Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayap yang Terluka
Kafe itu masih riuh oleh obrolan pelanggan saat Gavin meninggalkan Karin tanpa sepatah kata pun. Langkah-langkahnya cepat dan dingin, seperti badai yang hendak menyapu tenang permukaan laut. Wajah tampannya kaku, rahangnya mengeras menahan amarah yang mendidih di dalam dadanya. Vanesa. Nama itu kembali menari di benaknya, seperti duri yang tak bisa dicabut dari dalam kulit.
‘Dia menantangku. Apa dia benar tidak tahu siapa aku?’c
Setibanya di kantor, Gavin melempar jas hitamnya ke sofa kulit di sudut ruangan. Tangannya memijit pelipis, mencoba mengusir denyut sakit yang mulai merambat ke seluruh kepala. Pandangannya terpaku pada meja besar di pojok ruangan. Meja yang tadi pagi menjadi saksi... caranya menghukum Vanesa. Brutal. Kasar. Tapi kenapa hatinya yang justru ikut terasa robek?
Ruangan itu kini kembali rapi. Wangi lavender menguar dari semprotan otomatis di sudut ruangan. Tapi tidak ada aroma yang mampu menutupi jejak kenangan yang tertinggal. Bukan hanya tubuh Vanesa yang ia siksa, tapi hatinya sendiri pun ikut tercabik.
Gavin menekan tombol interkom. “Felix, masuk.”
Pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki tinggi berbadan kekar, diikuti Raga dan Zidan. Mereka bertiga adalah orang kepercayaannya, pasukan bayangan yang siap melakukan apa pun tanpa banyak tanya.
“Zein ,” ujar Gavin pelan. “Pastikan dia tetap dikurung. Tapi jangan sakiti dia. Beri makan yang layak. Buat dia nyaman, tapi awasi terus.”
Felix mengangguk. “Tujuan kita apa, Bos?”
Gavin menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap gedung-gedung pencakar langit Jakarta.
“Menjaga Vanesa tetap dalam kendali. Adiknya adalah kuncinya.”
Raga dan Zidan hanya menunduk patuh. Mereka tahu, Gavin sedang tidak bisa diajak bercanda atau berdebat. Aura lelaki itu begitu dingin, seperti salju yang baru turun di tanah Rusia. Tapi di balik tatapan itu, ada badai yang tak terlihat siapa pun.
Baru saja mereka keluar, ponsel Gavin bergetar. Nama sang nenek muncul di layar. Ia segera mengangkat.
“Gavin, aku dengar dari Karin... Vanesa melamar pekerjaan di perusahaan kita. Apa itu benar?” Suara wanita tua itu terdengar lemah tapi tegas.
Gavin menarik napas pelan. “Iya, aku dengar langsung darinya tadi.”
“Kau tak boleh membiarkannya, Nak. Jangan biarkan sejarah kelam terulang. Kau ingat... siapa yang membawa Soraya dulu ke dalam perusahaan?”
Gavin terdiam. Kilasan wajah mendiang ibunya menyeruak. Senyuman lembut, pelukan hangat, lalu... kematian. Semua berawal dari Soraya, ibu Vanesa.
“Dulu ibumu percaya pada Soraya. Tapi lihat apa yang terjadi. Soraya merampas segalanya. Bahkan merebut ayahmu.”
Gavin mengepalkan tinju. Rahangnya mengeras, dan dadanya sesak oleh kemarahan yang perlahan bangkit dari kubur.
“Aku akan ke sana,” katanya akhirnya. “Tunggu aku, Nek.”
*
Rumah sang nenek berada di pinggiran Jakarta, bergaya kolonial dengan taman luas dan bunga mawar yang tumbuh subur di sepanjang jalan masuk. Gavin mendorong kursi roda wanita itu keluar rumah, menuju taman.
“Nek… aku pulang.”
“Oh cucuku…” Sang nenek menggenggam tangannya, mata keriputnya berkaca-kaca. “Nenek rindu.”
Mereka berhenti di bawah pohon kamboja tua. Hening beberapa saat, sebelum Gavin membuka mulut, “Nenek pernah bilang... untuk menjinakkan binatang buas, kita harus mengurung dan mengawasinya. Aku sudah melakukannya.”
Neneknya menoleh cepat. “Siapa yang kau maksud?”
“Vanesa Danita Darmawan.”
Sejenak, mata wanita tua itu melebar. “Apa kau masih mencintai gadis itu?”
“Tidak,” desis Gavin. “Dia musuhku. Karena dia dan ibunya, aku kehilangan ibu. Aku akan membuatnya jatuh. Aku akan mencabut bulu sayapnya satu per satu, sampai dia tak bisa terbang lagi.”
“Gavin,” bisik neneknya, “jangan bermain dengan api, Nak. Kau bisa terbakar.”
“Aku tidak peduli. Vanesa sudah dua kali mencoba masuk ke perusahaan yang ibuku bangun. Aku tidak akan biarkan dia menyentuh satu pun dari warisan ibu.”
Hatinya menjerit, tapi wajahnya tetap dingin. Neneknya menatapnya lama, sebelum menunduk dalam. Diam.
Namun, amarah Gavin tidak ikut tenggelam. Ia justru tumbuh, seperti bara yang disiram bensin.
**
Setibanya di rumah, Gavin mencoba menghubungi Vanesa. Tapi ponselnya tak diangkat. Berkali-kali.
“Kemana dia?” gumam Gavin curiga. Ia kembali menekan nomor wanita itu. Tetap tak terjawab.
“Zidan!” serunya dari balkon kamar. Pria itu segera muncul. “Lacak posisi Vanesa lewat GPS-nya. Sekarang juga.”
Tak butuh waktu lama, Zidan menyodorkan ponsel. “Dia ada di rumah sakit, Bos. Ruang pemeriksaan.”
Gavin segera turun ke garasi, menyalakan mobil hitamnya dan melesat seperti peluru.
Hatinya panas, pikirannya kacau. Vanesa, kenapa kamu ke rumah sakit tanpa memberitahuku? Siapa yang bersamamu? Apa kamu... sakit? Atau bersama laki-laki itu?
Mobil berhenti di pelataran rumah sakit swasta elit. Gavin turun dan langsung menuju lobi. Matanya menyapu seisi ruangan—dan membeku saat melihat sosok yang begitu ia kenal.
Damian.
Vanesa baru saja keluar dari ruang pemeriksaan saat seseorang memanggilnya.
“Vanesa? Kamu sakit?” Damian berdiri di sana, menyapanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin, walau ada ketegangan jelas di sorot matanya.
“Bukan. Hanya pemeriksaan biasa. Aku ingin pulang,” jawab Vanesa singkat.
Tatapan Damian menelusuri tubuh wanita itu dari atas ke bawah. Ada yang berbeda. Vanesa tak lagi tampak seperti dulu. Matanya lebih tajam, senyumnya lebih hambar, dan sikapnya... terlalu tenang untuk seorang yang pernah disakiti.
“Kamu nggak penasaran kenapa aku di sini, Sayang?” tanya Damian dengan nada mencoba akrab. Entah kenapa, ada nada penyesalan di balik suaranya. Mungkin ia mulai menyesali keputusannya meninggalkan Vanesa demi Iren.
“Tidak. Aku bahkan nggak peduli,” balas Vanesa lalu melangkah hendak pergi.
Damian menahan langkahnya. “Ibu... masuk rumah sakit.”
Vanesa terdiam. Hatinya menolak untuk peduli, tapi kemanusiaannya masih tersisa.
“Semoga cepat sembuh. Bilang pada Ibu, aku nggak bisa jenguk. Ada pekerjaan,” ucapnya datar.
Namun Damian tidak menyerah. Ia mencoba mendekat, harapannya menyala kecil.
“Sayang, ayo makan malam. Kita bicara.”
“Mas, jangan berharap apa-apa lagi. Sebentar lagi kita akan benar-benar berpisah.”
“Lalu bagaimana denganku? Aku nggak punya apa-apa lagi. Rumah, mobil... semuanya hilang.”
“Itu urusanmu. Bukan tanggung jawabku,” sahut Vanesa tanpa ragu.
“Kalau begitu, berikan mobil yang kamu pakai. Aku butuh kendaraan,” desak Damian.
“Itu mobilku, Mas. Aku yang membelinya dengan uangku.”
“Apa kamu puas melihatku menderita?”
Vanesa menahan napas. Ia lelah. Sangat lelah. Hatinyapun tak sekuat yang ia kira. Sebenarnya, jauh di dalam dirinya, ia masih menyimpan sisa-sisa perasaan untuk Damian. Dulu, sebelum Iren datang, laki-laki itu adalah suami yang hangat, tidak pernah menyakitinya secara fisik.
“Aku capek, Mas. Aku nggak ingin bertengkar,” katanya sembari membalikkan tubuh.
Damian menariknya dan memeluknya tangannya di pipi, Gavin melihat semuanya. Tatapan dinginnya membeku, melihat tangan Vanesa dipeluk seolah paku yang ditancapkan di dadanya. Tapi ia tak berkata sepatah pun. Ia memilih diam, menyimpan kemarahannya dalam-dalam.
Vanesa buru-buru melepaskan diri. “Ini tempat umum, Mas! Apa yang kamu lakukan?”
“Aku masih suamimu,” balas Damian tenang.
“Iya, bentar lagi palu diketuk,” ucap Vanesa, lalu meninggalkan Damian dengan langkah berat.
Dalam perjalanan pulang, Vanesa menghentikan mobilnya di taman kota. Ia duduk di bangku panjang, menatap kosong jalanan yang dipenuhi lampu kota. Di tengah keramaian, ia merasa paling sendiri.
“Semua yang terjadi membuat semuanya semakin runyam,” bisiknya lirih.
Wanita itu menunduk. Bahunya berguncang. Tangisnya pecah dalam diam. Angin sore meniup rambut panjangnya yang tergerai. Mata Gavin menajam.
Tanpa aba-aba, lelaki itu turun dari mobil. Langkahnya mantap. Dingin.
Saat tiba di hadapan Vanesa, Gavin berdiri membelakangi matahari yang mulai tenggelam. Siluet tubuhnya besar dan mengintimidasi.
Vanesa mendongak, matanya terkejut melihat sosok itu berdiri di hadapannya.
“Apa kamu menangis karena laki-laki brengsek itu?” tanya Gavin pelan, namun penuh tekanan.
Vanesa tidak menjawab. Hanya tangis yang menjawab. Dan di saat senja mulai menelan kota Jakarta, keduanya saling menatap dalam diam.
Dan Gavin... akhirnya berkata, “Aku akan mencabik sayapmu… satu per satu, Vanesa sebelum kamu terbang semakin jauh.”
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini