“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 04
Laila menepuk-nepuk pipinya, menyamarkan rona pucat. “Itu hunian siapa, Kak?”
Ida menatap sekilas jari telunjuk lawan bicaranya, lalu kembali menatap Laila. “Itu rumah juragan Pramudya – juragan kami. Sebelum kau bertanya, mari aku jelaskan secara rinci. Juragan Pram, sama kaya nya dengan pak Lurah, bahkan mungkin lebih berharta. Dia memiliki kebun karet seluas 19 hektar, dan _”
“Mengapa tempat tinggalnya terpencil? Di antara rimbunnya pepohonan yang mengelilingi, aku cuma bisa melihat atapnya saja,” sela Laila, matanya menyipit guna melihat jelas pada bangunan jauh diatas bukit.
“Juragan memiliki kandang peternakan Kuda dan Lembu. Dia tak mau bila bau kotoran mengganggu indera penciuman warga – orangnya juga tertutup, enggan berbaur. Bukan karena sombong, melainkan dia kesulitan bersosialisasi,” kalimat terakhir sengaja seperti gumaman, agar sang suami tidak mendengar.
Laila pun berbisik. “Apa dia tidak takut dirampok?”
Ida menjawab dengan kikikan misterius. “Siapa yang berani mengusik orang berkuasa itu? Bila ada – nyari penyakit namanya itu.”
‘Sepertinya dia patut dicurigai. Alasan membuat rumah jauh dari pemukiman penduduk, sangat tak masuk akal. Haruskah aku menyelinap ke sana?’
Kala menyadari kalau rasa penasarannya telah membumbung tinggi – Laila mencubit pahanya sendiri, untuk memperingati agar tidak ceroboh.
***
Sampailah mereka di warung sembako yang pintu rolling door sebagian sudah buka. Terlihat sosok pria jangkung, sedang menarik papan yang digunakan sebagai pintu. Posisinya membelakangi motor Santo.
Ida mulai turun. Langsung dia menyapa. “Pagi Juragan Pram.”
Yang di sapa berbalik, tatapannya bukan mengarah ke Ida melainkan wanita disebelah pekerjanya.
Deg.
Laila berpegangan pada sisi besi gerobak, dia seperti dihipnotis oleh tatapan tajam, kelam, dan wajah tegas, beraura menyeramkan. Jantungnya serasa diremas, sakit ia rasakan.
Tolong cabut paku dikepala kami!
Suara horor kembali terngiang, membuatnya kesulitan mengatur ekspresi.
Pramudya memutus tatapan itu, mengangguk pelan sebagai balasan sapaan Ida. Kemudian kembali membuka semua barisan papan, meletakkan pada sisi bangunan tembok.
Laila sendiri masih menatap lekat, kendatipun tak lagi saling bertatap. Pandangannya turun ke lengan kanan kekar, yang mana terdapat bekas luka bakar nyaris memenuhi hingga punggung tangan.
“Laila, sini masuk! Katanya mau belanja, mumpung belum banyak orang. Jadi kau bebas mencari semua kebutuhanmu.”
Seruan Ida membuyarkan fokus Laila, ia mengangguk – melangkah pelan, ketika harus melewati sosok tinggi berbahu lebar, bulu lengannya meremang, nyaris dirinya bergidik.
“Juragan, ini Bidan Laila. Hari Senin dia sudah bertugas di Puskesmas,” Ida mencoba memperkenalkan.
Namun, cuma ditanggapi anggukan tanpa berniat kenalan. Juragan Pram pun enggan mengulurkan tangan, memilih kebelakang bangunan.
“Tak usah dipikirkan. Beliau memanglah seperti itu, selalu saja berekspresi datar. Sering membuat takut para anak kecil yang berdekatan dengannya.” Ida menepuk pundak Laila.
Laila pun mulai memasuki warung sembako yang dalamnya lebih luas dari perkiraannya. Bukan cuma menjual kebutuhan dapur, tapi juga ada ruangan khusus peralatan tani. Kakinya seolah diarahkan ke sana, ia pun tak tahu apa maksudnya.
Namun, tangannya memilih cangkul, mengambil parang, menyambar pisau, sampai celurit. Laila juga membeli senter kepala, garukan rumput. Mengumpulkan alat tajam itu jadi satu, setelahnya baru ia terkejut dengan kening terlipat dalam.
Dikarenakan dia merasa tak nyaman. Maka tanpa berpikir ulang, Laila tetap membeli senjata tajam tadi. Kemudian beralih ke rak sembako, mengumpulkan bahan pangan sampai alat cuci baju.
Tak ketinggalan dia juga membeli obeng, dan baut, peralatan membersihkan rumah – dari sapu lidi, kemoceng dan lainnya.
Satu jam kemudian, belanjaan Laila telah masuk ke dalam karung dan plastik besar. Kini giliran memikirkan bagaimana caranya ia membawa pulang.
'Tak mungkin aku jalan kaki membawa semua ini? Yang ada encok pinggang ku,’ sungutnya dalam hati. Untung saja ia membawa cukup uang, sehingga tidak sampai menghutang.
“Laila, kau menumpang saja dengan Juragan Pram, kebetulan dia mau melewati rumah kita, hendak ke sungai mencuci mobil pickup nya.” Ida sudah berdiri di samping tetangganya.
"Jangan, Kak. Saya tak mau merepotkan,” tolaknya sungkan.
'Bisa mati berdiri aku berdekatan dengannya – mana ini jimat masih terasa seperti es batu dinginnya,’ tambahnya dalam hati.
“Kau yakin dapat membawa belanjaan segitu banyaknya? Di sini tak macam di kota, yang banyak tukang becak. Kendaraan umum pun cuma melintas pagi, siang, dan sore hari saja. Apalagi ini hari Jumat – angkot Juragan Pram cuma menarik penumpang pagi hari saja,” terdengar nada membujuk dibalik kalimat Ida.
“Jadi, juragan Pram yang punya angkutan umum, Kak?” ia memelankan nada suaranya, nyaris berbisik.
“Kalau bukan dia, siapa lagi? Mana ada kendaraan kota yang mau masuk kemari? Medan jalan berbatu, bila musim hujan jadi licin. Belum lagi naik turun bukit, diapit perkebunan karet yang sepi – belum apa-apa pada takut dirampok lah, mobil mogok ditengah jalan lah. Para orang kaya yang memiliki usaha dibidang jasa transportasi, udah kenak mental duluan. Sehingga cuma juragan Pram yang berani.” Netra Ida berbinar, terlihat jelas dia mengagumi sosok berkuasa itu.
‘Masuk akal sih? Aku sendiri pun merasakan was-was kala pertama kali masuk ke wilayah ini.’
Bahu Laila didorong lembut. “Itu sudah ditungguin, tadi aku udah meminta izin – agar kau diperkenankan menumpang.”
Mau tak mau, Laila menurut. Karung berisi cangkul dan lainnya, diangkat oleh Santo. Sedangkan dua kresek hitam besar di tenteng Laila.
“Duduklah di belakang!” titah Santo.
Laila menghembuskan napas lega, dia bersyukur tidak disuruh duduk didepan. Cepat-cepat dirinya menaiki bak pickup yang sisinya dikelilingi besi dan atasnya terdapat atap terpal anti air.
Mobil pun mulai melaju, Laila duduk serasa memeluk plastik belanjaannya.
Lagi-lagi rasa penasaran itu menggelitik – diam-diam dia memperhatikan lewat kaca kabin belakang jok pengemudi.
‘Dia lebih muda dari bayanganku tentang seorang juragan seperti film yang ditayangkan. Tak ada kumis tebal, janggut panjang, rambut putih, dan kulit kendur. Juragan Pram seperti pria di awal umur tiga puluhan, tapi terlihat tua dikarenakan ekspresi datar dan tatapan tajamnya,’
Cit!
Dug!
“Aduh!” Laila meraba belakang kepalanya yang terantuk besi, wajahnya memerah menahan sakit. Ingin sekali dia memaki – mengapa si pengemudi mengerem mendadak.
Setelahnya mobil kembali melaju, kali ini lancar tanpa hambatan.
Tak berapa lama kemudian, sudah sampai di depan rumah dinas Laila. Wanita itu bergegas turun dengan cara melompat. Beruntung dirinya memiliki keseimbangan tubuh yang baik sehingga tidak ada kejadian tersungkur.
Pria dibalik kemudi keluar. Tanpa kata menurunkan karung besar, dan meletakkannya begitu saja di tepi jalan, lalu masuk lagi seraya menutup pintu.
‘Apa dia bisu? Tapi tadi aku sempat mendengar dia berbicara dengan Santo?’ Laila menatap bagian bak mobil yang mulai menjauh melewati rumah Ida.
Wanita berambut panjang diikat satu itu menatap kaca jendela depan rumahnya. Dari dalam ada sosok tanpa lengan, wajah tercabik-cabik – tengah menyibak tirai.
Jarak Laila dengan jendela sekitar empat meter – tatapannya terkunci dan tiba-tiba pikirannya kosong. Kemudian satu ingatan yang entah milik siapa merasuk, menayangkan adegan mengerikan.
Pada sore hari menjelang magrib – terlihat seorang wanita memohon ampun.
“Tolong kasihani saya! Saya memiliki adik yang masih kecil-kecil!”
Namun, suaranya tak didengar. Permohonan diiringi tangis dan tetesan darah – dianggap layaknya dongeng penghantar tidur.
“LAKUKAN!!”
Seorang algojo, menggenggam paku ulir berkarat sebesar jari telunjuk, panjang 20 centi. Tanpa ragu – langsung menancapkan dikepala, lalu di ketok menggunakan palu.
Laila rubuh, ia memegangi dada yang terasa nyeri, tatapannya mengabur.
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk