Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isabella Valtieri
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kamar itu.
Adrian jarang muncul, dan justru ketidakhadirannya membuat rumah terasa lebih mencekam. Elena hidup di bawah ritme baru yang telah diatur untuknya. Sarapan pada jam tertentu, berjalan di taman pada jam tertentu, membaca di perpustakaan selama satu jam, lalu kembali ke kamar.
Ia melakukannya seperti mesin. Sampai suatu pagi, sesuatu menarik perhatiannya.
Saat berjalan melewati lorong timur, ia melihat sebuah pintu terbuka sedikit. Biasanya semua ruangan tertutup rapat, tapi kali ini celah itu cukup lebar untuk memperlihatkan bayangan dalamnya.
Elena berhenti. Udara di sekitar ruangan terasa dingin, berbeda dari bagian rumah lain. Dengan langkah hati-hati, ia mendorong pintu itu lebih lebar.
Ruangan itu penuh debu dan bau besi tua. Di dinding tergantung lukisan-lukisan tua keluarga Valtieri, sebagian ditutup kain putih. Namun satu lukisan terlepas dari tempatnya dan bersandar di lantai. Potret seorang wanita muda bergaun putih.
Elena mendekat. Wajah wanita itu cantik, tapi matanya menyimpan kesedihan. Di sudut bawah lukisan tertulis nama Isabella Valtieri.
Ia mengernyit. Nama belakang yang sama. Ibu Adrian? Saudari?
Langkah pelan terdengar di belakangnya.
“Elena.”
Suara itu membuatnya tersentak. Ia berbalik cepat dan menemukan Adrian berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, tapi bukan karena marah. Lebih karena sesuatu yang mirip luka lama yang baru disentuh.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“A-aku hanya… pintunya terbuka,” jawab Elena gugup. “Aku tidak tahu ini ruangan siapa.”
Adrian berjalan mendekat, mengambil lukisan itu, lalu menegakkannya kembali. Tangannya gemetar halus. “Ini bukan ruangan siapa-siapa. Ruangan ini sudah lama kututup.”
Elena menatapnya lama. “Siapa dia?”
Adrian terdiam cukup lama sebelum menjawab pelan, “Seseorang yang pernah kucintai dengan cara yang salah.”
Keheningan panjang mengisi udara. Elena ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan Adrian menahannya, tatapan seseorang yang berdiri di tepi jurang antara masa lalu dan masa kini.
Akhirnya ia berkata lirih, “Kau bukan satu-satunya yang membawa luka, Adrian.”
Adrian menatapnya, sesuatu di matanya bergetar samar. “Jangan mencari masa laluku, Elena. Beberapa kegelapan sebaiknya tetap terkubur.”
Ia lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Elena sendirian bersama lukisan wanita yang menatap kosong dari dinding.
Elena mendekati lukisan itu sekali lagi.
Untuk alasan yang tak ia mengerti, bulu kuduknya berdiri. Mata wanita di kanvas itu seolah mengikutinya ke mana pun ia bergerak.
Dan entah kenapa, di balik rasa takutnya, ia juga merasakan sesuatu yang lain. Kasihan.
Mungkin, pikirnya, bahkan monster seperti Adrian pun pernah belajar mencintai… sebelum kehilangan segalanya.
.....
Hari mulai senja ketika Elena kembali ke kamarnya. Pikirannya tidak bisa berhenti memutar bayangan wanita di lukisan itu. Isabella Valtieri. Wajahnya begitu mirip dengan seseorang yang menanggung kehilangan besar.
Ketika Clara datang membawa teh, Elena menatapnya penuh tanya.
“Clara,” katanya pelan, “kau sudah lama bekerja untuk keluarga Valtieri, bukan?”
Clara menunduk. “Lebih lama dari yang seharusnya, Nona.”
“Kalau begitu… siapa Isabella?”
Pertanyaan itu membuat tangan Clara berhenti di udara sejenak. Gelas teh di tangannya bergetar samar sebelum ia letakkan dengan hati-hati di meja. Wajahnya menegang, seperti seseorang yang baru saja membuka pintu lama di pikirannya.
“Isabella adalah kakak Tuan Adrian,” katanya akhirnya. “Dia… satu-satunya orang yang mampu membuat rumah ini terasa hidup dulu.”
Elena terdiam. “Apa yang terjadi padanya?”
Clara menghela napas panjang. “Kecelakaan. Tapi tidak sesederhana itu. Setelah ayah mereka meninggal, Adrian mengambil alih bisnis keluarga yang keras dan kotor. Isabella menentangnya. Ia ingin keluarga mereka keluar dari dunia itu. Pada malam pertengkaran terakhir mereka… dia pergi, dan tak pernah kembali.”
Elena menatap kosong ke arah jendela. “Jadi dia kehilangan satu-satunya orang yang mencoba menyelamatkannya.”
Clara menatap Elena dengan mata yang sayu. “Ya. Dan sejak malam itu, Tuan Adrian berubah. Ia mengurung semua ruangan yang mengingatkan pada Isabella. Ia membangun rumah ini, mengatur segalanya dengan kendali penuh. Mungkin karena kehilangan seseorang yang tak bisa ia lindungi… ia berjanji tidak akan membiarkan siapa pun pergi lagi.”
Kata-kata Clara bergema lama di kepala Elena.
Tidak akan membiarkan siapa pun pergi lagi.
Itu bukan sekadar kalimat—itu adalah kunci.
Elena memeluk dirinya sendiri. Tiba-tiba, obsesi Adrian terasa lebih masuk akal… tapi juga lebih berbahaya. Ia tidak sedang dikejar oleh pria yang sekadar ingin memiliki. Ia sedang dikurung oleh seseorang yang tidak pernah belajar membiarkan siapa pun bebas.
“Clara,” bisiknya, “menurutmu… masih adakah cara menyelamatkannya?”
Clara menatapnya dalam diam, lalu berkata lirih, “Saya tidak tahu siapa yang butuh diselamatkan, Nona. Adrian… atau Anda."
***
Ketika malam tiba, Elena berdiri di depan jendela kamarnya. Dari jauh, di sisi lain rumah, ia melihat cahaya redup dari ruang kerja Adrian.
Bayangan pria itu terlihat duduk membungkuk di bawah lampu, menatap sesuatu lama sekali. Mungkin potret Isabella yang ia pindahkan kembali ke ruangan itu.
Elena menyentuh kaca jendela, napasnya mengembun di permukaan dingin.
“Mungkin…” bisiknya, “semua ini bukan cuma tentang aku.”
.....
Malam sudah larut. Udara di Petunia Hill terasa berat, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin diceritakan. Elena belum tidur. Kata-kata Clara masih bergema di kepalanya, dan setiap kali ia memikirkan nama itu—Isabella—jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia tahu risikonya besar, tapi kali ini ia tidak ingin diam lagi.
Jika luka Adrian adalah sumber dari semua ini, mungkin satu-satunya cara untuk memahami penjara yang menahannya adalah dengan membuka luka itu.
Dengan langkah perlahan, ia meninggalkan kamar. Lorong panjang itu sunyi, hanya cahaya remang dari lampu dinding yang memantul di marmer.
Cahaya samar terlihat dari ruang kerja Adrian. Pintu sedikit terbuka, memperlihatkan sosok pria itu duduk di belakang meja, kepala menunduk.
Elena berdiri di ambang pintu, berusaha menstabilkan suara.
“Adrian.”
Pria itu tidak menoleh. Suara pena di tangannya berhenti, tapi ia tetap diam.
Elena melangkah maju satu langkah, lalu berkata pelan, “Aku melihat lukisan Isabella.”
Kini Adrian menoleh perlahan. Tatapannya tajam, tapi bukan seperti biasa. Ada sesuatu yang nyaris rapuh di sana. Seperti retakan di dinding batu yang selama ini tak pernah goyah.
“Clara seharusnya tahu kapan harus diam,” katanya tenang, tapi nada suaranya seperti pisau yang disembunyikan di balik senyum.
Elena menatapnya dalam. “Dia tidak mengatakan apa pun yang menyakitkan. Aku hanya… ingin tahu siapa dia.”
“Dia tidak penting,” jawab Adrian cepat, terlalu cepat.
Elena menggenggam jemarinya sendiri, menahan gemetar. “Dia penting bagimu. Sangat penting, sampai-sampai kau membangun seluruh penjara ini karenanya.”
Tatapan Adrian berubah. Ia berdiri dari kursi, perlahan, dan mendekat.
“Elena,” katanya lirih, “ada hal-hal yang tidak seharusnya kau buka. Masa lalu tidak butuh pengampunan. Ia hanya butuh dikubur.”
“Tapi kau tidak pernah menguburnya,” balas Elena, air matanya mulai jatuh tanpa sadar. “Kau hanya menggantinya dengan aku!”
Adrian berhenti tepat di hadapan.
Untuk sesaat, hanya ada diam. Hening yang mencekik.
“Aku kehilangan satu-satunya orang yang kucintai karena aku terlalu percaya dunia ini bisa kutaklukkan,” bisiknya. “Dan aku bersumpah tidak akan kehilangan apa pun lagi.”
Elena menatapnya, mata mereka bertemu. “Dan karena itu kau membuatku terjebak di dalam kehilanganmu.”
Kata-kata itu memukul sesuatu di dalam diri Adrian. Bahunya tegang, rahangnya mengeras. Tapi sesaat kemudian, ia memalingkan wajah, seperti seseorang yang tidak ingin terlihat manusiawi.
“Pergi, Elena.”
Suara itu dalam dan bergetar, bukan karena marah, tapi karena takut.
Elena tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, memandang sosok pria yang selama ini ia anggap monster, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Seorang manusia yang hancur, yang mencoba mengurung dunia agar tidak kehilangan lagi.
Dengan suara bergetar, ia berkata, “Kau tidak akan pernah bebas dari masa lalu kalau kau terus menghukum orang lain untuk luka yang bukan salah mereka.”
Adrian menutup matanya, napasnya berat. “Dan kau tidak akan selamat, Elena, kalau kau terus mencoba menyelamatkanku.”
Elena mundur perlahan, menatapnya sekali lagi sebelum keluar.
Saat pintu menutup di belakangnya, Adrian merosot ke kursinya, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangan.
Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia tidak terlihat seperti penguasa, melainkan seperti seseorang yang sedang menyesal karena terlalu mencintai dengan cara yang salah.