Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Mulai
Langit pagi itu masih berwarna abu-abu. Gerimis turun pelan, membasahi jalanan dan menyelimuti kota dengan kabut tipis. Aku, Joan, Wita, dan Gilang berjalan ke mobil yang terparkir di depan rumah. Joan memayungiku, sementara Wita dan Gilang berbagi payung di belakang kami.
“Dingin banget ya,” gumam Wita, merapat pada Gilang. “Rasanya kayak hari libur, bukan hari kerja.”
Gilang meraih jemari Wita, menggenggam hangat. “Kalau kamu mau, kita bolos aja. Cari kafe, duduk berdua, nggak usah mikirin kantor.”
Wita menoleh, mengangkat alis. “Kamu pikir aku bisa seenaknya kayak kamu? Aku banyak kerjaan, Lang.”
Gilang terkekeh pelan. “Kalau kamu ikut, aku janji semua kerjaanku kelar malam ini. Aku cuma pengen waktu berdua sama kamu.”
Mereka berdua tertawa kecil, saling menatap sebentar di bawah payung. Sementara itu, aku berjalan beriringan dengan Joan. Hujan, bau tanah basah, dan suara rintik di payung menciptakan suasana yang terasa… tenang.
Joan menoleh ke arahku, suaranya rendah. “Kamu nggak apa-apa kan? Kamu kayaknya masih mikirin sesuatu.”
Aku menatapnya, tersenyum tipis. “Aku cuma… nggak percaya semuanya terasa normal pagi ini. Kayak semalam cuma mimpi aneh.”
Dia menggenggam jemariku sebentar, suaranya hangat. “Kalau semuanya terasa normal, nikmatin aja. Kita butuh pagi yang damai… meski sebentar.”
Kami sampai di mobil. Joan membuka pintu penumpang untukku, tapi sebelum aku masuk, bulu kudukku mendadak berdiri.
Dari seberang jalan yang berkabut tipis, aku merasa ada yang menatapku.
Aku menoleh. Jalanan sepi, hanya beberapa mobil lewat. Tapi di bawah pohon besar yang setengah tertutup kabut, aku melihat sosok samar berdiri diam. Tidak bergerak. Terlalu jauh untuk jelas, tapi tatapannya terasa menusuk ke arahku.
“Kenapa? Ada apa?” suara Joan memecah lamunanku.
Aku cepat-cepat menggeleng. “Nggak… nggak apa-apa. Cuma… perasaan aja.”
Setelah kami masuk mobil, aku masih menoleh ke luar jendela. Pohon besar itu… sekarang kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Di kursi depan, Gilang bersuara, berusaha mengalihkan suasana. “Aku harap kerjaan hari ini nggak seribet kemarin. Aku pengen kerja santai.”
Wita menatapnya sekilas, senyum tipis. “Kalau kamu mau santai, jangan banyak drama sendiri. Aku nggak mau kamu pulang stres.”
Gilang menatapnya hangat. “Selama ada kamu, aku nggak bakal stres.”
Mereka tertawa kecil. Tapi aku tetap diam, memandangi kabut yang menjauh.
Kantor Horizon terasa lebih sunyi dari biasanya, meski suara hujan di luar masih terdengar jelas. Banyak karyawan memilih kerja dari rumah karena cuaca buruk, jadi hanya beberapa orang di lantai ini. Aku dan Wita duduk di meja masing-masing, mencoba fokus pada pekerjaan.
Biasanya, suasana kantor ini… normal, setidaknya bagiku. Memang ada makhluk-makhluk yang mendiami sudut gelap gedung — yang hanya aku bisa lihat. Mereka biasanya anteng: bayangan tinggi di pojokan, sosok perempuan duduk di dekat pantry, dan satu sosok kecil yang sering bersembunyi di tangga darurat. Mereka tidak pernah bergerak kecuali sekadar melirik.
Tapi hari ini, semuanya terasa… salah.
Bayangan tinggi yang biasanya berdiri diam kini bergerak gelisah. Kepalanya menoleh setiap kali aku lewat. Sosok perempuan berambut panjang di pantry tak lagi duduk — dia berdiri, menatapku terus, bibirnya bergerak seperti berbisik sesuatu yang tak bisa kudengar jelas.
Aku merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku, bulu kudukku meremang. Mereka tidak menyerang… tapi mereka mendekat.
“Nad?” suara Wita memecah lamunanku. Dia menatapku dari balik laptopnya. “Kamu pucet banget. Ada yang nggak beres?”
Aku menelan ludah, berusaha tersenyum. “Aku… nggak apa-apa. Cuma kedinginan. Hujan bikin suasana kayak… nggak enak aja.”
Wita menatapku lebih lama, tapi tak banyak bertanya lagi. Dia memang tidak bisa melihat mereka, dan aku tidak mau bikin dia takut.
Tiba-tiba, dari arah lorong belakang, kudengar suara langkah kaki berlarian… tapi ketika kulihat, lorong itu kosong. Hanya lampu-lampu yang berkedip pelan, seperti ada sesuatu yang melewati jalurnya.
Bisikan samar terdengar di telingaku, pelan, tapi jelas:
“Wangi… sukma hangat… buka gerbang… wangi…”
Aku refleks menoleh. Sosok perempuan di pantry kini lebih dekat, setengah tubuhnya seperti menembus dinding. Matanya kosong, tapi bibirnya tersenyum lebar — terlalu lebar untuk ukuran manusia.
Aku berdiri perlahan, jantung berdegup kencang. Dari sudut mataku, bayangan tinggi di pojok juga mulai bergerak, langkahnya berat seperti menyeret. Mereka tak menyentuhku… tapi jelas sedang mendekat.
“Nad, kamu beneran nggak apa-apa? Kamu keliatan kayak liat hantu,” Wita setengah bercanda, tidak tahu betapa tepatnya kata-katanya.
Aku hanya bisa menjawab pelan, “Aku… baik-baik aja. Fokus kerja aja, Wit.”
Aku kembali duduk, berusaha mengabaikan semua itu. Tapi ketika aku membuka map dokumen di mejaku, ada setetes cairan hitam pekat di atas kertas, berkilat seperti minyak. Tidak ada sumbernya, tidak ada air di dekatku.
Aku menatapnya lekat. Pertanda… bahwa mereka mulai menyentuh ruangku.
Aku menatap setetes cairan hitam di atas dokumenku. Cairan itu berkilat seperti minyak, padahal tidak ada pipa bocor atau air hujan yang bisa sampai ke sini. Ruangan ini terlalu kering, terlalu tertutup… dan aku tahu pasti cairan itu bukan hal biasa.
Suaranya terdengar duluan sebelum wujudnya muncul — bisikan serak yang hanya bisa kudengar:
"Mereka mencium aromamu… kau jadi umpan, Nadia."
Dari pantulan layar laptop, aku melihat Ningsih muncul di belakangku. Rambut panjang merahnya menjuntai hampir menyentuh lantai, matanya bersinar samar. Wita yang duduk tak jauh dariku, jelas tak melihatnya.
“Ningsih…” bisikku pelan. “Kenapa mereka semua tiba-tiba aktif? Biasanya mereka cuma diam, nggak ganggu.”
Dia melayang mendekat, suaranya serak namun tenang.
“Karena tubuhmu… sekarang wangi bagi dunia kami. Semakin lama kau biarkan darahmu tak terkendali, semakin kuat aromanya. Dan gedung ini… penuh dengan yang lapar.”
Aku menatapnya lekat, berusaha tak terlihat aneh di mata Wita. “Aku harus gimana? Aku nggak bisa terus-terusan dikejar begini.”
Dia menunduk sedikit, matanya memerah lebih tajam.
“Kau harus belajar menguncinya. Menutup aromamu, mengendalikan darahmu… atau mereka akan terus datang. Dan percaya padaku, Nadia, yang datang berikutnya bukan cuma roh gelisah.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudmu… dukun?”
Ningsih tersenyum samar, tapi dingin. “Ya. Begitu kabar tubuh wangi ini sampai ke telinga mereka, kau bukan cuma buruan hantu… tapi juga manusia. Mereka akan menjadikanmu tumbal, medium, atau lebih buruk lagi… persembahan.”
Aku merasakan tengkukku dingin, jantung berdegup cepat. “Jadi aku harus belajar… sekarang?”
Dia mengangguk. “Malam ini. Aku akan perkenalkan kau pada seseorang. Dia bisa mengajarimu menutup aroma itu sebelum semuanya… terlambat.”
Tiba-tiba, lampu kantor berkedip beberapa kali. Aku menoleh, dan melihat dari ujung ruangan: bayangan tinggi yang biasanya diam kini bergerak, melangkah mendekat pelan-pelan. Sosok perempuan berambut panjang di pantry juga kini berdiri tegak, menatap ke arahku tanpa berkedip.
Ningsih melayang mendekat, suaranya menurun jadi bisikan dingin.
“Dan sampai kau belajar… jangan pernah sendirian, Nadia. Mereka mungkin belum bisa menyentuhmu sekarang… tapi setiap kedipan lampu, pagar gaib di sekitarmu melemah sedikit demi sedikit.”
Dia menghilang seketika, meninggalkanku menatap bayangan-bayangan yang kini bergerak pelan di seluruh sudut kantor.
Wita menoleh padaku, keningnya berkerut. “Nad… kamu beneran nggak apa-apa? Kamu pucet banget. Kalau nggak sanggup, kita bisa pulang sekarang.”
Aku menelan ludah, mencoba tersenyum. “Nggak… aku bisa kerja. Tapi… jangan jauh-jauh dari aku, ya.”
Wita menatapku heran, tapi mengangguk pelan.
Sementara itu, dari sudut mataku, aku melihat bayangan tinggi itu berhenti… hanya beberapa meter dari mejaku.
Mereka belum menyentuhku. Tapi mereka menunggu.