Squel Flight Attendant.
Denisa, dokter berusia dua puluh lima tahun itu telah menjadi janda diusianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun akibat obsesinya pada laki-laki yang sangat mencintai kakaknya. Susah payah pergi jauh dan berusaha move on, Denisa dipertemukan lagi dengan mantan suaminya yang sangat ia hindari setelah lima tahun berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om Papi
Denisa masih diam didalam mobilnya saat dia sudah sampai dirumah, mobil yang baru saja diambil dari bengkel teman Ricko. Ini bukan mobilnya, tapi mobil baru yang sama persis dengan miliknya yang dibelikan Ricko, sebab mobil Denisa tak lagi bisa diperbaiki.
Denisa menjatuhkan kepalanya distir mobil, memukul kepalanya terasa pusing, sejak kedatangan Daniel, hidupnya terasa kacau. Seharusnya Denisa bisa bersikap cuek dan biasa saja, tapi kenapa dia malah banyak memikirkan banyak hal.
Apa rasa yang dulu masih ada?
Apa sesulit itu dia tak menganggap kehadiran Daniel? Kenapa dia harus memikirkan semuanya?
Cukup hubungan kalian hanya sebatas sebagai ayah dan ibu untuk Dara, tanpa ada perasaan didalamnya.
Akkhhh
Denisa berteriak frustasi, ini sudah lima tahun berlalu, kenapa rasanya sulit untuk bersikap biasa saja? Denisa memukul stir sampai tangannya memerah.
"Aku mencintai kamu itu tulus, Nis. Jadi nggak usah ngerasa bersalah dengan yang kamu lakukan tadi, aku tahu, yang kamu lakukan karena kamu ngerasa nggak enak sama mertua kamu, dan kamu juga menjaga perasaan Amanda."
"Cinta itu nggak bisa dipaksakan, justru yang kamu lakukan tadi memperlihatkan kalau kamu masih sangat cinta dengan mantan suami kamu," ujar Ricko menekankan kata 'sangat cinta' "aku akan selalu ada disamping kamu jika kamu butuh."
Kata-kata Ricko masih terngiang dikepala Denisa, dia semakin merasa bersalah, telah melibatkan Ricko dalam masalahnya, padahal laki-laki itu begitu baik. Kenapa rasanya sulit sekali menerima laki-laki lain dalam hidupnya.
"Bu Denisa, tadi Dara kembali memukul temannya, maaf ya Bu, mohon dibimbing Dara-nya agar hal ini tidak terulang lagi, sebab wali murid menegur pihak sekolah, dan jika hal ini kembali terjadi, maka dengan berat hati kami akan mengeluarkan Dara dari sekolah."
Ditambah telepon dari guru Dara tadi membuat Denisa semakin banyak pikiran saja. Denisa tidak akan menyalahkan anaknya, sebab dia tahu apa yang dilakukan Dara benar, dan Dara selama ini mengalami pembulyan karena Dara tidak memiliki papi seperti teman-temannya, dan tadi juga Denisa sudah menanyakan hal ini pada Nani.
Deru mobil membuat Denisa mengangkat kepalanya, dia melihat melalui spion tengah siapa yang datang, dan ternyata itu Daniel, laki-laki yang membuat pikirannya akhir-akhir ini terasa penuh.
Daniel yang mengetahui jika Denisa didalam mobil, mengetuk kaca mobil dan meminta Denisa turun.
"Denisa, keluar," ketuk Daniel tak sabaran kaca mobil Denisa.
Dengan malas Denisa keluar. "Ada apa pak Daniel?"
"Hentikan omong kosong mu Denisa! Kenapa kamu mengaku sama mama kalau Ricko pacar kamu?"
Denisa menghela nafas, dia lelah, tak inginberdebat. "Kamu kan tahu kemarin Ricko menyatakan perasaanya sama aku, jadi nggak ada alasan untuk aku nolak dia."
"Munafik, wanita murahan, lalu apa arti ciuman kamu waktu itu, Denisa? Kamu bilang butuh waktu tapi kamu malah menerima Ricko."
Dada Denisa memanas atas ucapan Daniel yang mengatainya murahan, Denisa menahan matanya yang mulai berkaca-kaca, Daniel sangat mudah mengeluarkan kata-kata kasar padanya.
"Apa salahnya? Ricko lebih pantas menjadi pendamping ku, kami sama-sama sendiri, ciuman kita malam itu cuma kekhilafan, aku terlalu terbawa suasana, dan kamu benar, aku memang murahan, dari dulu kamu tahu aku murahan, jadi berhenti berharap kita bisa bersama. Dan dari sini aku tidak salah menentukan pilihan, Ricko adalah lelaki yang tepat untuk menjadi pengganti papi buat Dara, setidaknya, Ricko tidak pernah berkata kasar dan menghinaku ku walaupun aku buruk rupa sekali pun." Denisa begitu kesal, hingga air matanya mulai jatuh satu persatu.
Daniel menyadari jika ucapannya melukai hati Denisa, dia selalu saja tidak bisa mengontrol diri
saat sedang marah. Dan tentu tak terima jika Ricko lebih unggul darinya, apalagi Denisa menyebut jika Ricko lebih cocok menjadi papi buat Dara. Tapi kali ini dia harus mengontrol emosinya, jika tidak ingin dia lebih rendah dari Ricko.
"Denisa maafkan aku," Daniel merendahkan suaranya, "kamu harus tahu, laki-laki memang seperti itu jika menginginkan wanita yang dia mau, tapi jika dia sudah mendapatkannya barulah terlihat sifat aslinya," ujarnya membela diri dan hendak meraih tangan Denisa, namun Denisa segera menepisnya.
"Kenapa jadi menjelekkan orang lain? Justru kamu yang begitu, ini sifat asli kamu, kamu laki-laki juga kan? maka dari itu kamu sama aja." Denisa menekan-nekan dada Daniel kesal.
"Tentu aku berbeda. Aku tidak bersifat manis, tapi aku berusaha keras untuk mendapatkan kamu lagi, bukan dengan cara menggombal atau mengobral kata-kata rayu, karena aku bukan sales."
"Apa bedanya? Kamu laki-laki, atau dibawah sana sudah berubah menjadi yang lain?" Denisa tidak menyadari ucapannya, dan itu membuat Daniel tersenyum menyeringai.
"Dibawah sana? Kamu ingin melihatnya Mami?"
Sial, Denisa salah berucap, dan dia selalu suka dengan panggilan itu, Denisa membuang muka malu. "Terserah." Dorong Denisa tubuh tegap tinggi yang menghadangnya, namun Denisa lupa jika tenaga laki-laki itu lebih kuat,
"Maafin aku dulu, Mami. Aku benar-benar minta maaf." " Daniel memasang wajah memelas berharap Denisa memaafkannya.
"Awas ih." Denisa hendak mendorong Daniel, tapi Daniel menangkap kedua pergelangan tangannya.
"Maafin aku. Kalau nggak maafin aku teriak panggil Dara."
Cihh sekarang dia memanfaatkan anak ku.
Denisa memajukan bibirnya. "Iya, awas pulang sana."
"Aku boleh masuk? Seharian belum makan, kepikiran sama kamu kalau benar kamu jadian sama Ricko, aku harus banyak makan 'kan Bu Dokter biar cepat sembuh? kamu bisa menyesal kalau sampai pasien kamu kenapa-napa karena kamu nggak memberinya makan?" Daniel mengerjapkan mata lucu merayu Denisa. "Aku juga seharian ini belum bertemu anak kita, aku kangen. Pleaseee." Daniel menangkup kedua tangan didepan dada, dia sampai merendahkan tubuhnya memohon agar Denisa mengabulkan permintaannya, persis seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan pada ibunya.
Denisa melihat jam dipergelangan tanganya. Jam tujuh malam, masih pantas untuk menerima tamu, dia kembali melihat Daniel yang masih memasang wajah memelasnya.
"Tiga puluh menit."
"Lebih dari itu aku boleh nginep berarti." ucap Daniel tapi dia langsung mengatupkan bibir saat mendapat pelototan dari Denisa. "Oke, tiga puluh menit, Bu Dokter pelit."
Daniel menyingkirkan badannya mempersilahkan Denisa untuk masuk terlebih dahulu.
Yang tak diketahui saja oleh mereka, jika sejak tadi Dara dan Nani mengintip dari jendela, saat tahu Denisa akan masuk, keduanya duduk disofa pura-pura menonton televisi yang tak bersuara.
Denisa terkejut saat mengetahui anak dan pengasuhnya berada di sana.
"Kalian dari tadi disini?" Dara dan Nani menoleh bersamaan, dan ketika itu juga Daniel berdiri dibelakang Denisa.
"Om!" antusias Dara, bocah itu langsung turun dari sofa berlari menghampiri Daniel, dan memeluk kaki laki-laki itu, melewati Denisa yang hatinya dibuat mencelus, karena Dara lebih merindukan Daniel dari pada dirinya.
"Dara nggak kangen Mami?" protes Denisa memasang wajah sedih, tentu sedih beneran.
Dara mendongak menatap wajah maminya. "Kangen Maamiii, tapi Dara mau kasih tau sesuatu sama Om Papi." Denisa mengerutkan kening, kemudian memelototkan matanya pada Daniel meminta penjelasan, kenapa Dara sampai memanggilnya seperti itu.
Dengan santai Daniel hanya mengendikkan bahu, semakin membuat Denisa kesal.
"Aku kangen, tadi Om nggak anter jemput Dara, Dara di ledekin teman, katanya Dara nggak punya papi." Adunya langsung, "dia dorong Dara, tapi Dara balas pukul, tapi maminya marah."
"Aku masuk dulu." Pamit Denisa dengan hati yang mulai kacau, tak tahu akan bagaimana tanggapan Daniel menanggapi hal ini.
Daniel melihat punggung Denisa yang menghilang dari pintu penghubung ruang tamu dan kamar Denisa.
Daniel jongkok dengan kedua lutut ditekuk, mensejajarkan tinggi Dara. Aduan Dara sama dengan cerita sang mama yang bertemu anak kecil, anak kecil itu dimarahi oleh mama anak yang dipukul, dan hal itu yang membuat Dina sampai menangis terisak membayangkan anak Denisa yang tak memiliki papa, Dina begitu khawatir jika hal itu terjadi pada cucunya, cucu yang tak ia ketahui bentuk dan rupanya.
Daniel melihat Nani yang masih berdiri disana, Nani mengangguk sebelum kemudian dia pamit kebelakang, memberi waktu untuk Daniel.
Belum apa-apa hati Daniel terasa sesak bak diremas, sakit sekali rasanya mendengar hal itu. Daniel menuntun Dara untuk kembali duduk di sofa.
Dipangkunya Dara, meminta Dara untuk menatapnya.
"Katakan sama Om papi, apa Dara sering diledekin teman Dara seperti itu?" Dara mengangguk cepat dengan bibir yang dimajukan.
"Tapi kata mami diam-in saja, nggak boleh nangis, jangan didengar karena Dara lebih istimewa dari teman Dara."
Daniel membuang udara lewat mulut, mendongak, menahan mata yang sudah mengembun. Anak sekecil ini sudah mengalami pembulyan, betapa berat penderitaan Dara dan Denisa selama ini.
"Benar, benar kata mami Dara nggak boleh nangis, Dara lebih istimewa dari teman Dara dan tak perlu dengerin kata mereka, Dara anak yang hebat."
"Mami juga ajarin, kalau ada yang pukul Dara, Dara harus balas, jangan diam aja."
Kembali Daniel hanya mampu membuang udara lewat mulut, menahan hatinya yang berdenyut hebat.
Denisa yang selama ini dia tahu banyak kekurangan, ternyata Denisa sosok wanita yang hebat dan kuat dalam mendidik anak, kenapa dia sampai tak memikirkan dampak dari seorang anak yang terlahir tidak memiliki ayah, seharusnya dia memikirkan hal itu, bukan mementingkan ego hanya karena belum ada rasa cinta.
"Dara, dengar," Daniel menangkup wajah Dara, "mulai hari ini, panggil Om papi, Papi. Nggak pakai Om. Panggil Papi, dengar?"
Dara diam, tentu dia harus mendapat izin dari Denisa.
"Mami tidak akan marah, Papi jamin itu. Coba, panggil Papi."
Dara diam untuk sesaat, mengamati wajah Daniel, kemudian Daniel dibuat terkejut karena tiba-tiba Dara memeluk lehernya, Dara menangis.
"Papi," ujarnya dengan suara bergetar, Daniel mengangguk dengan air mata yang sudah menganak sungai, hatinya berdesir mendengar suara Dara memanggilnya papi, ini bukan mimpi, ini tak lagi ia dengar lewat mimpi.
Dibalik tirai pintu penghubung ruang tamu dan tengah, Denisa menghapus air matanya mendengar obrolan keduanya, kemudian Nani datang memeluk tubuh Denisa yang bergetar.
"Kamu wanita hebat." Nani menepuk lembut punggung Denisa.