Adhya Kadhita Megantari,
sedang menikmati masa jomblonya,tenang tanpa ada gangguan dari para pria.
Nyatanya ketenangan hidupnya harus diganggu oleh playboy macam Hasabi Laka Abdullah.
Tiba-tiba tanpa ada aba-aba.
Gimana gk tiba-tiba, kalau pada pertemuan pertama Papa Desta memaksa menikahkan Adhya dengan Laka.
mau gk yaa?
Yuk, baca cerita pertama saya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayidah Syifaul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara gara seblak.
"Lak, bangun! Solat subuh," perutnya sejak tadi bergejolak serasa ingin muntah, tapi ia tahan, untuk membangunkan suaminya yang kebo. Udah mulai kebo, soalnya. Dulu dulu waktu dibangunin gampang banget. Sekarang kayak kebo, apalagi Adhya jadi makin kesel kalo Laka dibangunin nya pakek modus cium dulu.
Trus, dicium nggak sama Adhya?
Nggak! yang ada, kalau Adhya menuruti menciumnya Laka akan bilang kalau utang ciumannya tambah lagi.
Lunas seratus persen kata dia kalau mau cium bibir. Tapi Adhya belum mau, belum saatnya.
"Lak," Adhya menggoyangkan lengan Laka. Tapi kemudian rasa mualnya sudah tak dapat ditahan lagi.
"Huek! Mphh!" Adhya sudah hampir muntah. Lalu kemudian ia menutup mulutnya dengan tangan indahnya.
Laka langsung terbangun saat itu juga. Menghawatirkan Adhya yang tiba tiba muntah. Tanpa ba bi bu, Laka segera bangun dan mengikuti Adhya masuk kamar mandi. Laka memijat mijat tengkuk Adhya untuk membantunya.
"Kenapa, Yang? Masuk angin?" yaelaah... Jangan ditanya dulu, Lak! Adhya masih berusaha mengeluarkan isi perutnya, tuh.
Bayi, ya?
Bukan! Apa hubungannya muntah ama bayi? Eh?
"Gak papa, gak papa,, solat subuh dulu," ucap Adhya.
"Beneran?" Laka ini benar benar menghawatirkan istrinya. Karena wajah Adhya masih terlihat pucat begitu. Namun Adhya bersikap seolah dia baik baik saja.
Laka bisa apa? Adhya orangnya suka ngeyel soalnya.
Selesai sholat subuh, Adhya masih melakukan aktifitas seperti sehari harinya, bahkan ia berniat mengunjungi salah satu tempat yang dijadikan KKN. Adhya merasa dirinya baik baik saja meski rasanya agak lemas.
Seperti biasa, Adhya akan turun untuk membantu mertuanya menyiapkan sarapan.
"Pagi, bun," sapa Adhya.
"Pagi, sayang," Bunda Maya balas menyapa Adhya sambil tersenyum kearahnya. Tapi kemudian ternyata Bunda Maya menyadari wajah Adhya yang terlihat pucat
"Kamu kenapa, sayang? Gak enak badan?" Bunda Maya bertanya karena khawatir.
"Nggak, kok, bun."
"Beneran? Kalau sakit, istirahat aja,"
Adhya mengangguk tapi tidak benar benar berniat untuk istirahat, karena meski mengangguk, Adhya terap berada di dapur bersama Bunda Maya.
Semula baik baik saja, namun kemudian Adhya mual lalu muntah lagi, tapi hanya cairan bening yang keluar dari mulut Adhya. Jelas, sejak pagi perutnya masih belum terisi apapun.
Laka yang baru saja turun, pun menghampiri Adhya. Orang ngeyel memang nggak ada obatnya, biar saja dulu Adhya merasakan akibat kengeyelannya. Baru nanti dia akan mendengarkan Laka.
"Udah, kamu memang harusnya istirahat, Adhya," tanpa banyak ngomel, Laka langsung membopong Adhya dan membawanya kembali masuk ke kamar.
Sedangkan Bunda Maya mengikuti mereka dari belakang. Ia ikut khawatir pada menantunya. Tapi, Bunda Maya tidak ikut masuk ke dalam kamar mereka, ia justru berhenti di ambang pintu. Pikirannya membayangkan sesuatu, lalu kemudian ia kembali ke kamarnya sendiri.
" Istirahat aja, udah, jangan ngeyel!" Laka akhirnya memarahi istrinya itu.
"Iya, iya..." tuh, kan Adhya baru nurut kalau udah kena batunya.
Jadi hari ini, Adhya akan istirahat di rumah sementara Laka pergi bekerja.
Setelah sarapan, dan Laka, pun sudah berangkat kerja, Adhya istirahat sambil membaca novel. Seperti aktivitas yang biasa ia lakoni ketika santai.
Sejam setelahnya, Bunda Maya datang dengan membawa seorang dokter wanita. Adhya terkejut. Untuk apa mertuanya itu memanggil dokter, dia, kan hanya masuk angin biasa.
"Selamat pagi, Bu Adhya."
"Selamat pagi," Adhya membalas sapaan ramah dokter itu dengan muka bingungnya.
"Kita mulai periksa, ya?" Adhya mengangguk mempersilahkan. Namun wajah bingungnya seolah menanyakan pada Bunda Maya 'kenapa pakek manggil dokter, bun?'
Bunda Maya hanya tersenyum tanpa berniat mengatakan apapun. Senyumnya itu terlihat sangat bahagia, dan itu justru membuat Adhya curiga.
"Bu Adhya kapan terakhir datang bulan?" dokter itu bertanya pada Adhya.
"Minggu lalu, dok,"
"Kalau bulan sebelumnya?"
Adhya berpikir. "Bulan lalu adalah saat hari pernikahan."
Dokter itu tersenyum. Adhya makin curiga jadinya.
"Selamat, ya ,bu. Anda dinyatakan positif hamil,"
Adhya langsung melotot mendengar apa yang diucapkan dokter itu. Berhubungan badan dengan Laka saja belum pernah. Kenapa pula bisa hamil?
"Memang biasanya seperti itu, bu. Kalau nikahnya pas datang bulan. Hamilnya cepet. " ujar dokter itu lagi.
Dan tolong lihatlah wajah Bunda Maya yang sangat bahagia hingga tak bisa berkata apa apa. Begitu pula dengan Adhya. Mereka berdua sama sama bengong karena sebab yang sama, namun perasaan mereka berbeda.
Adhya yang kebingungan, pun segera memanggil Laka. Hanya Laka seorang yang terpikirkan disaat seperti ini.
Setelah mendapat kabar dari Adhya, Laka juga sama terkejutnya, bahkan handphone nya sampai jatuh dari tangannya. Untung saja Agam sigap menangkap handphone Laka yang sampir saja tewas itu.
Laka lalu merebut handphone nya kembali.
"Ok, aku pulang sekarang,"
Laka terbengong sebentar setelah mengatakan kalau ia akan segera pulang.
"Ada apa, bos?" Agam yang begitu perhatian dengan bosnya itu, pun bertanya. Siapa tau ia bis membantu.
"Istri gue hamil?" ini bukan jawaban untuk pertanyaan Agam. Namun Laka bermonolog sendiri. Tapi itu, pun juga menjadi jawaban dari pertanyaan Agam, kan?
"Bu bos, hamil?" tanya Agam.
"Nggak, nggak mungkin itu," Laka bermonolog sendiri lagi lalu langsung cabut dari kantornya. Ia membayangkan istrinya yang mungkin tengah shock saat ini.
Dokternya gimana, sih? Dokter gadungan apa gimana? Kenapa kesalahan se-konyol itu bisa terjadi?
"Yang!" panggil Laka setelah sampai di ambang pintu. Pemandangan yang ia lihat di kamarnya adalah Bunda Maya yang sedang memeluk Adhya. Sedangkan Adhya yang berada di pelukannya terlihat kebingungan sekali,
"Nah, mumpung Laka sudah datang, bunda pergi dulu, ya? Mau ngabarin tetangga," ujar Bunda Maya yang membuat Laka dan Adhya saling pandang, seolah masing masing mengatakan 'cepet cegah bunda!'
Adhya menahan tangan bunda, sedangkan Laka memutar otaknya untuk mencari alasan yang masuk akal.
"Anu, itu, bun, mmm ... Itu, keluarga kita aja belum semua tau, masak tetangga dulu yang dikabarin,"
"Gitu, ya? Yaudah deh,"
Haaaahhhhh.......
Rasanya Adhya bisa bernapas lega. Sekarang tinggal mereka berdua yang ada di kamar.
"Gimana? Dedek bayinya sehat?" ini apa, sih Laka? Masih sempat sempatnya bercanda.
Adhya memelototinya. "Ini serius Laka,"
Laka malah tertawa terbahak bahak. Lucu juga melihat wajah panik Adhya.
"Jangan jangan kamu macem macem waktu aku tidur?" tapi nggak mungkin juga kayaknya. Jiwa waspada Adhya itu kuat banget. Apalagi dia ini orangnya akan langsung bangun, bahkan hanya dengan dipanggil namanya. Adhya menatap curiga pada suaminya ini.
Sedangkan Laka jadi punya ide jahil baru. Laka semakin mendekat pada Adhya yang tengah bersandar di punggung ranjang. Tatapannya intens sekali.
"Kalau iya, emang kenapa?" Laka terus memajukan wajahnya hingga jarak hampir terkikis diantara mereka berdua.
Lalu ternyata bulir bening mulai jatuh dari mata Adhya.
Loh, kok nangis? Batin Laka.
"Huaaaa ...... Kamu jahat!" air mata terus mengalir deras di pipi Adhya. Kalau begini, kan Laka jadi merasa bersalah.
"Eh, eh, jangan. Nangis dong, nggak, nggak. Aku nggak ngapa-ngapain kamu, bercanda itu tadi,"
Seketika tangis Adhya berubah menjadi kilat amarah.
"Eh, bentar, jangan ngamuk dulu. Ini bukan waktunya kamu ngamuk," Laka mencegah amukan Adhya.
Gila! Ini juga bukan waktunya bercanda!
"Kenapa bisa ada gejala kehamilan begitu," Laka bertanya pada Adhya. Dan itu berhasil membuatnya berpikir apa penyebabnya?
Bodoh!
Adhya menepuk jidatnya sambil merutuki kecerobohannya kemarin.
"Seblak...." gumamnya. Kemarin ia makan seblak dalam keadaan perut kosong, kan?
"Kopi...." gumamnya kembali setelah mengingat kalau kemarin malam ia lembur denga ditemani secangkir kopi.
"Laka....." sekarang Adhya merengek pada Laka untuk membantunya menyelesaikan masalah ini.
"Nggak mungkin, kan kita bilang kalau kita belum pernah melakukan 'itu'," ucap Adhya. Menang tidak mungkin sekali mereka mengatakan begitu.
"Mmmm...." Laka mondar mandir, terlihat berpikir serius. Kemudian ia berhenti di depan Adhya.
Dengan penuh percaya diri ia berkata,
"Kita buat bayinya beneran ada aja, Yang!"
"Laka!!"