NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27

Sepuluh hari tersisa.

Ruang komando Satgasus adalah sebuah bunker yang terisolasi dari dunia. Di dalamnya, hanya ada kelelahan, paranoia yang semakin kental, dan bau samar debu dari jurnal tua Lukas Santoso.

Penemuan jurnal itu telah mengubah segalanya. Tim kini memiliki energi baru yang panik; Iptu Hasan dan Ipda Adit sedang berada di lapangan, mengejar daftar hadir seminar gereja itu, memburu "pria logis" yang misterius.

Tapi bagi AKP Daniel Tirtayasa, jurnal itu bukanlah petunjuk. Itu adalah surat konfirmasi.

Dingin. Logis. Terpelajar.

Kata-kata itu adalah paku. Dan setiap paku menancap tepat di satu nama: Dr. Samuel Adhinata.

Daniel duduk di depan monitornya, tapi dia tidak melihat data. Dia melihat wajah Samuel saat berdebat dengan Maya. Dia melihat Samuel yang dengan "logis" mendorongnya ke arah Antonius Malik. Dia melihat Samuel yang "logis" memberinya buku filsafat (yang kini terkunci di laci mejanya seperti granat).

Dia merasa gila.

Jika Samuel adalah Sang Hakim... itu berarti dia telah mengundang si serigala masuk ke timnya. Itu berarti Samuel tahu tentang video Nadia. Itu berarti Samuel mendengar setiap teori mereka, setiap langkah mereka. Itu berarti mereka tidak sedang berburu; mereka sedang digiring menuju pembantaian.

Dia tidak bisa menuduh seorang ahli forensik terkemuka, pilar RS Bhayangkara, berdasarkan "jurnal" dan "perasaan". Jenderal Hartono akan mencopotnya di tempat karena paranoia.

Dia butuh bukti. Bukti yang tak terbantahkan. Bukti yang dingin dan logis seperti Samuel sendiri.

Dan di Satgasus, hanya ada satu orang yang bisa memberinya itu.

"Reza," panggil Daniel.

Kompol Reza mendongak dari "sarang"-nya. Sudut ruang komando itu telah ia ubah menjadi pusat kendali. Tiga laptop, empat monitor eksternal, dan tumpukan hard drive yang berkedip-kedip.

"Ya, Ndan?"

"Aku mau kau kembali ke awal," kata Daniel, berjalan mendekat. "Panggilan 'Gembala' itu. Yang di ponsel pribadiku."

Reza mendesah. "Ndan, kita sudah bahas ini. Panggilan itu hantu. Tujuh proxy server. Tiga benua. Dihancurkan dalam tiga menit. Aku tidak bisa..."

"Aku tidak peduli kau tidak bisa melacak asalnya," potong Daniel, suaranya rendah dan intens. "Aku mau kau cari polanya. Lupakan siapa dia. Cari di mana dia."

Reza mengerutkan kening. "Apa bedanya?"

"Semua orang punya kebiasaan, Reza. Sekalipun dia hantu digital," kata Daniel. "Dia meretas kita untuk mengirim umpan Antonius Malik. Dia melacak kurir untuk mengirim flash drive video itu. Dan dia meneleponku. Tiga aktivitas digital yang canggih."

"Kau ingin aku membandingkan ketiganya?" tanya Reza, kini tertarik.

"Aku ingin kau menindihnya," kata Daniel. "Cari kesamaannya. Cari kebiasaan yang dia lupa sembunyikan."

Selama empat jam berikutnya, ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara ketukan keyboard Reza yang ritmis dan cepat. Daniel duduk di mejanya, berpura-pura membaca laporan, tapi matanya tidak pernah jauh dari Reza.

"Ndan, ini tidak ada," kata Reza tiba-tiba, bersandar di kursinya dengan frustrasi. "Dia jenius. Tiga rute berbeda, tiga metode berbeda. Tidak ada yang tumpang tindih. Aku tidak bisa..."

Ketukan itu berhenti. Reza tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyipit.

"Tunggu," bisik Reza. "Dia terlalu pintar. Dia ingin kita melihat rute yang berbeda-beda ini. Dia ingin kita sibuk melacak server di Ukraina."

"Ndan," panggil Reza beberapa menit kemudian, suaranya aneh. "Kau harus melihat ini."

Daniel sudah berdiri di sampingnya dalam sedetik.

"Seperti katamu, Ndan. Aku mengabaikan rute palsunya," kata Reza. "Ketiga aktivitas ini panggilan 'Gembala', peretasan 'Malik', dan pelacakan kurir video semuanya membutuhkan satu hal: bandwidth besar untuk upload atau menjalankan script."

"Dia tidak melakukannya dari warnet," lanjut Reza. "Dia menggunakan koneksi broadband pribadi. Aku tidak bisa melacak nomornya. Tapi aku bisa mengisolasi area umum dari setiap koneksi itu sebelum sinyalnya 'melompat' ke luar negeri."

Reja menekan 'Enter'.

Tiga lingkaran merah transparan muncul di peta Jakarta. Lingkaran pertama, besar. Lingkaran kedua, sedikit lebih kecil. Lingkaran ketiga, lebih fokus.

Mereka... tumpang tindih.

Ketiga lingkaran itu berbeda ukuran, tapi mereka semua bertemu di satu area yang sangat kecil di Jakarta Timur. Sebuah irisan tipis di mana ketiga sinyal itu pasti berasal.

"Radius satu kilometer," bisik Reza, suaranya penuh kekaguman. "Dia sangat arogan. Dia pikir kita tidak akan pernah membandingkan ketiganya. Dia selalu 'pulang' ke sarangnya untuk melancarkan serangan."

Jantung Daniel berdebar begitu keras hingga terasa sakit. Ini dia. Ini buktinya.

"Di mana itu?" desak Daniel, suaranya serak. "Perbesar."

Reza memperbesar irisan tumpang tindih itu. Itu adalah area yang padat. Ada beberapa kompleks perumahan. Sebuah pasar.

Dan... satu bangunan besar yang menonjol.

Reza mengklik pin di bangunan itu. Nama itu muncul di layar.

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA.

Daniel Tirtayasa berhenti bernapas.

Reza belum berbicara. Ruangan itu sunyi. Tapi di kepala Daniel, dunia sedang meledak. Ini bukan kemenangan. Ini adalah hukuman mati. Darah serasa surut dari wajahnya. Dia tidak melihat "bukti". Dia melihat wajah Samuel yang tersenyum di ruang autopsi, dan dia melihat jendela kamar Nadia. Kedua gambar itu bertabrakan, menciptakan teror yang murni dan memuakkan.

"Ndan?" Reza akhirnya menoleh, melihat wajah komandannya yang pucat pasi. "Ndan, ini gila. Aku tahu ini gila. Tapi... profil Dr. Maya bilang dia punya 'kehidupan ganda'. Samuel bilang dia punya 'keahlian medis'. Jurnal Lukas bilang dia 'logis' dan 'terpelajar'..."

Reza berdiri, suaranya kini dipenuhi kengerian dan keyakinan. "Ndan... pelakunya bukan pasien di sana. Pelakunya... dia dokter. Atau perawat. Atau admin IT. Sang Hakim bekerja di dalam Rumah Sakit Bhayangkara."

Ini dia.

Bukti.

Peta.

Logika.

Semua yang Daniel minta. Sebuah petunjuk sempurna yang menunjuk langsung ke... Dr. Samuel Adhinata.

Daniel menatap lingkaran merah di peta itu. Dia seharusnya berteriak, "Kita dapat dia!"

Reaiza benar. Ini buktinya. Dan aku tidak bisa menggunakannya.

Pikiran itu melintas secepat kilat.

Jika aku bertindak sekarang... jika aku bilang, 'Ayo kita tangkap Samuel'... Hartono akan bilang aku gila. Dia akan mencopotku. Dan Samuel akan tahu. Dia akan tahu aku mencurigainya. Dan jika dia tahu... dia akan menghilang. Atau lebih buruk.

Dia akan menyelesaikan pekerjaannya.

Nadia.

"Ndan?" panggil Reza lagi, bingung dengan keheningan komandannya.

Daniel berbalik dari layar. Wajahnya mengeras menjadi topeng yang tidak bisa dibaca.

"Tidak," kata Daniel.

"Ndan... tapi..."

"TIDAK!" Suara Daniel meledak di ruangan yang sunyi itu, membuat Reza tersentak mundur.

"Itu konyol, Reza!" kata Daniel, suaranya kini penuh amarah yang dibuat-buat, amarah yang lahir dari kepanikan. "Itu teori konspirasi yang berbahaya! Kau pikir dia sebodoh itu? Beraksi dari tempat kerjanya sendiri? Tepat di sarang polisi?"

Daniel meninju meja, membuat monitor bergetar. "Ini distraksi! Ini umpan lain! Dia menjebak rumah sakit itu! Dia tahu kita akan mencarinya di sana! Dia ingin kita membuang waktu menginterogasi dokter-dokter sementara dia membunuh korban keempat!"

"Tapi, Ndan, datanya..."

"Data itu adalah kebohongan!" potong Daniel. "Lupakan ini. Lupakan peta ini. Fokus pada seminar gereja itu. Itu petunjuk fisik kita. Jurnal. Wajah. Bukan bayangan digital!"

Reza tampak hancur. Dia baru saja memberikan terobosan terbesar dalam kasus ini, dan komandannya baru saja menyebutnya "teori konspirasi".

Daniel berbalik dan berjalan cepat keluar dari ruang komando, membanting pintu di belakangnya.

Dia tidak pergi ke toilet. Dia tidak pergi ke kantin. Dia masuk ke ruang tangga darurat yang sepi, bersandar di dinding semen yang dingin, dan untuk pertama kalinya sejak menjadi polisi, kakinya gemetar begitu hebat hingga dia harus merosot duduk di lantai.

Dia menatap tangannya.

Dia berbohong.

Dia baru saja menghancurkan petunjuk terbaik yang mereka miliki. Dia baru saja mengkhianati Reza.

Karena dia sadar akan kebenaran yang jauh lebih mengerikan: Dia tidak bisa mempercayai siapa pun. Dia terjebak. Dia tahu siapa pelakunya. Dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!