NovelToon NovelToon
The Villain Wears A Crown

The Villain Wears A Crown

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: karinabukankari

Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22: The Quiet Between Storms

Pagi di Ravennor tak lagi diiringi suara trompet perang. Hanya denting alat pandai besi, tawa anak-anak, dan suara roda kereta yang berderak di jalan berbatu. Kabut tipis masih menggantung di atas reruntuhan tembok utara—sisa dari pertempuran terakhir.

Di aula besar yang dulunya dipenuhi darah dan sihir, kini meja-meja kayu berderet, penuh peta dan kertas suara. Dewan rakyat—sebuah konsep baru yang dulu terdengar seperti khayalan—kini mulai terbentuk perlahan. Wakil dari tiap distrik, termasuk dari desa-desa luar, duduk berdiskusi tanpa mahkota di antara mereka.

Seraphine duduk di bangku paling belakang ruangan itu, mengenakan pakaian biasa—tanpa zirah, tanpa simbol bangsawan. Di pangkuannya, setumpuk surat dari wilayah timur.

“Wilayah pegunungan masih menolak mengirim utusan,” kata Ash, duduk di sampingnya. “Mereka menganggap ini hanya pergantian wajah penguasa, bukan pergantian sistem.”

Seraphine mengangguk pelan. “Mereka tidak salah. Kalau kita gagal, ini semua hanya akan jadi tirani baru.”

“Lalu apa rencanamu?”

“Pergi ke sana.”

Ash menoleh cepat. “Kau bercanda.”

“Aku akan bicara langsung. Bukan sebagai pemimpin. Sebagai orang yang pernah kehilangan segalanya karena sistem ini.”

Ash menghembuskan napas. “Kalau kau mati, siapa yang—”

“Kalau aku mati,” Seraphine menyela, “kau pastikan sistem ini tetap hidup.”

Ash diam. Lalu mengangguk.

Di sisi lain istana, Orin duduk di taman kecil yang dulu tempat eksekusi para pemberontak. Kini, pohon-pohon ditanam kembali. Ia sedang membaca buku tua—tentang makhluk bersayap yang dulu muncul dari awan.

“Elias suka cerita itu,” gumamnya.

Caelum berdiri di belakangnya. “Dia mirip ayahnya?”

“Dia lebih baik. Karena dia akan tumbuh di dunia tanpa mahkota.”

Caelum duduk di dekatnya. “Kau percaya itu?”

“Aku harus. Atau aku kembali jadi monster yang dulu.”

Mereka terdiam. Dua saudara yang dulu bertempur dari bayang-bayang, kini duduk di taman, dihantui luka yang sama.

Seraphine menyiapkan perjalanannya diam-diam. Hanya membawa satu kuda, satu peta, dan satu surat dari rakyat Ravennor. Di gerbang timur, Caelum menunggunya.

“Kau tahu jalan ke pegunungan penuh bandit, kan?”

“Setidaknya bandit tahu siapa musuh mereka. Politik lebih berbahaya.”

Caelum tertawa pendek. Lalu memberikan sesuatu—potongan kecil dari belati sihir yang dulu ia gunakan untuk menyelamatkan Ravennor.

“Untuk mengingatkanmu… bahwa kau bisa memilih takdirmu sendiri.”

Seraphine menyelipkan belati itu di sabuknya. “Dan kau? Apa yang akan kau lakukan?”

“Menunggu. Tapi kali ini… tidak dengan tangan berdarah.”

Ia menatapnya dalam.

“Kalau kau tak kembali, aku akan menulis kisahmu sebagai mitos.”

Seraphine tersenyum. “Kalau aku kembali, kau harus menulisnya sebagai sejarah.”

Ia menaiki kudanya. Tanpa pengawal. Tanpa spanduk. Hanya angin pagi dan langit Ravennor yang kini mulai biru kembali.

Tapi di kejauhan, awan perlahan menggumpal lagi.

Dunia mungkin tak akan membiarkan mereka lama dalam damai.

Tapi untuk sekarang, Ravennor bernafas.

Dan Seraphine menunggangi harapan seperti senjata baru: sunyi, kuat, dan tak bisa ditawar oleh takhta mana pun.

Kabut tebal menyelimuti pegunungan di utara Ravennor. Jalur sempit di antara batu-batu tajam seakan dibuat bukan untuk manusia. Angin bersiul pelan seperti bisikan roh yang tertinggal di lereng curam.

Seraphine menarik tudung jubahnya lebih rapat. Udara dingin menyusup ke dalam tulangnya, tapi matanya tetap awas. Ia sudah melewati tiga desa yang terbakar separuh. Tidak ada penduduk. Hanya jejak kaki yang terlalu besar untuk manusia.

“Ini bukan bandit biasa…” gumamnya pelan.

Di sisi jalur, ia melihat sesuatu—tumpukan batu membentuk lingkaran. Di tengahnya, tulang binatang besar yang diukir dengan simbol-simbol tua. Ia turun dari kudanya, mendekat.

Simbol itu… ia mengenalinya.

Itu bukan bahasa Ravennor. Itu bahasa dari era sebelum kerajaan pertama. Sebuah peringatan kuno:

"Jangan bangunkan tulang yang belum tenang."

Seketika, angin berhenti.

Dan dari balik kabut, terdengar suara pelan. Rangkaiannya aneh, seperti bahasa yang sudah lama mati… tapi terasa hidup.

"Darah yang meneteskan mahkota, kini datang tanpa bayangan… kenapa kau ke sini, putri tak berbaju besi?"

Seraphine mencabut belati kecil dari sabuknya, tapi tetap berdiri tenang. “Aku tak datang membawa mahkota. Aku datang membawa suara.”

"Suara bisa membangunkan yang lebih tua dari takhta."

Dari balik kabut, muncul makhluk bertudung. Tingginya hampir dua meter, tubuhnya diselubungi kain abu-abu yang terus berkibar walau angin tak lagi bergerak. Wajahnya tersembunyi, tapi matanya bersinar—warna ungu gelap seperti malam tanpa bulan.

“Siapa kau?” tanya Seraphine.

"Kami adalah Pemelihara Tulang. Kami ada sebelum sihir diberi harga. Sebelum kerajaan menyebut dirinya dewa."

“Kenapa membakar desa-desa?”

"Kami tidak. Tapi yang lama telah terbangun… bukan oleh kami, tapi oleh sihir yang dirusak para bangsawanmu."

Seraphine mengepalkan tangan. “Kalau memang ada yang terbangun, bantu aku hentikan.”

Makhluk itu mendekat. Suaranya kini lebih pelan, lebih menyerupai bisikan di dalam kepala Seraphine.

"Kau ingin membuat sistem baru, tapi tak tahu tulang apa yang ditindih bangunanmu. Kalau kau terus membangun tanpa tahu apa yang dikubur… Ravennor akan jatuh bukan oleh perang, tapi oleh sejarah yang tak selesai."

Tiba-tiba tanah di bawah lingkaran batu retak.

Dan dari retakan itu, muncul tangan raksasa—tulang menghitam, jari-jari sebesar tombak, bergerak seperti mencari sesuatu.

Seraphine mundur, belati diangkat.

Pemelihara Tulang mengangkat tangan.

"Ikuti kami ke Puncak Ketiga. Di sana, kau akan tahu nama yang tak boleh disebut. Nama yang dibangunkan oleh darah baru Ravennor."

Seraphine menatap kabut, lalu mengangguk.

Jika ini harga untuk membangun dunia baru, ia siap.

Tapi dalam hatinya, suara lain mulai berbisik—bukan milik si Pemelihara.

"Kau sudah terlalu dalam, Seraphine… dan sejarah tidak selalu ingin ditulis ulang."

Puncak Ketiga. Tempat yang bahkan dalam peta kuno hanya digambarkan sebagai "titik sunyi di antara bayang-bayang". Tak ada yang tahu siapa yang pertama kali menamainya, atau kenapa dua puncak lainnya justru disebut "pertama" dan "kedua", seolah yang ketiga selalu datang lebih dulu.

Seraphine berdiri di tepi tebing, angin tipis menerpa wajahnya. Di bawahnya, jurang yang tak berujung. Di hadapannya: gua batu raksasa berbentuk rahang terbuka, seakan gunung itu ingin menelan siapa pun yang masuk.

Pemelihara Tulang berdiri di sampingnya. Tak bicara. Hanya menunjuk ke dalam.

“Kalau aku tak kembali, beri tahu Caelum—dia tahu apa yang harus dilakukan,” katanya, walau tahu makhluk itu tak akan menyampaikan pesan.

Langkah pertama ke dalam gua terasa seperti menyeberang ke dunia lain. Udara berubah. Lebih padat. Cahaya lentera seolah terserap dinding.

Di dalam, lukisan-lukisan kuno mengukir cerita:

— Seorang raja bersujud pada makhluk bersayap.

— Sebuah mahkota terbuat dari tulang naga.

— Anak-anak manusia berdarah campuran api dan bintang.

Semakin dalam, simbol-simbol itu menjadi bahasa. Ia bisa membacanya sekarang, entah kenapa. Seolah gua ini berbicara langsung ke pikirannya.

“Sihir adalah perjanjian, bukan hak.”

“Setiap kekuasaan berasal dari yang dikorbankan.”

“Ravennor dibangun di atas darah, bukan batu.”

Tiba-tiba tanah bergetar.

Dari tengah gua, muncul altar hitam. Di atasnya, benda kecil berkilau samar: pecahan cermin. Retakannya membentuk pola seperti mata.

Seraphine mendekat. Begitu ia menyentuhnya—segalanya meledak menjadi cahaya.

Ia melihat dunia terbakar. Bangunan-bangunan kerajaan runtuh, bukan oleh perang, tapi oleh kekuatan dari dalam tanah.

Ia melihat dirinya sendiri… tapi lebih tua. Matanya memancarkan api ungu. Di sekelilingnya, orang-orang bersujud.

Ia melihat Caelum… memegang pedang yang sama dengan Pendiri Pertama Ravennor.

Ia melihat Ash… dengan dua tanduk tumbuh dari dahinya.

Ia melihat Orin… berdiri di atas gunung tengkorak, dan berkata:

“Kita hanya bisa menciptakan dunia baru… dengan membunuh sejarahnya.”

Lalu semuanya menghilang.

Seraphine tersungkur, napasnya tersengal. Di tangannya, pecahan cermin itu menghilang, tapi sesuatu tertinggal: sebuah simbol terbakar di telapak tangannya.

Simbol itu tak bisa dihapus.

Pemelihara Tulang muncul di ujung gua. Ia bicara tanpa suara:

"Kau telah menyentuh kebenaran. Kini kau bukan hanya pembawa suara, tapi juga penjaga sejarah yang dibakar. Hati-hati, Seraphine. Karena dunia akan takut pada apa yang kau tahu."

Dan saat mereka keluar dari gua, kabut menghilang.

Langit terbuka. Tapi Ravennor takkan pernah sama lagi.

Hujan turun diam-diam di Ravennor.

Tapi ini bukan hujan biasa—airnya dingin seperti baja, dan tanah tak menyerapnya. Seolah kota itu sendiri menolak disucikan. Langit menggantung abu-abu, dan suara burung pun tak terdengar.

Yang tersisa hanyalah diam.

Di ruang bawah tanah Istana Lama, Orin menyalakan satu per satu lilin berbentuk tengkorak. Di hadapannya terbuka gulungan tua, ditulis dengan darah, bukan tinta. Mantra-mantra dari zaman sebelum Ravennor berdiri.

“Kau akan menghancurkan semuanya,” bisik suara samar.

Itu bukan suara dari luar. Tapi dari dalam dirinya sendiri.

Orin menjawabnya dengan tenang, “Bukan menghancurkan. Menyusun ulang. Dunia baru butuh fondasi baru. Dan itu tak bisa dibangun dari serpihan kebebasan.”

Ia menyelipkan jari ke antara dua halaman. Sebuah simbol menyala. Sejenak, matanya jadi hitam sepenuhnya. Nafasnya berubah. Bukan lagi Orin yang dulu. Tapi sesuatu yang lebih tua. Sesuatu yang tak seharusnya bangkit kembali.

Di sisi lain kota, Seraphine berdiri di depan kerumunan rakyat. Mereka berkumpul di Alun-Alun Tengah. Bukan untuk menyembah, tapi untuk mendengar.

Ia tak lagi berdiri di podium, tapi di tanah, sejajar dengan yang lain.

“Hari ini, kita mulai pemilihan. Bukan siapa yang akan memerintah. Tapi siapa yang akan mengawasi. Siapa yang akan menjaga agar tak ada yang berkuasa terlalu lama.”

Tepuk tangan terdengar. Tapi di antara kerumunan, ada yang hanya menatap tajam. Bukan dengan harapan. Tapi dengan keraguan.

Caelum melihat itu. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Seraphine. Ia bisa merasakan perubahan. Rakyat ingin kebebasan, tapi kebingungan. Mereka lapar akan pemimpin, tapi juga takut akan pengkhianatan.

“Kita tidak sedang memerintah,” katanya pada Seraphine setelah acara selesai. “Kita sedang bermain dengan api… dan semua orang memegang obor.”

Seraphine menatapnya. Mata ungu miliknya kini tak secerah dulu.

“Mungkin,” jawabnya pelan. “Tapi bukankah lebih baik kita semua terbakar bersama… daripada satu orang duduk di singgasana sementara sisanya membusuk?”

Malam harinya, suara dentang lonceng terdengar.

Tiga kali. Panjang. Dalam.

Itu bukan sinyal resmi. Itu sinyal kuno. Sinyal perang.

Caelum dan Seraphine keluar dari istana.

Langit merah. Tapi bukan karena matahari.

Karena api.

Salah satu menara pengawas terbakar.

Penjaga-penjaga tergeletak tak bernyawa. Tapi anehnya, tak ada luka. Tak ada darah. Hanya tubuh-tubuh kosong—seperti dijarah jiwanya.

Di dinding menara tertulis sesuatu dengan arang hitam:

“RAJA AKAN KEMBALI

…TAPI BUKAN MANUSIA.”

Orin berdiri di reruntuhan kuil tua. Di sekelilingnya, para pengikut baru berlutut. Mereka bukan rakyat biasa. Mereka adalah sisa-sisa kaum sihir lama. Yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang Ravennor.

“Dunia menolak kekuasaan,” katanya. “Maka kita akan memberinya ketertiban. Dunia menolak mahkota, maka kita ciptakan topeng. Dan di balik topeng itu… kekuasaan akan tetap hidup.”

Dan dari kegelapan kuil itu, muncul makhluk-makhluk pertama. Tidak sepenuhnya manusia. Tidak sepenuhnya bayangan.

Mereka bukan prajurit.

Mereka adalah pendiam yang memerintah.

1
karinabukankari
🎙️“Capek? Lelah? Butuh hiburan?”

Cobalah:

RA-VEN-NOR™

➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi

PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.

Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
karinabukankari
“Kamu gak baca Novel jam 11?”

Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...

➤ Tiap hari. Jam 11.

Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
karinabukankari
“Halo, aku kari rasa ayam...
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”

➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?

Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:

❝ Aku Telat Baca Novel ❞

#AyamMenyerah
karinabukankari
Ash (versi ngelantur):
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”

Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”

Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”

📅 Jam 11. Tiap hari.

Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
karinabukankari
“Lucu…
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”

Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.

➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.

Jangan salah pilih sisi.
– Orin
karinabukankari
“Aku tidak banyak bicara…
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”

Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?

Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.

– Orin.
karinabukankari
“Oh. Kamu lupa baca hari ini?”

Menarik.

Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...

➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.

Aku sudah memperingatkanmu.

– Ash.
karinabukankari
📮 Dari: Caelum
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku

"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"

🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.

💙 – C.
karinabukankari
🐾 Meong Alert!

Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!

🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !

Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush

Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!

😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.

#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
karinabukankari
🐓 Jam 11 bukan jam ayam berkokok.
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis

Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG

📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
karinabukankari
🕚 JAM 11 SIANG ITU JAM SUCI 😤

Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!

Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”

Jadi yuk… BACA. SEKARANG.

🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
karinabukankari
⚠️ PENGUMUMAN PENTING DARI KERAJAAN RAVENNOR ⚠️

📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!

Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.

Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!

❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
karinabukankari
📢 HALOOO PARA PEMBACA TERSAYANG!!
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.

⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB

🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.

➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~
Luna_UwU
Ditambahin sekuel dong, plis! 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!