Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Kejujuran Bastian
Setelah di kantornya tadi ia mendapati karyawan barunya ternyata adalah seorang wanita yang ia kenal, kini, sesampainya di Penthouse, Bastian harus kembali memarahi Sena. Semua itu gara-gara Sena yang masih saja mengizinkan Arya tinggal di sini.
Pria yang katanya hanya menumpang semalam, rupanya hari ini ingin menginap lagi. Entah apa yang sebenarnya terjadi di tempat Arya, sampai-sampai ia begitu nekat memilih berlama-lama di Penthouse ini.
Bastian sejak tadi sudah memarahi Sena di kamar. Namun, meski amarahnya meluap, tetap saja ia tidak bisa langsung mengusir Arya.
“Mau gimana lagi, Bas. Aku sudah terlanjur bolehin Arya nginep di sini lagi. Jangan diusir, kasihan,” bela Sena, suaranya pelan namun tegas.
Bastian benar-benar merasa darahnya mendidih. Ia menahan diri dengan susah payah.
“Sena, ini terakhir kalinya kamu terima tamu sembarangan. Ini Penthouse ku, bukan Penthouse mu yang bisa seenaknya kamu atur!” Ucapannya tajam, seperti pisau yang menembus langsung ke hati.
Sena otomatis menunduk. Hatinya menciut, meski ia sadar bahwa ucapan Bastian ada benarnya. Walau kini mereka suami-istri, Penthouse ini tetaplah milik Bastian.
“Maaf...” bisiknya lirih.
“Tidur sana.”
Sena pun merebahkan tubuhnya di kasur. Namun, ia masih sempat melirik Bastian yang tidak ikut berbaring.
“Mau ke mana?” tanyanya pelan ketika melihat pria itu menuju pintu.
“Ngerokok.”
“Jangan kebanyakan, ya.” Nada suara Sena lembut, membuat langkah Bastian sempat terhenti sejenak sebelum akhirnya ia tetap keluar kamar.
… … …
Di balkon Penthouse, Bastian menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul, menari bersama angin malam. Pandangannya kosong, pikirannya masih penuh sesak.
Tanpa diundang, lagi-lagi Arya ikut datang. Pria itu santai menjatuhkan tubuhnya di kursi depan Bastian. Bastian yang sedang malas menatap wajah pria itu, memilih memalingkan kepala.
“Bas, lo marah ya sama gue?” Arya berusaha memecah suasana dengan nada dibuat-buat.
Bastian menoleh sekilas, menatap jijik. “Jijik gue denger lo ngomong begitu.”
“Bagi, Bas,” Arya menyodorkan tangannya, meminta rokok. Bastian hanya menggeser bungkus rokok tersebut ke arahnya.
“Sena udah tidur?” tanya Arya lagi.
“Udah.”
“Lo jangan marahin Sena cuma gara-gara dia bolehin gue nginep, ya.”
“Telat. Udah gue marahin.”
“Bas, jangan jahat-jahat lah sama Sena.”
Mata Bastian langsung menajam. “Lo biang keroknya di sini. Pulang sana.”
“Lagian kenapa sih lo sampai nginep ke sini? Nggak jelas banget,” lanjutnya, nada suaranya dingin, penuh kemarahan yang tertahan.
“Dulu gue juga sering nginep tempat lo. Lo aman-aman aja.”
“Itu dulu! Sekarang gue udah punya istri.” Suara Bastian meninggi.
Arya tersenyum jail. “Emang siapa istri lo?”
Bastian hanya mendecak. Pertanyaan itu terlalu konyol untuk ia jawab.
“Lo udah ngakuin Sena istri lo?” desak Arya lagi.
“Dari dulu gue udah ngakuin Sena istri gue.”
“Tapi lo selalu nambahin embel-embel... ‘sampai anak lo lahir aja’.”
Tiba-tiba Arya semakin mencondongkan badannya ke arah Bastian “Jadi lo bakal ceraiin Sena kalau anak lo udah lahir, kan?” senyumannya menantang.
Darah Bastian mendidih. Rasanya ia ingin menendang Arya keluar dari balkonnya sekarang juga.
“Lo pengen banget gue cerai sama Sena?”
Arya mengangguk mantap. “Kan lo sendiri yang bilang kemarin. Abis dari lo, Sena boleh jadi milik gue kalau dia mau. Gampang kok bikin Sena mau. Sama lo yang brengsek aja dia bisa betah.”
Sontak, Bastian menendang tulang kering Arya.
“Bangs*t!” Arya meringis kesakitan.
“Gue nggak akan ceraiin Sena.” Kata-kata itu keluar begitu tegas dari mulut Bastian.
Arya malah terkekeh. “Jadi lo kalah, Bas? Kalah sama Sena?”
Bastian memejamkan mata lama. Saat membuka kembali, ia mengangguk kecil.
Dalam hatinya, ia tahu hidupnya jauh lebih berarti sejak bersama Sena. Kehadiran wanita itu membuat segalanya terasa lengkap dan membahagiakan. Melihat tingkah Sena setiap hari membuat mereka semakin terikat. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Sena.
“Sena punya pengaruh besar dalam hidup gue,” ucap Bastian perlahan. “Hidup gue jadi lebih terkontrol karena dia. Gue nggak lihat wajah dia beberapa jam aja, gue gelisah. Tiap kali pulang kerja dan ketemu wajah dia, rasanya semua beban hilang. Gue nggak bisa bayangin kalau harus hidup tanpa dia. Gue pasti hancur sehancur-hancurnya.”
Kata-kata panjang itu membuat Arya terdiam. Jarang sekali Bastian berbicara sejauh ini, apalagi soal perasaan. Hanya Sena yang bisa membuatnya berubah begitu.
Arya menepuk pundak Bastian, senyumnya kali ini tulus. “Gentleman! Sena istri yang worth it banget. Lo bisa aja buang dia kapan pun, tapi gue yakin lo yang bakal nyesel seumur hidup.”
“Gue nggak akan buang dia,” jawab Bastian lebih mantap kali ini.
Arya hanya diam. Saat Arya mencoba meraih rokok kedua, Bastian dengan cepat menghempas tangannya dan mengambil rokok itu.
“Lo nggak modal banget. Rokok minta, numpang tidur di Penthouse orang. Harta lo pada kemalingan semua?” sindir Bastian.
“Amit-amit. Besok gue nggak nginep sini lagi, Bas. Tenang aja. Lo bisa berduaan sama Sena sepuasnya.”
“Lagian sebenernya kenapa sih? Kenapa tiba-tiba minta tidur di sini?”
Arya menghela napas. “Ada cewek yang ngejar-ngejar gue sampai ke tempat tinggal gue. Gue males banget.”
Bastian terbahak. “Ada juga yang mau ngejar lo? Najis banget! Kasihan tuh cewek.” Ucapan itu disertai tawa keras sebelum ia beranjak kembali masuk ke dalam Penthouse, meninggalkan Arya yang menggerutu di balkon.
...****************...
Pagi menjelang, dapur Penthouse sudah ramai oleh aktivitas. Suara dentingan spatula, aroma tumisan, dan kepulan uap hangat memenuhi ruangan. Sena tampak sibuk, berperang dengan alat-alat dapur. Tangannya lincah memindahkan masakan ke dalam wadah-wadah kotak makan, telaten dan penuh perhatian.
Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Seorang pria dengan pakaian kerja rapih muncul. Senyumnya langsung merekah begitu mencium aroma masakan yang begitu menggoda.
Begitu melihat Sena berdiri di sana, Bastian tanpa pikir panjang langsung menghampiri. Lengan kokohnya melingkari pinggang Sena dari belakang, tubuhnya menempel hangat.
Sena terlonjak kecil, refleks menoleh.
“Bastian…” ucapnya lega ketika mendapati suaminya yang ternyata pelakunya.
Bastian menundukkan wajahnya, mencium aroma lembut dari leher istrinya. “Kamu ngapain pagi-pagi di dapur?” suaranya berat.
“Aku bikinin bekal buat kamu, hehe.” Sena menoleh dan tersenyum polos, wajahnya bersemu bangga.
Bastian menatapnya lama. Rasanya lucu sekaligus menghangatkan, istrinya benar-benar memasak untuknya. Namun, matanya sempat terhenti pada jumlah kotak bekal di meja, bukan satu, melainkan dua.
“Kok ada dua? Satu lagi buat kamu?” tanyanya curiga.
Sena mengusap tangannya dengan celemek, tersenyum kecil. “Untuk Arya. Kan dia masih nginep di sini.”
Bastian mendengus pelan, memutar bola matanya. Namun sebelum sempat melanjutkan, suara lain memotong dari belakang, lebih keras dan penuh antusiasme.
“Untuk aku, Sena?”
Sena dan Bastian serempak menoleh. Sena sedikit kaget, sementara tatapan Bastian seketika menajam dingin.
Arya berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya berbinar. “Untuk aku?” ulangnya sambil mendekat.
Sena tersenyum kikuk dan mengangguk. “Iya, untuk kamu.”
Arya langsung berseri-seri. “Terima kasih, Sena.” Suaranya tulus, penuh kebahagiaan.
Langkahnya spontan maju, tangannya terulur, berniat memeluk Sena. Namun sebelum sempat menyentuh, tubuhnya sudah lebih dulu terhalang. Bastian dengan cepat mendorong Arya menjauh, sorot matanya menusuk tajam.
“Sena itu istri gue,” ucap Bastian dingin, penuh penekanan. “Jangan macam-macam.”
Arya terkekeh, menepuk-nepuk pakaiannya yang berantakan karena dorongan tadi, sementara Sena hanya bisa terdiam, bingung di antara dua pria yang sama-sama bersikap terlalu intens.
...----------------...
^^^Cheers,^^^
^^^Gadis Rona^^^