NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Rafael Meninggalkan Serafina

Malam itu, di kamar Serafina yang dulu di rumah Livia, suasana tegang. Rafael berbaring kaku di sisi tempat tidur, mata tertuju pada langit-langit. Dia masih mengenakan celana panjang dan kaosnya, menolak untuk melepasnya. Serafina, di sisi lain, sudah berganti menjadi gaun tidur sutra yang mahal, tubuhnya merekat erat pada Rafael, kepalanya di bahunya.

Dia terus-menerus berbicara, berbisik tentang kenangan mereka, tentang betapa dia merindukan ini, tentang betapa dia membenci perjodohannya.

Tangannya tidak pernah berhenti menyentuh—mengelus lengan Rafael, memainkan rambutnya, menggenggam tangannya yang kasar.

Rafael diam saja. Dia seperti batu, membiarkan dirinya dimanfaatkan, dibelai, dicuri kehangatannya. Setiap sentuhan Serafina terasa seperti pisau yang mengukir rasa bersalah dan kerinduan di jiwanya.

Di luar, di balik jendela yang tertutup tirai, Elio berjaga. Tubuhnya tegang, matanya menatap gelapnya malam, tetapi seluruh indranya tertuju pada suara-suara samar dari dalam kamar. 

Dia mendengar setiap bisikan Serafina, setiap helaan napas Rafael. Tangannya mengepal. Dia ingin menerobos masuk, menarik Rafael pergi, tapi dia tahu dia tidak bisa. Tugasnya adalah melindungi Serafina, bahkan dari dirinya sendiri.

“Hanya tidur,” gumamnya pada diri sendiri berulang-ulang, seperti mantra. “Mereka harus hanya tidur.”

Tapi bayangan tentang apa yang bisa terjadi membuat dadanya sesak. Cemburu dan rasa posesif yang lama dipendam menggelegak dalam darahnya.

Di dalam kamar, Serafina akhirnya tertidur, terkalahkan oleh kelelahan dan mungkin oleh wine yang dia minum sebelumnya. Pelukannya mengendur, tapi tubuhnya masih merekat pada Rafael.

Rafael, yang masih terjaga, menatapnya. Dalam cahaya bulan yang menyelinap melalui celah tirai, wajah Serafina tampak begitu damai, seperti gadis yang dulu dia kenal sebelum segalanya menjadi rumit. Dia ingin mengusap pipinya, tapi tangannya diam di udara.

Dia memilih untuk tidak menyentuhnya. Dia memilih untuk tetap menjadi batu, benteng terakhir bagi dirinya sendiri yang perlahan retak.

Dia memejamkan mata, berusaha tidur, tetapi yang bisa dia dengar hanyalah napas Serafina yang teratur dan, dari balik jendela, rasa hadirnya Elio yang seperti harimau yang mengintai.

...🌊🌊🌊...

Fajar masih jauh, kamar tenggelam dalam bayangan biru keabuan. Hanya desau angin laut yang menerobos celah jendela. 

Rafael sudah bergerak, tubuhnya yang hangat berusaha melepaskan diri dari belitan Serafina. Tangannya yang kasar membelai lengan Serafina dengan lembut.

“Aku harus pergi, Serafina. Laut tidak menunggu,” bisiknya, suaranya serak karena tidur.

Tapi Serafina bergerak lebih cepat. Lengannya, yang tadi lemas dalam tidur, tiba-tiba mengencang seperti ular, menjerat tubuh Rafael dan mendorongnya kembali ke kasur.

“No,” desisnya, nadanya bukan memohon, tapi memerintah. Matanya, yang terbuka tiba-tiba, berkilau dalam kegelapan dengan intensitas yang hampir menakutkan. “Tidak hari ini.”

“Sera…”

Tangan Serafina  sudah merayap di bawah kaosnya, telapak tangannya yang halus menekan dan meraba setiap definisi otot perutnya yang keras. “Ini … ini adalah canduku.”

Dia mendorong Rafael untuk berbaring lagi, mendominasi ruang personalnya. Jari-jarinya yang dingin menarik ujung tanktop Rafael dan mendorongnya ke atas, menyingkapkan torso kekarnya yang terbakar matahari. Nafasnya tertahan.

“Dio Mio … kau dipahat dari obsesi,” gumamnya, bukan dengan kekaguman, tapi dengan kepemilikan. Matanya menyapu setiap lekuk sixpack-nya, setiap garis otot yang membentuk V di pinggangnya. “Setiap otot … sebuah pengingat mengapa aku tidak bisa melepasmu.”

Rafael mencoba untuk bangkit, tapi Serafina sudah menduduki pangkuannya, menahannya dengan bobot tubuh dan keinginannya. Gaun satin marunnya yang tipis dan nyaris transparan melorot, memperlihatkan bahu dan lekukan dadanya yang pucat. Kulitnya yang seperti susu bercahaya kontras dengan kulit Rafael yang kecoklatan.

“Lihat apa yang kau lakukan padaku,” bisik Sera, menggenggam pergelangan tangan Rafael dan menuntun tangannya yang besar dan kasar untuk merasakan denyut nadi di lehernya, lalu ke bahu yang terbuka. “Kau adalah satu-satunya demam yang tidak ingin kusembuhkan.”

Tangannya sendiri tak kenal lelah. Dia membungkuk, bibirnya menghiasi tulang selangka Rafael, lalu turun ke dadanya, meninggalkan jejak panas. 

Rafael mendesah, kepalanya terlempar ke belakang, tangannya mengepal di sprei. Perlawanannya meleleh di bawah serangan sensualitas yang begitu terfokus dan egois ini.

“Serafina, ini berbahaya,” rintihnya, tapi tubuhnya berkata lain.

“Segala sesuatu yang layak dimiliki adalah berbahaya,” balasnya, nafasnya hangat di kulitnya. Tangannya merayap lebih rendah, mengusap perutnya yang keras, sampai akhirnya telapak tangannya menekan dengan sengaja pada merpati. Rafael mengerang, tubuhnya melengkung.

“Lihat? Kau juga menginginkanku,” ucap Serafina dengan suara penuh kemenangan. “Tubuhmu tidak bisa berbohong seperti mulutmu.”

Di tengah godaan yang semakin menjadi, sebuah bunyi ‘drrtt’ yang keras dan terus-menerus memecah konsentrasi. Ponsel Rafael di atas meja samping tempat tidur bergetar tak henti-hentinya. 

Marco.

Dengan tenaga yang terkumpul dari dasar keinginannya, Rafael meraih ponselnya. Tangannya yang satu masih menahan gaun Serafina yang semakin merosot.

“Halo?”

Serafina, bagaimanapun, tidak peduli. Dia melihat ini sebagai gangguan. Bibirnya kembali ke leher Rafael, gigi depannya menggigit lembut kulit di bahunya, sementara jari-jarinya terus mengusap-usap otot lengan Rafael yang menahan bahunya.

“Ya … ya, Marco. Tidak, aku tidak…” Rafael terengah-engah, mencoba berkonsentrasi. “Aku … aku tidak enak badan. Sakit kepala...”

Dia mendengar Marco mengatakan sesuatu tentang istirahat, lalu menutup telepon. Begitu ponselnya menyentuh meja, pertahanannya runtuh.

Ia berbalik, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, bukan hanya pasif. Dia meraih wajah Serafina, tangannya yang besar menengadah pipinya, dan menatap matanya yang penuh kemenangan dan keinginan.

“Kau adalah kutukan,” desisnya, sebelum mulutnya menubruk bibir Sera.

Ini bukan ciuman lemah yang dulu dia berikan. Ini adalah badai. Sebuah klaim. Dia menyerbu, melahap rasa dan keberadaannya, membalas setiap sentuhan dengan intensitas yang tertahan selama ini. Tangannya, yang selama ini hanya pasif, sekarang menjelajah. Merasakan lengkung yang ramping melalui kain satin yang tipis, meraih bongkahan dan mendekatkannya erat-erat padanya, hingga tidak ada celah di antara mereka.

Serafina mendesah ke dalam mulutnya, kewalahan dan senang.

Kemenangan.

Ini yang dia inginkan. Dia membiarkan dirinya ditaklukkan, tangannya meremas bahu Rafael yang berotot, menyerah pada badai yang dia sendiri picu.

Rafael menggulingkan posisi mereka sehingga kini dia yang di atas. Nafasnya berat, matanya gelap oleh nafsu dan konflik yang tak terselesaikan. Tangan yang tadinya membelai, kini mencengkeram. 

Dia menyingkapkan gaun Sera, dan kulitnya yang pucat bersinar seperti mutiara dalam cahaya redup. Dia menunduk, mulutnya menghisap titik yang sudah mengeras, membuat Serafina menjerit pelan, jari-jarinya mencengkeram rambut pirang Rafael yang kasar.

“Rafael … kumohon …,” rengeknya, tubuhnya melengkung, menawarkan dirinya sepenuhnya.

Tapi saat tangan Rafael meraih kait celananya, saat Serafina sudah membuka kaki dan siap menerimanya, sesuatu dalam dirinya patah.

Dia membeku.

Nafasnya yang terengah-engah tiba-tiba berhenti. Matanya, yang sebelumnya penuh kegelapan, melebar. 

Dia melihat di bawahnya—Serafina, yang cantik, kaya, dan terobsesi, dengan kulit pucatnya yang akan selamanya membawanya kembali ke dunia yang ingin dia hindari.

Dengan gerakan kasar, dia mendorong dirinya menjauh. Dia mengancingkan celananya dengan tangan gemetar, menyambar pakaiannya dari lantai.

“Rafael?” Suara Serafina kecil, terluka, dan bingung.

Dia tidak menjawab. Dia tidak bisa. Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju pintu, membukanya, dan membantingnya hingga bergetar. Suara bantingan itu seperti tembakan di keheningan dini hari.

Elio, yang berjaga di luar dengan tubuh tegang, langsung berdiri. Dia melihat Rafael yang terlihat compang-camping, rambut berantakan, dan wajah yang dipenuhi rasa sakit dan kemarahan, bergegas turun tangga.

“Marco!” teriak Rafael ke ponselnya, suaranya pecah. “Aku ubah pikiran! Aku ikut! Tidur … justru lebih menyakitkan. Laut … laut akan menyembuhkanku.”

Dia berlari menjauh, kemejanya yang tidak dikancing berkibar seperti sayap yang patah ditiup angin laut yang asin.

Elio dengan hati-hati membuka pintu. Yang dia lihat adalah Serafina, terduduk di atas tempat tidur yang berantakan. Gaun satinnya masih tersingkap, rambutnya awut-awutan, dan bibirnya bengkak oleh ciuman. Ada kemenangan pahit di matanya, tapi juga kebingungan yang mendalam.

Dia menarik selimut hingga ke bahunya, menutupi tubuhnya yang masih gemetar.

“Elio,” bisiknya, suaranya datar. “Kami hanya tidur. Dia … harus pergi melaut.”

Elio berdiri di ambang pintu, menatapnya. Dia melihat kekacauan di tempat tidur, bibir Serafina yang bengkak, dan kepura-puraan yang menyedihkan itu. Darahnya mendidih, tapi dia hanya mengatupkan rahangnya.

Dia tahu kebenarannya.

Dan kebenaran itu lebih menyakitkan daripada kebohongan apa pun yang bisa diucapkan Serafina. 

Rafael telah melarikan diri, dan Serafina tetap terobsesi, terbaring di ranjang kemenangan yang sebenarnya adalah kekalahan terbesarnya. 

...🌊🌊🌊...

Rafael secara naluriah agak mundur, tapi Mila tetap maju, mendudukinya di pangkuannya dan menyandarkan kepalanya yang kecil di dada Rafael yang berotot.

Rafael berbisik, “aku bau ikan dan rokok.”

“Aku sudah terbiasa,” bantah Mila, mendongak dengan mata berbinar.

Teman-temannya Rafael hanya tersenyum, tak ada yang berani lagi mencubit pipi Mila yang sekarang mulus dan wangi. Mereka merasa tangan mereka yang kasar akan mengotori peri kecil itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!