NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:896
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bus Malam

"Ternyata kamu bodor banget, ya?" ucap Ratna pada Naya yang sejak tadi bercerita banyak hal dengan selingan canda yang renyah.

Naya yang sedang tertawa, menghembuskan napas pelan. "Itu mah cuma topeng aja, Rat. Aslinya mah aku berantakan," tambahnya, bibirnya mengerucut lucu.

Seakan mengerti maksud Naya, Ratna hanya tersenyum tipis. Setiap orang memang punya masalah pribadi. Ada yang pandai menutupinya dengan sikap blak-blakan, sementara sebagian lain lebih suka diam, seperti kebiasaan Ratna sehari-hari.

"Tapi ngobrol sama kamu beneran nyenengin, Nay. Sampe gak sadar udah lewat Magrib gini," lanjut Ratna. Naya hanya terkikik.

Keduanya berjalan bersisian menuruni bukit di tengah kota itu. Dari sana, mereka menelusuri kompleks perumahan, dari satu blok ke blok lain sambil terus berbincang ringan.

"Rumah aku di sekitar sini. Kamu tinggal di mana, sih?" tanya Naya.

"Lumayan jauh kalau dari sini. Kudu naik bus dulu," jawab Ratna.

Lalu Naya bertanya lagi, "Kamu sering ke bukit sana?"

"Cukup sering," jawab Ratna singkat.

"Aneh ya, kita malah ketemu di Gunung Merbabu, bukan di sini," Naya menyengir lebar, deretan giginya tersibak rapi.

"Eh, ini rumah aku, Rat. Untung gak kelewat." Naya seketika menghentikan langkahnya di depan rumah berpagar besi.

Ratna ikut berhenti, matanya melongok ke sekeliling. "Rumah kamu sepi begini, Nay. Gak ada orang di dalam?"

"Gak ada. Karena aku tinggal sama para hantu! Raww!" Naya terkikik, pura-pura meraup wajah Ratna dengan tangannya.

"Ayah sama ibu masih di kedai. Mereka punya warung makan gitu. Restoran kecil-kecilan. Pulangnya nanti jam delapan," jelas Naya. "Kamu mau mampir?"

"Kayaknya kapan-kapan aja, ya. Takut nyampe kosan kemaleman."

"Oke deh. Hati-hati, ya!" Naya melambaikan tangan, kemudian menarik pintu pagar.

Ratna membalas lambaian itu. Berdiri agak jauh dari pagar, ia menoleh sekali lagi dengan dahi mengernyit. Sepertinya ada seseorang yang mengintip dari kaca rumah, menyibak gorden sebentar sebelum buru-buru menutupnya.

"Katanya kan gak ada orang, ya? Yang tadi siapa?" gumam Ratna sambil melangkah. Saat makin jauh, terdengar suara pintu terbuka dan Naya berseru sesuatu.

"Eh, ada Bibi di rumah?!"

Ratna hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum konyol. Kebiasaannya melihat hal-hal aneh sempat membuatnya khawatir kalau di rumah Naya ada sosok tak kasat mata yang mengintip. Ternyata, itu hanya kecurigaannya semata.

Ia melanjutkan langkah lurus, keluar dari kompleks yang rumah-rumahnya sudah jarang-jarang. Jujur, ini pertama kalinya Ratna pulang lewat rute itu. Kalau bukan karena mengantar Naya ke rumah, biasanya ia memilih jalur yang lebih familiar.

Kini, ia sudah sampai di sisi jalan raya, berjalan ke arah kanan, lalu duduk menunggu bus di halte bercat biru. Ratna terdiam, bak patung. Di sana, ia benar-benar sendirian. Namun, ada makhluk lain yang juga duduk menekuk lutut di trotoar, diam tapi terasa hadir.

Ratna ingin pergi, tapi khawatir kesulitan menghentikan bus. Jika tetap di situ, bisa-bisa makhluk itu menyadari bahwa ia dapat melihat sosok sebangsa jin. Ia pun merogoh ponsel dari tas, menggulir layar dan menonton video reels di IG.

Namun, sudut matanya tak bisa menipu. Sebuah pemandangan menegangkan muncul di sisi kanan. Makhluk berbalut pakaian serba hitam itu mulai merangkak menjauhi tempat duduknya. Rambutnya gimbal dan panjang, berantakan saat bergerak perlahan ke depan.

Tepat di sisi jalan, sosok itu menoleh secepat kilat ke arah Ratna. Tak bisa dipungkiri, jantungnya tercekat. Rasa takut merayap—makhluk itu seakan berniat menghampirinya.

Masih dengan pandangan terpaku pada ponsel, Ratna berusaha bersikap tak acuh. Ketakutannya semakin nyata saat makhluk itu berbelok ke arahnya. Dengan gaya merangkak yang aneh, sosok hitam itu mendekat. Hati Ratna hampir melompat, dan ia nyaris menjerit.

Beruntung, sekelompok orang berjalan melintas. Mereka menembus sosok hitam itu, membuatnya terganggu. Ia mengeluarkan suara pelan, lalu beringsut ke pinggir jalan. Tiba-tiba, makhluk itu merangkak cepat menyeberangi jalan yang cukup ramai kendaraan. Hampir saja sebuah motor oleng karena pengendara tak sengaja menangkap sekelebatan bayangan.

"Anjir, yang barusan apaan?" seru pengendara motor itu.

"Paling bayangan orang kesorot lampu mobil," jawab orang yang membonceng di belakang.

Ratna merasa lega, makhluk menyeramkan tadi sudah lenyap. Tenang sedikit, ia pun melihat bus tujuannya tiba. Gadis itu segera berdiri dan masuk saat pintu dibuka kondektur.

Namun di dalam bus, Ratna harus menghela napas berkali-kali. "Yang tadi lenyap, sekarang ganti yang baru," keluhnya lirih. Sebab, satu-satunya kursi kosong yang tersisa harus ia duduki, sementara di sampingnya berdiri makhluk astral—wujudnya tangan dan satu kakinya buntung.

Sepanjang perjalanan, Ratna menahan diri agar tak bereaksi berlebihan. Meski begitu, ada dorongan kuat untuk melarikan diri sejauh mungkin.

Sekitar lima belas menit kemudian, bus sampai di pemberhentian dekat kompleks kosan. Ratna segera turun, berlari cepat tanpa menoleh ke belakang. Dari dalam bus, sosok hantu itu menengok ke arah Ratna yang tengah melangkah menjauh. Senyum kaku tersamar di bibirnya, seakan berkata, "Aku tahu kau bisa melihatku."

Setibanya di kosan, Ratna merasa lega karena tidak kemalaman di jalan. Meski sebenarnya masih ada waktu sekitar tiga jam sebelum pintu gerbang ditutup, hatinya tetap tenang. Tanpa disadari, di luar gerbang sebuah mobil terparkir—mobil yang seharusnya ia tahu pemiliknya.

"Ini dia sudah datang anaknya," terdengar suara familiar.

Ratna terkejut melihat sang penjaga kosan menerima tamu di ruang khusus pengunjung. "Tante Tantri?" gumamnya.

"Tumben Ratna pulangnya kemaleman? Biasanya Ashar udah di kosan," ucap penjaga itu.

"Iya, tadi ke perpustakaan kota dulu," jawab Ratna, menyembunyikan sedikit dusta dengan senyum tipis. Wajah Tantri yang tegas tetap tampak biasa saja. Ia yang semula duduk di sofa, kini bangkit berdiri.

"Ayo, ke kamar," ajaknya.

Ratna mengangguk dan berpamitan pada penjaga. Ia berjalan beriringan dengan Tantri hingga tiba di depan kamarnya. Tak lama setelah keduanya masuk, Tantri langsung mengeluarkan amplop berisi uang bulanan.

"Uang sewa udah Tante bayar. Ini buat bekal sama biaya studi kamu," ujar Tantri tanpa basa-basi.

"Iya, Tante. Makasih," balas Ratna.

"Ya udah. Tante mau pulang lagi."

"Enggak, nanti aja pulangnya, Tan?"

"Enggak. Tante harus cepat pulang."

Tantri melenggang pergi. Ratna mengikuti langkahnya sebentar, membukakan pintu. Seperti biasa, Tantri langsung pergi tanpa banyak basa-basi atau berpamitan panjang pada keponakannya.

Namun kali ini, Tantri yang sudah melangkah keluar dari kamar, berjalan kembali ke arah Ratna. Gadis yang masih duduk di kelas dua SMK BINA KARYA itu tersenyum kecil, mengira tantenya akan mengucapkan selamat malam atau menyelipkan kata-kata manis. Namun ternyata…

"Tante cuma mau bilang. Kamu jangan kelayapan sampai malam. Usahakan sebelum Magrib sudah ada di kosan."

"Iya, Tante," jawab Ratna singkat. Tantri pun pergi tanpa menambahkan sepatah kata pun.

Ratna menutup pintu dengan lesu, lalu melangkah menuju kasur. Ia duduk di sisinya dan meraih amplop yang tadi diletakkannya di dekat bantal. Sekilas ia mengintip isi di dalamnya, menghitung asal—bukan karena ingin tahu persis nominalnya.

"Lagi-lagi, Tante Tantri ke sini bukan mau nengokin aku," gumam Ratna lirih. Jujur, ia lebih menginginkan perhatian dari keluarga yang tersisa. Tapi hal itu terasa sulit didapat. Menerima kenyataan bahwa dirinya masih hidup, bagi Ratna, itu sudah menjadi keberuntungan. Ia tak ingin berharap lebih.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!