Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembar?
Beberapa hari berlalu.
Setelah berbelanja di tukang sayur keliling—Anin berjalan menuju rumahnya sembari menenteng kantong plastik berisi sayuran dan bahan makanan belum diolah.
Anin menghela napas ketika melihat Candra serta sekumpulan pria lain yang sebaya dengan dirinya.
“Duh, males banget ngelewatin mereka. Mau putar balik tapi mereka udah lihat aku,” gumam Anin.
Anin menunduk, tetap melangkah melewati kumpulan pria itu.
“Si Giandra itu naif banget. Dikasih kesempatan buat selingkuh malah nggak mau dan ceramahin gue,” cibir Candra ketika Anin lewat di depannya.
Seketika langkah Anin terhenti. Dia pun menoleh, lalu menghampiri Candra. “Apa maksud kamu?” tanyanya.
“Giandra belum cerita?” Candra bertanya balik.
“Cerita apa?” tanya Anin lagi dengan memasang wajah ketus.
“Selama di luar kota, banyak pelacur yang menawarkan jasanya dan menggoda kami,” jawab Candra.
Anin tertegun, matanya membelalak.
“Tapi tenang aja, suami kamu itu naif dan bodoh. Dia lebih pilih setia sama kamu,” sambung Candra.
“Bagus dong. Itu artinya dia bukan pria murahan,” ucap Anin.
“Bagus? Hahaha, itu namanya bodoh. Aku yang cuma sopir aja bisa sewa pelacur setiap hari, masa Giandra nggak bisa? Semiskin itu kah dia? Oh iya, aku lupa ... Dia kan cuma mewarisi harta punya bapakmu. Pantas jiwa miskinnya masih melekat,” celetuk Candra.
“Urat malu kamu udah putus ya? Bisa-bisanya bangga karena sewa pelacur setiap hari padahal udah punya istri! Kalau kamu punya otak, harusnya kamu malu. Bukan bangga,” balas Anin.
“Harus bangga dong karena aku lebih mampu daripada pria yang ngerebut kamu dari aku,” sahut Candra.
“Giandra nggak ngerebut aku dari siapa pun. Aku yang mutusin buat terima lamarannya karena ayah nggak setuju sama hubungan kita.” Anin terdiam sejenak, menghela napas panjang. “Dulu aku bingung, kenapa ayah begitu menentang hubungan kita tapi sekarang aku tahu alasannya. Ayah pasti tahu semua kebusukan kamu!” serunya.
Candra terdiam, mendengus kesal, lalu membuang mukanya.
“Sekali lagi kamu hina Giandra, aku akan bikin kamu malu!” tegas Anin.
Anin berbalik, melangkah menjauh dengan napas terengah, dan langkah yang sedikit tergesa-gesa.
...🌹🌹🌹...
Giandra duduk di bale kayu bersama Lavanya dan putrinya yang kini sudah balita, tangannya memegang sendok kecil yang berisi bubur bayi. Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, Anin masuk dengan wajah memerah.
“Kamu kenapa?” tanya Giandra.
“Aku emosi karena Candra hina kamu,” jawab Anin.
“Hina gimana?” tanya Giandra lagi.
“Dia bilang kamu naif dan bodoh karena pilih setia sama aku daripada sewa pelacur selama di luar kota,” ungkap Anin.
Giandra terkekeh kecil, membuat Anin mengerutkan kening.
“Kok ketawa? Lucu?” tanya Anin.
Giandra menggeleng, beranjak, kemudian menghampiri Anin. “Candra bener kok. Aku lebih baik jadi orang naif dan bodoh daripada selingkuhin kamu,” jawabnya.
“Kenapa?” Anin mendongak, menatap Giandra yang berdiri di depannya.
Giandra menunduk, menangkup kedua pipi Anin. “Karena kamu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku bersyukur banget dapet istri yang cantik, baik, sholeha, keibuan, dan aku diterima sebagai menantu oleh ayah kamu meskipun belum punya harta apa pun.”
Anin membisu, matanya berkilat basah, dan lidahnya mendadak kelu.
“Masa udah dapet pasangan yang sesempurna kamu, aku selingkuh? Aku masih punya otak,” tambah Giandra.
“Ta–tapi aku nggak bisa selalu ada di sisi kamu ... Aku takut cinta kamu pudar,” ucap Anin dengan suara gemetar.
“Hal sepele seperti itu nggak mungkin memudarkan cintaku. Meskipun kamu nggak bisa selalu ada buat aku, tapi aku yang akan selalu ada buat kamu sampai napas terakhirku,” tutur Giandra.
Giandra mengelap air mata yang menetes di pipi Anin. “Bahkan jika kehidupan kedua beneran ada, aku mau kamu jadi pasanganku lagi ....”
Air mata Anin mengalir semakin deras, bahkan isak tangisnya mulai kencang. Giandra langsung menarik tangan Anin, kemudian memeluk tubuhnya erat.
...🌹🌹🌹...
Keesokan harinya ...
Anin berdiri di depan kaca, menatap pantulannya yang tampak sedikit gemuk semenjak kehamilan keduanya.
“Mas, aku gendutan ya?” tanya Anin sembari melirik Giandra yang tengah duduk dan melukis di dekat kasur.
“Wajar karena kamu lagi hamil ... Nanti kalau bayi kita udah lahir juga kurus lagi,” jawab Giandra.
“Tapi perut aku tuh besarnya nggak normal dan lebih berat dari hasil pertama,” ungkap Anin.
“Mau periksa ke bidan? Mungkin kamu hamil anak kembar,” ucap Giandra.
“Nggak mungkin! Nggak ada keturunan kembar di keluargaku,” elak Anin.
“Di keluargaku ada,” jawab Giandra.
Anin mengernyit. “Siapa?” tanyanya.
“Sebelum aku lahir, aku punya kakak perempuan yang kembar identik kata nenek. Tapi sayangnya ... Mereka meninggal saat usianya baru menginjak satu tahun,” ungkap Giandra.
“Kok bisa?” Anin bertanya lagi.
“Karena kelalaian ibu,” jawab Giandra.
Giandra menghela napas berat, bangkit, menghampiri Anin, kemudian melingkarkan kedua tangannya di perut Anin. “Jadi mungkin aja kalau kita punya anak kembar,” katanya sembari menyandarkan kepala di leher Anin.
“Oh, gitu ... Oke deh, ayo kita ke bidan!” seru Anin dengan nada antusias.
“Ayo!” sahut Giandra.
...🌹🌹🌹...
Pada malam hari, Anin dan Giandra duduk di meja makan. Di depannya, Ivana dan Candra yang tengah menikmati hidangan makan malam.
“Tumben kalian ajak kita makan malam. Ada keperluan apa?” tanya Candra tanpa basa-basi.
“Gue dan Anin baru tahu kalau janin yang ad di kandungan Anin itu ada dua,” jawab Giandra.
“Anin hamil anak kembar?” tanya Ivana dengan dahi berkerut.
Anin mengangguk kecil.
“Wih, selamat ya!” seru Ivana.
Senyum bahagia terukir di bibir Ivana. Namun, Candra justru memasang wajah datar tanpa ekspresi.
“Apa yang perlu di ucapin selamat? Hamil anak kembar itu risikonya tinggi. Bisa aja Anin meninggal pas melahirkan,” celetuk Candra.
“Jaga ucapan lu ya! Anin nggak akan alami hal itu karena gue bakal usahain yang terbaik untuk persalinannya nanti,” ucap Giandra.
“Ya terserah lo sih. Lo kan emang bodoh dan naif,” cibir Candra.
Giandra terdiam, tetapi tangannya mengepal, dan rahangnya mengeras. Anin meliriknya, kemudian menggenggam erat tangannya.
“Sabar, Mas ... Jangan kepancing sama ucapan Candra. Kelakuannya emang melebihi setan,” bisik Anin.
Giandra menarik napas, kemudian membuangnya berat. “Iya, sayang,” katanya sembari menatap wajah Anin.