Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 – Setelah Semua Terjadi
Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui tirai jendela kamar Tari, menyinari siluet dua tubuh yang masih terbaring diam. Kamar itu sunyi, hanya suara detik jam dan embusan angin dari sela jendela yang terbuka pelan. Tari membuka mata perlahan. Hatinya masih dipenuhi sesuatu yang tak bisa ia beri nama: hangat, ragu, bahagia... dan sedikit takut.
Gilang masih di sampingnya, satu tangan menyentuh perutnya pelan, seolah memastikan bahwa ia masih ada di sana. Nafas pria itu teratur, damai. Tari memiringkan tubuhnya perlahan, menatap wajah Gilang yang tertidur. Ada garis lelah di mata itu, bahkan saat tertutup.
Perasaan itu menghantam lagi.
Apakah semuanya nyata?
Malam tadi adalah malam yang belum pernah ia bayangkan akan terjadi. Bukan hanya soal keintiman, tapi tentang bagaimana akhirnya dua dunia yang begitu asing akhirnya bersinggungan—tanpa filter, tanpa jarak. Ia telah menyerahkan hatinya. Bahkan tubuhnya hampir seutuhnya. Dan yang paling ia takutkan sekarang adalah...
Apa yang akan berubah setelah ini?
Tari turun ke dapur beberapa jam kemudian, setelah mandi dan berganti pakaian. Rumah masih sunyi. Para staf belum banyak berkeliaran. Saat ia menuang air hangat ke cangkir, suara langkah mendekat.
Gilang muncul dari arah ruang keluarga. Rambutnya basah, mengenakan kaus putih polos dan celana training. Ia tampak seperti pria biasa pagi itu. Bukan eksekutif. Bukan pewaris perusahaan. Hanya... Gilang.
"Pagi," ucapnya pelan.
Tari mengangguk. "Pagi. Mau teh?"
Gilang mengangguk. Ia duduk di kursi tinggi di bar dapur, menatap punggung Tari dalam diam.
"Tentang tadi malam..."
Tari berhenti mengaduk tehnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menoleh perlahan.
Gilang menunduk. "Kamu nggak menyesal, kan?"
Pertanyaan itu menusuk. Karena di satu sisi, Tari tidak. Tapi di sisi lain... ia takut.
"Nggak. Tapi aku takut kamu yang menyesal."
Gilang bangkit, berjalan ke arahnya, lalu menyentuh tangannya yang masih menggenggam sendok. "Aku nggak menyesal. Tapi aku... juga takut."
"Takut apa?"
"Takut kamu kecewa. Karena aku nggak bisa janji apa-apa. Aku masih bingung dengan diriku sendiri. Dengan posisi ini. Dengan semua tekanan yang datang dari atas dan bawah."
Tari menatapnya. "Aku nggak minta janji. Aku cuma minta kamu jujur. Mulai dari sekarang."
Gilang mengangguk pelan, lalu mencium jemari Tari. "Aku akan coba."
Namun dunia luar tidak menunggu mereka menyusun perasaan. Kantor tetap berjalan, rapat tetap berlangsung, dan rumor tetap beredar. Tari kembali bekerja dengan senyum terlatih. Tapi di dalam, pikirannya terus bergulat.
Ia masih ingat sorot mata Gilang semalam. Masih ingat sentuhannya, pelukannya. Tapi juga masih ingat bagaimana lelaki itu mengaku pernah ingin menjatuhkannya.
Bagaimana bisa cinta dan luka tumbuh dari orang yang sama?
Dan yang lebih menyakitkan adalah... Tari tidak bisa berhenti mencintainya.
Sementara Gilang juga tidak bisa sepenuhnya tenang.
Setiap kali ia melihat Tari berjalan melewati lorong kantor, senyum pada staf lain, berbicara hangat dengan Rahma, ia merasa ingin mendekap gadis itu dan menyembunyikannya dari dunia. Tapi ia juga tahu... ia adalah bagian dari dunia yang pernah melukai Tari.
Gilang duduk lama di ruangannya, menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca apa pun. Ia teringat bagaimana tangan Tari menggenggamnya semalam. Bagaimana suara lembutnya memanggil nama Gilang. Dan ia... membalasnya. Dengan ciuman, dengan seluruh tubuhnya, dengan semua yang tak sempat ia ucapkan.
Apa aku pantas dicintai oleh gadis sebaik itu?
Gilang berdiri, berjalan ke jendela. Di luar, langit Jakarta tampak mendung. Seperti pikirannya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Tapi tidak ada yang terasa biasa. Tari dan Gilang menjaga jarak di kantor, seperti ada kesepakatan tak tertulis. Tak ada pesan romantis. Tak ada sentuhan. Hanya tatapan sekilas yang mengandung seribu kata.
Dan setiap kali malam tiba, mereka kembali ke rumah yang sama. Kadang makan malam bersama, kadang hanya menyapa singkat. Tapi ketika semua lampu dipadamkan dan dunia tertidur... rasa itu kembali.
Malam-malam setelah itu dipenuhi keheningan yang memabukkan. Kadang Gilang mengetuk pintu kamar Tari hanya untuk mengatakan "selamat malam". Kadang Tari yang berdiri lama di depan pintu kamar Gilang, tapi tak jadi mengetuk.
Mereka seperti dua api kecil yang tak berani bersatu karena takut saling membakar.
Hingga suatu malam, Tari memberanikan diri masuk ke kamar Gilang. Ia hanya berdiri di ambang pintu.
"Aku nggak bisa pura-pura lagi," ucapnya pelan.
Gilang bangkit dari sofa di sudut kamar. "Pura-pura apa?"
"Pura-pura kita baik-baik saja. Padahal kita sedang bingung. Dan itu nggak salah. Tapi... kita harus bicara."
Gilang mengangguk. Ia duduk kembali dan menepuk sofa di sampingnya. Tari duduk, menatap pria itu.
"Aku sayang kamu, Gilang. Tapi aku juga sayang diriku sendiri. Aku nggak mau berada di hubungan yang dipenuhi kebohongan. Aku butuh tahu... kamu lihat aku sebagai siapa?"
Gilang menatapnya dalam-dalam. "Awalnya aku lihat kamu sebagai ancaman. Lalu sebagai tanggung jawab. Tapi sekarang... kamu rumah buat aku."
Tari menahan air mata. "Tapi rumah juga butuh kejujuran. Aku akan tetap di sini, asal kamu juga mau berjuang. Bukan untuk perusahaan. Tapi untuk kita."
Gilang menarik napas dalam. "Aku janji, Tar. Kita mulai dari awal. Pelan-pelan. Tapi tanpa kebohongan."
Dan malam itu, mereka duduk berdua sampai larut. Tanpa ciuman, tanpa pelukan. Hanya dua hati yang saling belajar untuk memulai ulang.