“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Tempat Perlindungan
Hujan turun tipis di luar jendela, membasahi kaca yang mulai berembun. Aroma teh hangat dan melati perlahan menyeruak dari dapur, menyelimuti ruang tamu kecil yang tenang dalam kehangatan yang nyaris rapuh.
Laras duduk di ujung sofa, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis. Tangan mungilnya menggenggam cangkir teh yang bergetar halus. Di sebelahnya, Ira menatapnya dengan lembut, penuh kesabaran. Sementara Arka berdiri menyandar di dinding, kedua tangan menyilang, rahangnya mengeras sejak tadi.
“Kalau kamu sudah siap,” suara Ira pelan namun mantap, “ceritalah, Laras. Kami di sini untuk mendengarkan, bukan menghakimi.”
Laras menunduk. Gumpalan emosi yang mengganjal di tenggorokan kembali naik, menyesakkan. Sudah terlalu lama ia menanggung semuanya sendiri.
“Aku...” Suaranya serak. “Aku terpaksa menikah dengan Edward.”
Ira menatapnya, masih dengan kelembutan yang sama. Arka mulai mengepalkan tangan, gerak tubuhnya menegang.
“Dia... playboy. Dengan berbagai cara dia mendekatiku. Aku terus menolak dia. Tapi justru itu yang membuat dia makin gila.”
Tatapan Laras menerobos jendela yang berkabut. Bayangan pesta malam itu menyelinap masuk—gaun panjang, musik jazz, dan rasa jijik yang mengendap di dada.
“Di pesta amal, aku ditabrak seseorang... dan tiba-tiba dia menciumku di depan banyak orang. Aku menampar dia sekeras mungkin. Kupikir itu cukup untuk menghentikannya. Tapi nyatanya... dia malah mulai merencanakan balas dendam.”
Ira meremas pelan tangan Laras. “Dia melakukan apa, Ras?”
“Dia memfitnah ayah angkatku. Menjebaknya dalam kasus perusahaan. Lalu datang seolah pahlawan, menawarkan ‘bantuan’... dengan satu syarat—aku harus menikah dengannya.”
Arka mendesis pelan. “Bajingan...”
“Aku tetap menolak, meski keluargaku memaksaku. Tapi tak lama kemudian, dia mengirimkan foto-foto palsu—editan aku berpakaian tak senonoh. Bukti palsu yang bisa membuat aku dipecat. Keluargaku malah menyalahkanku. Mereka bilang... Edward nggak akan sampai seperti itu kalau aku mau nurut.”
Laras menarik napas panjang, tapi tubuhnya tetap bergetar.
“Dari awal, dia tahu aku punya vaginismus. Dia tahu aku menderita Ehlers-Danlos Syndrome. Tubuhku lemah. Genetikku cacat. Aku bahkan nggak bisa punya anak.”
Ia menatap kosong ke arah lantai.
“Aku pikir, dia akan mundur. Tapi nyatanya, dia justru makin bernafsu. Bukan karena cinta—tapi karena egonya. Karena aku pernah menolak dan mempermalukan dia.”
Ruang tamu sunyi. Tapi Laras belum selesai.
“Aku sendirian. Terpojok. Aku... menyerah. Kupikir, kalau aku menikah dengannya, semuanya akan selesai.”
Arka melangkah mendekat. “Jadi dia menikahi kamu cuma untuk—”
“Menyiksaku,” potong Laras lirih. “Di malam pernikahan kami, dia membawa seorang gadis ke kamar. Dia mengunci pintu dan... meniduri gadis itu di depan mataku.”
Ira menutup mulutnya, tercekat. Arka mencengkeram lengan sofa dengan kuat, menahan amarah yang memuncak.
“Aku cuma bisa duduk menggigil. Suara tawanya... masih terngiang sampai sekarang. Aku berusaha tegar, tetapi... itu neraka.”
Suaranya retak. “Bahkan... dia hamili adikku dan menikahinya juga.”
Ira terdiam membeku. Tatapannya kosong. Arka mengangkat wajahnya, matanya merah.
“Aku sudah lama mengumpulkan bukti untuk bisa bercerai darinya. Saat aku tahu aku hanya anak angkat, aku merasa... ini waktuku. Aku ingin bebas. Dari semuanya. Dari orang-orang yang hanya melihatku sebagai alat atau beban.”
Laras memejamkan mata sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara parau.
“Tapi dia murka. Hari ini, sebelum aku berhasil kabur... dia mencoba memperkosaku. Dia tahu aku punya vaginismus. Dia tahu betapa menyakitkannya. Tapi dia tetap mencoba, karena dia ingin membuktikan bahwa aku adalah barang miliknya. Benda... yang bisa dia paksa sesuka hati.”
Tangisnya pecah, tertahan, tanpa suara. Ira memeluknya erat. Arka mendekat, wajahnya gelap oleh kemarahan yang tak lagi bisa disembunyikan.
“Brengsek,” desis Arka. “Dia bukan cuma bajingan. Dia monster.”
“Aku akan pastikan dia nggak bisa menyentuh kamu lagi,” ucap Ira, suaranya keras, penuh tekad. “Kita bantu kamu urus perceraian. Kita lawan dia. Kamu nggak sendiri, Laras.”
Air mata Laras jatuh tanpa bisa ditahan, membasahi bahu Ira. Tapi kali ini, bukan karena ketakutan.
Melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya... ada yang berdiri membelanya.
"Mungkin... kali ini aku bisa bernapas," batinnya lirih. "Mungkin... hidupku belum sepenuhnya hancur."
Ira masih memeluk Laras erat. Arka kini duduk di sisi lain sofa, menatapnya dengan pandangan tenang namun teguh.
“Laras,” suara Arka rendah dan mantap. “Kamu nggak sendiri lagi.”
Ira mengangguk. “Kita punya kenalan pengacara. Kita jaga kamu.”
Laras menatap keduanya, matanya sembab, tapi ada cahaya kecil yang mulai menyala di sana.
"Apa ini... rasanya dipercaya? Dilindungi?"
Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini... terasa hangat.
“Aku... nggak tahu harus bilang apa...” bisiknya.
“Mulailah dari satu hal,” ujar Arka. “Percaya. Bahwa kamu pantas bahagia. Dan kamu nggak salah.”
Laras memejamkan mata. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia ingin percaya.
***
Malam merambat turun. Hujan telah reda, namun dinginnya masih menyusup ke tulang. Rumah Arka berdiri angkuh di tengah pekarangan luas, sebagian diterangi cahaya lampu dinding yang temaram, sebagian lagi larut dalam gelap yang nyaris pekat.
Dua pria berjaket hitam berjongkok di balik semak pagar besi. Napas mereka memburu, jari-jari menggenggam erat kamera kecil dengan fitur night vision.
“Sial... rumahnya terlalu terbuka,” gumam Doni pelan, memicingkan mata ke arah jendela ruang tamu.
“Cepat jepret. Kita nggak bisa lama-lama di sini,” bisik Wira, gelisah. “Tempat ini... berasa nggak beres.”
Sebelum Doni sempat memencet tombol kamera, suara ranting patah terdengar—pelan, tapi jelas, dari belakang mereka.
Mereka membeku.
Langkah kaki menyusul. Tenang. Mantap. Berat. Seolah milik seseorang yang tak perlu tergesa untuk memburu mangsa—karena dia tahu, mangsanya takkan lolos.
Doni perlahan menoleh. Bayangan sosok tinggi muncul di bawah cahaya lampu teras.
Bukan penghuni biasa. Bukan manusia biasa.
Mata Doni melebar. Napasnya tercekat.
“Itu dia…” desisnya. “Arka…”
Sorot mata pria itu menusuk gelap, menatap lurus ke arah mereka, seolah mampu melihat menembus semak, menembus malam.
“Wira, cabut. Sekarang!” Doni berbisik panik. “Dia... dia Komandan Pasukan Khusus. Kita main api, kita terbakar.”
Tiba-tiba, lampu sorot di sisi rumah menyala, membelah kegelapan seperti pedang cahaya. Menyapu tempat mereka bersembunyi.
Refleks, mereka berguling menjauh, merunduk di balik pagar belakang, napas tertahan, detak jantung menggema di telinga.
“Jangan nyalain lampu belakang. Aku mau jaga gelapnya.”
Suara dari dalam rumah. Dingin. Tegas. Mengiris.
Wira menelan ludah. “Dia tahu…”
Tak ada langkah mendekat. Tak ada tembakan. Tapi tekanan dari suara itu membuat lutut mereka nyaris tak kuat menopang tubuh.
Beberapa menit terasa seperti selamanya sebelum mereka berhasil merangkak kembali ke mobil yang terparkir beberapa blok jauhnya. Begitu mesin menyala, tangan Doni masih bergetar.
Di dalam mobil, Doni menghubungi seseorang. “Tuan... misi gagal.”
Suara Edward terdengar datar namun mengandung bara: “Kenapa?”
Doni menarik napas, mencoba menenangkan suara. “Kami menyusup ke area rumah... tapi target bukan orang biasa. Arka... dia Komandan Pasukan Khusus. Masih aktif. Jika kita sentuh dia, ini... bukan cuma misi gagal. Ini bisa berubah jadi perang.”
Hening. Sunyi yang lebih menegangkan daripada teriakan.
Kemudian, suara Edward terdengar, pelan, tapi sarat dengan kemarahan yang ditekan:
“Beritahu semua orang. Jangan dekati rumah itu lagi. Awasi dari jauh. Jangan sentuh Laras. Belum sekarang.”
Doni mengangguk, walau tahu Edward tak bisa melihatnya. “Baik, Tuan.”
Begitu sambungan terputus, ia menyandarkan tubuh dengan napas memburu.
“Kita hampir mati tadi,” gumam Wira, masih pucat.
Doni mengangguk. “Dan dia bahkan belum angkat senjata. Tapi auranya… bikin napas gue sesak.”
Di sisi lain kota, Edward mencengkeram ponselnya erat. Rahangnya mengeras.
“Dia menemukan tempat perlindungan...” desisnya penuh kebencian. “Tempat yang terlalu kokoh…”
Dengan satu gerakan penuh amarah, Edward melempar ponsel ke dinding.
Layar pecah. Baterai terlempar. Plastik berhamburan.
Matanya menyala seperti binatang terpojok.
“Damn you, Arka!”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
pantesan dicari sampe lubang semut gk ketemu ternyata ganti identitas🤔
selidiki dulu siapa Laras sebenarnya jangan kamu membenci tanpa mengenalnya,Laras itu baik sudah rela berkorban demi anakmu waktu koma, seharusnya kamu membalas semua kebaikannya bukan malah membencinya
Sherin, darma & istrinya semoga dapat ganjaran setimpal.