencengkeramnya erat. Ia menatap Rani untuk terakhir kalinya.
“Aku akan kembali untukmu, Rani. Aku berjanji.”
Rani/Laras tersenyum dingin.
“Kau harus kembali, Mas. Atau kau akan menjadi bagian dari kami. Air di sini akan mengingatmu.”
Rendra berbalik, tidak melihat lagi ke bayangan Dimas dewasa yang marah. Ia berjalan keluar dari rumah Laras.
Ia berjalan ke tengah-tengah air hitam. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengambil udara dingin yang berbau lumpur.
Ia berlutut di air yang setinggi pinggangnya. Ia melihat ke bawah, ke wajah-wajah samar yang bergerak di air. Mereka semua menatapnya.
Rendra membiarkan dirinya jatuh. Ia menenggelamkan dirinya ke dalam air yang terasa seperti darah yang sangat dingin.
Ia merasakan keheningan total menyelimutinya. Suara-suara Rani dan Dimas menghilang. Hanya ada sensasi tenggelam yang tak berdasar.