Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Astral Projection
...*** ...
Akhirnya, setelah banyak bujukan, Lanang berhasil meyakinkan Dokter Elibrech untuk melepaskannya. Dengan memanfaatkan sisa-sisa energi yang masih melekat pada baju pasien Bryan yang tertinggal di kasur, ia berusaha melacak aura sahabatnya itu. Jejaknya mengarah ke satu tempat, yaitu apartemen Adam.
Dokter Elibrech sendiri yang bersedia mengantarnya. Di wajah pak tua itu terlihat keraguan yang dalam. Meski telah menyaksikan hal-hal di luar nalar, membiarkan Adam berkeliaran sendirian dalam keadaan seperti ini terasa seperti pengabaian tugasnya sebagai seorang wali.
Sesampainya di depan apartemen Adam, Dokter Elibrech tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tangannya menahan Lanang tepat sebelum mereka melintasi ambang pintu.
"Tunggu dulu, Adam. Ada yang tidak beres di sini," bisiknya, suara rendah namun penuh kewaspadaan. Jantungnya berdebar kencang menanggapi firasat buruknya.
Lanang hanya menatapnya heran. Apakah dokter ini ketakutan hanya karena melihat pintu apartemen yang terbuka lebar? Kenapa harus takut? Bukankah Bryan seharusnya ada di dalam?
Tanpa menunggu respon, Dokter Elibrech melangkah masuk lebih dulu. Ia bahkan memberi isyarat agar Lanang menunggu di luar. Begitu matanya menyapu ruangan, kecurigaannya terbukti benar.
Ruang tamu apartemen itu dalam keadaan kacau balau. Sebuah kursi terguling di sudut, pecahan vas berantakan di lantai, dan semua barang berantakan, menunjukkan tanda-tanda perlawanan singkat namun sengit.
Melihat pemandangan itu, naluri Dokter Elibrech langsung berteriak. Dalam sekejap, ia menarik tubuh Lanang dan membawanya menjauh dari pintu.
"Cepat pergi dari sini, Adam! Jangan masuk!" perintahnya, suara bergetar namun tegas. "Aku akan hubungi pihak berwajib dulu! Situasinya persis seperti saat kau diculik dulu!"
Wajahnya pucat, mengenang trauma penculikan yang pernah menimpa anak baptisnya di tempat ini beberapa minggu lalu.
Namun, Lanang yang tidak memahami bahaya modern justru tidak menggubris peringatan itu. Instingnya yang lebih tua dan lebih tajam dari manusia mana pun mendesaknya untuk segera masuk. Saat Dokter Elibrech asyik berbicara melalui telepon, ia menyelinap masuk, menyusuri setiap jengkal ruangan dengan hati-hati.
Dan di sana, ia segera merasakannya. Sesuatu yang sangat tidak beres. Dia melangkah pelan semakin dalam,matanya mengamati setiap detail kekacauan yang ada. Langkahnya dipercepat, memeriksa setiap sudut apartemen dengan cekatan. Hasilnya sama: tidak ada tanda-tanda Bryan.
"Dasar Gandarwa. Ke mana dia pergi?" desis Lanang, rasa jengkel mulai menyergap. Situasi ini jelas-jelas tidak normal.
Yang membuatnya semakin bergidik, aura Bryan masih terasa sangat kuat di udara, seolah ia baru saja berada di sini. Namun, tidak ada wujud fisiknya. Bahkan yang lebih aneh, para lelembut, alias makhluk halus yang biasanya menghuni sudut-sudut gelap apartemen, juga ikut menghilang tanpa jejak. Suasana terasa hampa, terlalu sunyi, dan mati secara spiritual, seolah semua energi hidup disedot begitu saja.
Rasanya seperti sebuah tabir tak kasat mata, sebuah kubah penyekat, telah menyelimuti seluruh area dan mengisolasi segala sesuatu di dalamnya.
Lanang segera bersiap untuk melakukan pemindaian spiritual, seperti yang pernah dilakukannya ketika mencari pencuri sepatu Adam. Namun, sebelum sempat memulainya, gangguan datang dari Dokter Elibrech yang baru saja masuk dengan wajah panik.
"Ya ampun, sudah bilang untuk jangan masuk, tapi malah diam-diam menyelinap ke dalam! Dasar anak bandel!" sembur Dokter Elibrech, suaranya berisi campuran kekhawatiran dan kekesalan.
"Tabib," sela Lanang, memotongnya. Suaranya tiba-tiba berubah, lebih dalam, lebih tenang, dan penuh wibawa, sama sekali berbeda dari nada "Adam" yang biasanya.
"Lapor polisi? Apa gunanya, Tabib? Apa Tabib lupa bahwa aku juga Polisi? Dan yang kita hadapi sekarang bukanlah kejadian biasa yang bisa ditangani dengan logika polisi."
Dia menatap lurus ke mata dokter itu. Sorot matanya, yang biasanya terlihat ceroboh, kini memancarkan kilatan kebijaksanaan kuno yang mengerikan.
"Kita sedang terjebak dalam perangkap dimensi, Tabib. Bryan masih ada di sini, dan mereka, siapa pun 'mereka' itu, saat ini sedang mengawasi kita dari balik layar dimensi lain," ucap Lanang dengan suara rendah yang hampir seperti desahan angin.
Mendengar penjelasan itu, tubuh Dokter Elibrech langsung menegang. Segudang pertanyaan dan penolakan berkelebat di kepalanya, ingin menyangkal semua ini sebagai halusinasi atau omong kosong. Namun, yang berbicara adalah anak baptisnya sendiri—orang yang baru saja menunjukkan kekuatan mengerikan dengan menerbangkan benda-benda dan mengaku mempelajari mantra kuno. Kenyataan itu memaksanya untuk terdiam, tidak mampu membantah.
"Lalu... apa yang harus kita lakukan?" tanya Dokter Elibrech akhirnya, suaranya lirih dan tidak berdaya, sambil memperhatikan Lanang yang mulai meraba-raba dinding apartemen dengan penuh konsentrasi.
"Bisa tolong tutup pintunya, Tabib? Aku perlu bersemedi. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat, atau mengganggu," pinta Lanang.
"Apa? Kau mau bersemedi? Mau menggunakan ilmu hitam itu lagi?" suara Dokter Elibrech tiba-tiba meninggi, dipenuhi kecemasan. "Tidak. Kau tidak boleh melakukannya lagi. Sudah ku bilang, kau harus menjauh dari semua itu!"
Lanang menarik napas panjang, mencoba bersabar. "Memangnya ada cara lain yang bisa kita lakukan, Tabib? Bisakah kita melaporkan hal-hal yang berbau ilmu hitam dan dimensi lain ke kantor polisi?" tanyanya, sedikit menyindir.
Wajah Dokter Elibrech langsung berubah pucat. Mustahil melaporkan hal seperti itu. Mereka pasti akan dianggap gila atau pembohong.
Melihat ekspresi dokter itu yang mulai goyah, Lanang melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Aku tahu kau khawatir, Tabib. Tapi percayalah padaku, kali ini aku hanya akan menggunakan kekuatan ini seperlunya, untuk menemukan Bryan."
"Jika tidak sekarang, aku khawatir mereka sudah membawanya terlalu jauh. Apa Tabib mau Bryan menghilang selamanya, seperti yang terjadi padaku dulu?"
Dokter Elibrech langsung menggeleng, tak sanggup membayangkan Bryan menghilang seperti Adam dulu. Ingatannya melayang pada beberapa minggu lalu, saat mereka pontang-panting mencari Adam. Segala upaya dan sumber daya dikerahkan, tapi tidak ada jejak yang ditemukan. Bahkan sampai sekarang, ia masih heran bagaimana mungkin Bryan bisa menemukannya.
Tapi sekarang bukan saatnya untuk mengungkit masa lalu. Mereka harus menemukan Bryan sebelum terlambat. Dengan langkah cepat, Dokter Elibrech bergegas ke pintu depan dan menguncinya rapat-rapat.
Ketika ia kembali ke kamar, pemandangan yang menyambutnya membuatnya tertegun. Anak baptisnya duduk bersila di lantai dengan posisi lotus sempurna. Tangannya membentuk simbol aneh di depan dada, matanya terpejam rapat. Dokter Elibrech bisa merasakan sesuatu yang aneh—udara di sekitarnya terasa lebih hangat, seolah dipenuhi energi yang tak kasat mata.
Ribuan pertanyaan dan kekhawatiran bergolak dalam pikirannya, tapi ia memilih untuk diam. Memberi Adam kesempatan untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan Bryan.
Tak lama kemudian, kabut hitam tiba-tiba muncul entah dari mana. Awalnya hanya sekelebat asap, lalu berkumpul membentuk bulatan yang berputar perlahan. Semakin lama, putarannya semakin kencang, hingga akhirnya menghantam dinding tepat di depan Lanang.
DUAR!
Suara itu memekakkan telinga, mengguncang seluruh ruangan.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi?!" teriak Dokter Elibrech, hampir kehilangan keseimbangan.
Retakan kecil muncul di dinding, sementara kabut hitam itu terus berputar dengan dahsyatnya. Seperti dihisap oleh angin puting beliung, benda-benda ringan di sekitarnya mulai terbang dan tersedot ke arah pusaran kabut itu.
"Adam! Apa yang kau lakukan?!" Dokter Elibrech hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Panik dan cemas bercampur jadi satu dalam dadanya.
"Tabib, aku harus pergi sebentar," suara Lanang tiba-tiba menyela, tenang namun mendesak. "Jaga tubuhku tetap di posisi ini. Jika dalam satu jam aku belum kembali, panggil namaku keras-keras di dekat telingaku."
"Hah? Pergi ke mana? Kenapa aku harus—"
Dan perkataannya tiba-tiba terhenti, sebuah pikiran mengerikan melintas di benak Dokter Elibrech
"Adam! Jangan-jangan kau mau meninggalkan tubuhmu? Hanya jiwamu yang pergi?"
Perkataannya sendiri membuatnya menggigil. Ia tidak tahu dari mana ide itu datang, tapi ia pernah mendengar cerita tentang ilmu hitam yang memungkinkan perjalanan jiwa keluar tubuh.
"Dasar anak bandel! Hei, Bangun! Jawab aku!"
Tapi suaranya seolah tertiup angin. Lanang sudah tidak merespons. Jiwa yang mendiami tubuh Adam itu telah pergi, menyusul kabut hitam yang perlahan menghilang, meninggalkan Dokter Elibrech dalam kebingungan dan ketakutan yang mencekam.
...*** ...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya