NovelToon NovelToon
Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Status: tamat
Genre:Spiritual / Iblis / Mata Batin / Hantu / PSK / Tamat
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.

Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teror Pocong Susuk Di Sebuah Desa

Menjelang sore, saat pencarian hampir dihentikan, suara teriakan pecah dari arah pematang sawah.

“Dapat! Adit ketemu!!”

Warga berlari tergopoh-gopoh, melewati ilalang dan lumpur, mengikuti suara itu. Di bawah pohon beringin tua dekat tepi sawah, seorang pemuda berdiri gemetar sambil menunjuk ke arah batang pohon.

Adit ada di sana.

Duduk bersandar di akar beringin, matanya terbuka lebar menatap kosong ke depan. Wajahnya pucat kehijauan, bibirnya membiru. Seluruh tubuhnya basah kuyup, seperti habis direndam di air kotor.

Yang membuat semua orang terdiam bukan hanya itu—di sekeliling tubuhnya, tanah berlumpur penuh dengan ulat-ulat putih yang bergerak menjauh dari kain basah yang melilit sebagian tubuhnya. Kain itu… adalah potongan kafan kotor dengan bercak darah yang sama seperti yang ditemukan tadi siang.

“Adit… nak…” suara ibunya bergetar, ia berlari memeluk anaknya. Tapi Adit tidak merespons. Tubuhnya kaku, kulitnya dingin.

Ketika beberapa warga mencoba mengangkatnya, mereka terperanjat—di punggung Adit, tepat di bawah baju, ada bekas ikatan melingkar seolah tubuhnya semalam sempat dibungkus rapat.

Pak Lurah menelan ludah. “Kita… harus lapor Pak Ustad. Ini… ini bukan kejadian biasa.”

Sementara itu, Adit tiba-tiba menggerakkan bibirnya perlahan. Suara lirih nyaris tak terdengar keluar dari tenggorokannya:

“Dia… belum… selesai…”

Malam itu, hujan baru saja reda, menyisakan hawa lembap menusuk tulang. Di rumah Bu Yati, ia sedang merapikan piring di dapur ketika…

Tok… tok… tok…

Ketukan pelan terdengar di pintu depan.

Ia berhenti, mengerutkan kening. Jam sudah menunjukkan pukul 00.15. "Siapa sih malam-malam begini?" gumamnya sambil melangkah ke ruang tamu.

Tok… tok… tok…

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih pelan, tapi ritmenya lambat, seperti tak sabar menunggu.

"Siapa?" seru Bu Yati dari dalam. Tak ada jawaban.

Ia melirik dari celah jendela, tapi anehnya, tidak ada siapa-siapa. Hanya jalanan sepi dan kabut tipis. Ia hendak kembali ke dapur ketika…

Tok… tok… tok… tok…

Ketukan itu semakin cepat.

Dengan jantung berdebar, Bu Yati memberanikan diri membuka pintu sedikit. Saat itu juga, bau busuk menyengat langsung menyerbu masuk. Di ambang pintu, berdiri sosok terbungkus kain putih, kepalanya miring, matanya kosong namun menatap lurus. Kainnya basah dan kotor, dengan bercak merah di bagian dada.

“Yaaa… tiii…” suara parau memanggil namanya, membuat lutut Bu Yati langsung lemas.

Pocong itu—Atna—mendorong pintu perlahan, sementara kain kafannya bergesekan dengan lantai, meninggalkan noda basah yang berwarna gelap.

Bu Yati mundur perlahan, tapi pocong itu ikut melangkah masuk—bukan dengan lompatan, melainkan seperti melayang, kain kafannya menyeret lantai dengan suara serrr… serrr…. Matanya tetap menatap lurus, kosong, namun setiap detik terasa semakin dekat.

“A… Atna…?” suara Bu Yati tercekat.

Tiba-tiba, kepala pocong itu menunduk cepat, lalu mengangkat kembali dengan gerakan patah-patah. Senyum tipis, tidak wajar, terbentuk di bibir pucatnya. Dari bagian bawah kain kafan, cairan kehijauan menetes, meninggalkan jejak di lantai kayu.

Bau busuk semakin pekat, membuat mata Bu Yati berair. Di luar, angin kencang membuat jendela berderak-derak.

“Ti…” suara parau itu memanggil lagi. Kali ini lebih dekat, lebih dingin.

Pocong Atna mendekat hingga wajahnya hanya sejengkal dari Bu Yati. Lalu—duk!—lampu gantung di ruang tamu berayun pelan, cahaya temaramnya memantulkan mata kosong itu tepat ke tatapan Bu Yati.

Ia menjerit sekeras-kerasnya.

Suara itu memecah keheningan malam, membuat beberapa tetangga terbangun. Tapi ketika mereka berlari ke rumah Bu Yati, pintu depan terbuka lebar, dan ruang tamu kosong.

Hanya ada lantai yang penuh noda basah berwarna hijau kecokelatan, dan bau kenanga yang menusuk hidung.

Beberapa warga masih menyisir halaman rumah Bu Yati, membawa senter dan lampu petromaks. Hujan yang tadi reda mulai menyisakan kabut tebal di jalan desa. Dari arah musholla kecil di ujung jalan, terdengar suara tawa anak-anak—renyah, riang, dan… anehnya, terdengar terlalu nyaring untuk jam segini.

“Siapa yang biarin anak-anak main malam-malam gini?” gerutu Pak Lurah sambil berjalan cepat ke arah suara.

Di halaman musholla, lima anak terlihat sedang bermain petak umpet. Mereka berlarian di antara pohon mangga dan tiang bendera. Salah satu dari mereka, Rafi, sedang menghitung sambil menutup mata.

“Sepuluh… sembilan… delapan…”

Yang lain berhamburan mencari tempat bersembunyi. Tapi ada satu sosok kecil yang tidak dikenal warga, ikut berlari—mengenakan kain putih kusut yang terlalu panjang hingga terseret di tanah. Kepalanya menunduk, wajahnya tertutup kain.

Warga yang melihat dari jauh mengira itu anak tetangga baru. Tapi sesuatu terasa ganjil. Saat Rafi membuka mata dan mulai mencari, kain putih itu sudah berdiri diam di bawah tiang bendera, tidak bergerak sedikit pun.

Rafi melangkah mendekat. “Eh, kamu siapa? Kok diam aja?”

Anak itu—atau entah apa—mulai mengangkat kepalanya pelan. Dari balik kain yang sobek, tampak wajah pucat kehijauan, dengan mata hitam pekat yang menatap lurus tanpa berkedip.

Rafi mundur satu langkah, tapi saat itu kain panjang di tubuh sosok itu mulai bergerak sendiri, melilit kakinya. Bau anyir darah dan kenanga menyengat hidungnya.

Tawa anak-anak lain tiba-tiba berhenti. Keheningan mendadak turun, lalu terdengar suara “Ti…” yang sama persis seperti yang memanggil Bu Yati tadi malam.

Sosok berkafan itu menunduk cepat, lalu mendekat melayang—dan anak-anak menjerit bersamaan. Senter para warga bergetar di tangan saat mereka berlari menghampiri. Tapi ketika cahaya menyorot, halaman musholla kosong.

Hanya tersisa jejak lumpur basah yang membentuk pola menyerupai bekas ikatan tali mengarah ke area pemakaman desa.

Dania di kamar tengah tiduran sambil bermain ponsel untuk melihat tempat wisata yang akan di tuju, tiba-tiba dari jendela kamar ada yang di ketuk menggunakan kepala.

TOK...TOK...TOK...

"Siapa?!" tanya Dania menghentikan permainan ponselnya. "Bang Rizki?" ujar Dania yang dimaksud anak buah kakaknya.

Dania bangkit setengah duduk, ponselnya ia taruh di samping bantal. Suara ketukan itu terdengar lagi—

TOK… TOK… TOK…

Lebih pelan, tapi ritmenya aneh. Seperti… bukan dari tangan.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ia merangkak mendekati jendela, mencoba mengintip dari celah tirai. Dari luar, hanya terlihat halaman rumah yang gelap, diterangi samar lampu teras.

“Bang Rizki? Kalau mau ngasih tahu apa-apa, masuk aja lewat pintu…” ucapnya setengah berbisik.

Tidak ada jawaban. Hanya hembusan angin dingin yang membuat tirai bergoyang pelan. Dania hendak kembali berbaring, tapi tiba-tiba—TOK! ketukan keras membuat kaca jendela bergetar.

Ia menoleh cepat—dan kali ini, dari jarak sangat dekat, ia melihat dahi pucat kehijauan menempel di kaca. Rambut panjang dan basah menutupi sebagian wajah, meneteskan cairan keruh yang mengalir di permukaan jendela. Kepala itu bergerak maju mundur pelan… setiap gerakan membuat kaca bergetar tipis.

“Ya Allah…” napas Dania tercekat. Ia mundur meraih ponsel, tapi kepalanya tetap mengikuti setiap gerakan Dania di dalam kamar—seolah matanya menembus kaca yang buram.

Tiba-tiba, kepala itu mendongak, menampilkan wajah Atna yang matanya hitam penuh, bibirnya robek hingga pipi. Senyum tipisnya merekah, lalu… duk!… kaca jendela terdorong sedikit dari luar, seperti ada yang mencoba memaksa membukanya.

Suara kain basah diseret terdengar jelas dari balik jendela. Bau anyir darah mulai masuk melalui celah kecil yang terbuka.

“Daaaaniaaa…” suara itu lirih tapi memanjang, membuat bulu kuduknya meremang sampai ke tengkuk.

*

1
Siti Yatmi
bacanya rada keder thor....agak bingung mo nafsirin nya....ehm...kayanya alur nya diperjelas dulu deh thor biar dimengerti
Mega Arum
crtanya bagus.. hanya krg dlm percakapanya,, pengulangan aura gelapnya berlebihan juga thor..
Mega Arum
masih agak bingung dg alur.. juga kalimat2 yg di ulang2 thor
Mega Arum
mampir thor....
Warungmama Putri
bagus ceritanya alurnya pun bagus semoga sukses
pelukis_senja
mampir ah rekom dari kak Siti, semangat ya kaa...🥰
Siti H
novel sebagus ini, tapi popularitasnya tidak juga naik.

semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu
Siti H: Alaaamaaak,.. jadi tersanjung🤣🤣
Putri Sabina: aduh makasih kak Siti aku juga terinspirasi darimu❤️🤙
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!