NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15 : Jebakan Yang Memikat

Pagi itu, udara terasa dingin meski sinar matahari menembus tirai jendela apartemen mereka. Samantha sudah duduk di meja makan, mengenakan blus putih dan rok pensil hitam yang rapi. Wajahnya tampak biasa saja, namun ada ketegangan tipis yang menggantung di balik senyumnya.

Leonard keluar dari kamar sambil mengancingkan kemejanya. Matanya menangkap aroma kopi yang masih hangat di cangkir, dan tatapan Samantha yang menunggunya.

"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Leonard sambil duduk, matanya tak berpaling dari wajah istrinya.

Samantha meneguk napas dalam-dalam. "Aku... harus ke New York besok."

"New York?" Leonard mengerutkan kening.

"Ada proyek baru yang dipegang langsung oleh Mr. Graves. Dia minta aku ikut dalam presentasi di hadapan klien dalam sebuah jamuan."

Leonard menatap cangkirnya sejenak. "Kamu dan dia saja?"

Samantha mengangguk. "Akan ada tim lain yang menyusul, tapi... ya, aku berangkat lebih dulu bersama dia."

Diam menggantung di antara mereka. Hanya suara detik jam yang terdengar jelas. Samantha bisa merasakan detak jantungnya di telinga, seolah menunggu sebuah ledakan yang sewaktu-waktu bisa pecah.

Namun Leonard hanya mengangguk pelan. "Baiklah. Kalau itu pekerjaan, aku percaya kamu tahu apa yang kamu lakukan."

Samantha tak bisa menyembunyikan kelegaan yang mengalir pelan. Tapi bersamaan dengan itu, ada semburat rasa bersalah yang kembali menyentaknya.

"Terima kasih sudah percaya," katanya lirih.

Leonard tersenyum samar. "Aku tidak selalu mengerti keputusanmu, Sam. Tapi aku tahu kamu bekerja keras. Mungkin... ini hanya fase sulit."

Samantha menunduk. "Ya. Mungkin."

Ia tak berani menatap mata Leonard lebih lama. Karena di balik izin yang ia minta, ada niat yang tidak sepenuhnya murni. Bukan hanya tentang pekerjaan. Tapi tentang Nathaniel. Tentang permainan berbahaya yang masih belum bisa ia hentikan.

Dan dalam hati kecilnya, Samantha tahu:, perjalanan ke New York ini bisa menjadi titik balik... atau jurang yang lebih dalam.

...****************...

Pesawat itu terbang tinggi, melintasi langit yang biru dan luas, membawa Samantha dan Nathaniel menuju kota yang gemerlap dengan pencakar langitnya. New York. Sebuah kota yang terkenal dengan ambisinya yang tanpa batas, penuh dengan peluang dan pengkhianatan. Samantha menatap ke luar jendela, matanya menerawang jauh. Begitu banyak yang dipertaruhkan dalam perjalanan ini.

Nathaniel duduk di sampingnya, dengan keheningan yang menegangkan. Sejak mereka meninggalkan kantor pagi tadi, suasana di dalam mobil hingga ke bandara begitu berbeda. Biasanya, Samantha bisa menghindar atau menjauh dari kehadirannya, tapi kali ini... perasaan itu tidak bisa begitu saja ditanggalkan. Ada ketegangan yang lebih tajam di udara, seperti api yang perlahan membakar, siap meledak kapan saja.

"Kamu tidak banyak bicara." Nathaniel memecah keheningan, suaranya dalam, tajam.

Samantha menoleh, mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa begitu dipaksakan. "Aku hanya... memikirkan beberapa hal."

"Seperti apa?" Tanya Nathaniel, matanya tajam, tidak pernah lepas dari wajah Samantha. Ia tahu, di balik sikap tenangnya, Samantha sedang memutar otak. Mungkin ia sedang merencanakan sesuatu.

Samantha mengalihkan pandangannya ke luar jendela lagi. "Tidak ada. Hanya pekerjaan."

Nathaniel tersenyum tipis, senyuman yang cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak percaya sepenuhnya. "Kamu pikir aku bodoh?"

Samantha mengangkat bahu. "Kamu bisa berpikir apa saja tentang aku, Nathaniel. Itu hakmu."

Namun dalam hatinya, Samantha tahu dia baru saja melontarkan tantangan yang lebih dalam. Selama ini, Nathaniel selalu memiliki kontrol penuh atas situasi. Tetapi kali ini, dia mulai merasakan bahwa ia juga harus memainkan permainan ini dengan lebih hati-hati.

Pesawat itu akhirnya mendarat, dan mereka keluar dari bandara. Kota New York menyambut mereka dengan hiruk-pikuk yang tak pernah sepi. Samantha dan Nathaniel menaiki mobil yang telah disediakan, menuju hotel mewah yang telah dipesan untuk mereka.

Sesampainya di hotel, suasana semakin terasa asing bagi Samantha. Meskipun ini adalah perjalanan bisnis, ada perasaan yang lebih pribadi yang menyelip di antara mereka. Nathaniel dengan gesit membuka pintu mobil dan memberi isyarat pada Samantha untuk keluar. Tanpa berkata apa-apa, mereka berjalan masuk ke dalam hotel, langsung menuju lift.

Begitu mereka sampai di lantai yang telah dipesan, suasana berubah menjadi semakin intim. Ruang hotel itu luas, dengan jendela besar yang memberikan pemandangan kota New York yang memukau. Lampu-lampu kota itu berkelap-kelip, seolah mengundang mereka untuk turut terperangkap dalam gemerlapnya.

"Kamar kamu di sini." Nathaniel berkata sambil membuka pintu kamar, matanya tetap mengamati Samantha.

Samantha menatapnya dengan hati-hati. "Terima kasih." Suaranya terasa lebih rendah dari biasanya.

Tapi Nathaniel tidak bergerak. Ia hanya berdiri di ambang pintu, memandang Samantha dengan tatapan yang sulit diartikan. "Samantha... kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini, bukan?"

Samantha menelan ludahnya, mencoba mempertahankan ketenangan yang semakin sulit. "Aku ikut karena pekerjaan, Nathaniel. Kamu tahu itu."

Nathaniel mendekat, langkahnya tenang namun penuh tekad. "Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu, ada sesuatu yang lebih di balik semuanya ini."

Samantha tidak tahu harus bagaimana. Ia mengangkat tangan untuk menahan jarak, tapi tangan Nathaniel sudah berada di antara mereka, menghalangi ruang yang coba ia ciptakan.

"Jangan pernah berpikir aku bodoh, Samantha." Suara Nathaniel lebih rendah kali ini, menggantung di udara dengan ancaman yang terselip.

Samantha mundur selangkah, menatap matanya dengan tatapan penuh tantangan. "Apa yang kamu inginkan, Nathaniel?"

"Aku ingin kamu. Lebih dari sekadar teman kerja." Nathaniel akhirnya mengungkapkan keinginan itu, nada suaranya tenang namun penuh dengan dorongan yang tak bisa dihindari.

Samantha merasakan jantungnya berdegup kencang, namun ia tetap berusaha tenang. "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan."

Nathaniel tersenyum tipis, senyuman yang penuh kemenangan. "Kamu tahu persis apa yang aku maksud, Samantha. Dan aku tahu, kamu sudah mulai merasa hal yang sama."

Saat itu, Samantha merasa terpojok. Sebuah perasaan yang asing, antara cemas dan tidak bisa lepas dari tarik ulur keinginan itu. Ia tahu, perjalanan ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah pertempuran batin yang baru dimulai

Dan di New York, di antara gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, Samantha tahu satu hal, dia sedang berada di jalur yang tidak bisa ia mundurkan lagi.

...****************...

Kamar hotel Samantha sunyi. Hanya suara detak jam digital dan desau AC yang mengisi ruangan. Ia berdiri di dekat jendela, memandang lampu-lampu kota yang bersinar seperti bintang yang terlalu dekat. Tapi tak ada keindahan yang mampu menenangkan gejolak di dadanya malam itu.

Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Nathaniel.

"Temui aku. Sekarang. Suite 1702."

Jantung Samantha berdebar. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya. Tapi ia tahu, Nathaniel tak pernah sekadar meminta. Selalu ada konsekuensi jika ia tidak memenuhi panggilannya. Dengan napas berat, ia mengenakan jaket tipis di atas tanktop dan legging tidurnya, lalu keluar kamar.

Lorong hotel sepi. Setiap langkah kakinya menggema, membentur dinding dan menyatu dengan ketegangan yang makin pekat. Ia mengetuk pelan pintu suite 1702, dan Nathaniel membukanya nyaris seketika, seolah sudah menunggu di balik pintu sejak lama.

Dia mengenakan kemeja putih tipis yang kancing atasnya terbuka, memperlihatkan sebagian dadanya yang berotot dan basah keringat. Rambutnya acak, dan sorot matanya... tajam namun mengandung sesuatu yang rapuh.

"Kau datang," ucapnya datar, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.

"Apa yang kamu inginkan malam ini?" tanya Samantha, berdiri di ambang pintu, tidak melangkah masuk.

Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya mundur sedikit, memberi ruang. Samantha masuk, langkahnya ragu. Pintu tertutup di belakangnya.

"Jawab aku," desaknya. Tapi suaranya bergetar. Ia tahu ia tak akan bisa berpura-pura lebih lama.

Nathaniel berjalan mendekat perlahan, seperti singa yang siap memangsa, namun tatapannya bukan sekadar haus akan tubuh. Ada luka, ada obsesi. Ada rasa memiliki yang tidak sehat.

"Aku hanya ingin kamu..." Nathaniel berhenti tepat di depannya. "Tanpa perhitungan. Tanpa dalih. Tanpa kebohongan."

Samantha mendongak, matanya berkaca. "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."

"Aku tahu persis." Nathaniel mengangkat tangannya, menyentuh rahangnya lembut. "Aku ingin malam ini kamu menjadi milikku. Bukan karena paksaan. Tapi karena kamu juga merasakannya."

Samantha menelan ludahnya. Hatinya kacau. Antara dendam dan hasrat. Antara kebencian dan kerinduan. Ada bagian dari dirinya yang ingin melawan, tapi ada bagian lain yang diam-diam menyerah.

Dan malam itu, tidak ada yang tersisa selain napas mereka yang saling menyentuh, tubuh yang saling menantang, dan kepasrahan yang bukan tanpa luka. Samantha memejamkan mata saat Nathaniel mencium bibirnya dengan intens, membawa mereka ke ranjang dalam diam yang nyaring.

Mereka tidak berbicara. Tidak perlu. Gerakan mereka bercerita lebih banyak daripada kata-kata. Malam itu berbeda dari sebelumnya, lebih lambat, lebih dalam, lebih sarat akan kebutuhan yang mereka coba tutupi.

Namun, di balik selimut dan kecupan panas itu, Samantha menyimpan satu rahasia, ia tidak lagi datang karena takut. Tapi karena ia punya rencana. Dan setiap sentuhan Nathaniel kini bukan sekadar luka… tapi juga alat untuk mengikatnya lebih dalam ke dalam jebakan yang ia ciptakan sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!