Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
...***...
Di dalam sebuah kamar di lantai dua mansion, Bastian dan Safira saling menatap dan melemparkan senyum memuja. Keduanya lantas berpelukan dengan erat, meluapkan kebahagian yang beberapa saat lalu, mereka telah mereguk manisnya madu cinta menyalurkan gelora asmara yang terpendam di dada.
Keduanya bahkan tidak menyadari bahwa keributan akan terjadi di dalam mansion setelah mereka turun nanti.
"Ayo, kita mandi. Setelah itu kita makan, kasihan bayi kita jika kamu terlambat makan. Karena kalian membutuhkan nutrisi yang bergizi," ajak Bastian.
Ia lalu turun dari tempat tidur dan memakai boxernya. Sesaat kemudian dengan gerakan cepat ia langsung membopong tubuh Safira dan membawanya ke kamar mandi.
"Aaahhh...Tuan!" Safira memekik kecil, lantas mengeratkan pelukannya pada leher Bastian dengan malu-malu.
Di dalam kamar mandi Bastian menurunkan tubuh Safira ke dalam bath-up, lalu mengisinya dengan air hangat dan meneteskan sedikit sabun cair serta aroma terapi.
Perlahan Bastian menggosok tubuh Safira dengan lembut dan hati-hati, seolah Safira adalah barang antik yang sangat berharga.
"Tuan, saya bisa mandi sendiri," ucap Safira tersipu malu. Andai ia bisa melihat wajahnya sendiri, pasti saat ini wajahnya sudah merona kemerahan antara malu dan entahlah dia sendiri tidak tahu harus men-diskripsi-kannya seperti apa.
Safira tidak pernah menduga bahwasannya, Bastian akan memperlakukannya sedemikian istimewa. Sungguh dirinya merasa beruntung dan tersanjung. Andai saja... Bolehkah dirinya bersikap egois?
"Tidak...! Kamu hanya menjadi pemiliknya untuk sementara, Fira!"
Safira menekan bibirnya kuat-kuat seraya menarik napas berat. Seberat beban derita yang selalu dia terima dari wanita yang berjuluk ibu mertuanya.
"Tidak...! Aku tidak boleh lemah. Apapun yang terjadi nanti, yang terpenting adalah sekarang. Selagi aku masih menjadi istri Tuan Bastian, maka aku akan berbakti padanya dan menggunakan fasilitas yang ada," pikir Safira.
"Anakku tidak boleh menderita, dia harus mendapatkan yang terbaik dari kedua orangtuanya," tekad Safira.
Kini keduanya telah selesai mandi, dan Bastian dengan telaten memakaikan pakaian yang nyaman untuk Safira, bahkan menyisir dan mengeringkan rambut pun ia lakukan. Bastian benar-benar totalitas memanjakan Safira, membuat wanita itu merasa dadanya berdebar kencang merasakan kebahagiaan yang membuncah.
"Terimakasih, Tuan." Safira memberanikan diri mendaratkan ciuman kecil pada pipi Bastian dan disambut dengan senyuman menawan oleh Bastian.
"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, karena kamu mau menerimaku dan membuka hatimu untukku. Terimakasih, Cinta..." Bastian lalu membalas Safira dengan menyematkan tanda cintanya pada seluruh wajah istrinya, tanpa seinci pun terlewatkan.
Bastian merasakan hatinya dipenuhi bunga-bunga cinta yang membara memenuhi seluruh aliran darahnya. Sungguh dia sangat bahagia Safira menyambut cintanya dan itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Safira tersipu malu dan tersenyum tipis...dan hal itu sangat disukai Bastian, karena menurutnya Safira sangat manis jika menunjukkan senyuman tersebut.
"Ayo, kita ke bawah. Pasti Mbok Rum sudah memasakkan makanan yang enak dan bergizi untuk kita." Bastian mengulurkan tangan agar Safira menyambutnya.
Seolah sudah paham kemauan Bastian, Safira segera meraih tangan kekar suaminya dan mereka segera turun ke bawah.
***
Nyonya Hanum duduk dan bersandar di sofa, sambil menyelonjorkan kakinya yang terasa nyeri karena keseleo akibat tergelincir di tangga.
Mbok Rum memijitnya dengan pelan dan lembut, agar tidak menyakiti majikannya tersebut. Namun tetap saja terasa ngilu, hingga Nyonya Hanum mendesis lirih, sambil menahan rasa sakit.
Bukan rasa sakit saja yang beliau rasakan saat ini, tetapi lebih pada dendamnya yang semakin tak terkendali pada Safira. Entahlah, punya kesalahan apa di masa lalu, sehingga Nyonya Hanum begitu membencinya.
Sesampai di bawah, Bastian masih tak melepaskan tangannya dan tetap menggandeng tangan Safira dengan erat, seakan takut terlepas. Keduanya melangkah menuju meja makan tanpa menoleh ke arah yang lain, yang mana sepasang mata tengah menatapnya dengan tatapan menghunus bagai belati tajam.
Sepasang mata itu adalah milik Nyonya Hanum yang melihatnya dengan amarah yang mendidih mengaliri pembuluh darahnya. Dan tanpa terduga wanita paruh baya itu berjalan dengan cepat seolah melupakan kakinya yang terkilir beberapa saat lalu, kemudian mendorong tubuh Safira dengan kuat, hingga membuat Safira terhuyung ke depan dan pegangan tangannya terlepas.
Bastian yang menyadari itu segera meraih tangan Safira kembali dan menariknya, sehingga kini Safira berada dalam dekapan erat sang suami.
Jika sedikit saja Bastian terlambat menolongnya, entah apa yang akan terjadi dengan Safira. Mungkin kepalanya yang terbentur meja atau perutnya yang mencium lantai. Membayangkannya saja Safira merasa ngeri. Ia menangis tergugu dan membenamkan wajahnya pada dada bidang Bastian.
Bastian berusaha menenangkan Safira, mengusap lembut punggung wanitanya. " It's oke... Kamu aman sekarang, kamu tenang, ya. Aku pasti akan selalu melindungimu, percayalah!" Bastian terus membisikkan kata penenang sambil mengelus punggung Safira.
Sementara Nyonya Hanum yang tak terima usahanya mencelakai Safira tidak berhasil, kini menyilangkan kedua tangannya di dada tanpa rasa bersalah. Pandangan matanya melotot tajam ke arah pasangan yang tengah berpelukan di depannya.
"Bagus ya, Bastian! Mami terjatuh dari tangga dan berteriak minta tolong, sampai tenggorokan mami terasa kering, jangankan batang hidungmu nampak, menjawab pun kamu tidak!" sarkas Nyonya Hanum.
"Dan sekarang baru aku mendorongnya sedikit saja, kamu langsung menolongnya! Apakah mami ini sudah tidak penting bagimu...hahhh!" hardiknya.
Bastian terkesiap mendengar suara maminya dan menolehkan wajahnya ke arah Nyonya Hanum. Ia sungguh tidak percaya maminya benar-benar tega, dengan sengaja ingin mencelakai Safira.
"Oooh, jadi ini ulah, Mami? Sungguh keterlaluan dan sangat tidak berperikemanusian sikap Mami! Padahal Mami tahu Safira sedang hamil---"
"Mami tidak peduli, dia sedang hamil atau tidak, karena mami tidak sudi memiliki cucu yang lahir dari rahim wanita kampung yang miskin ini...cuiiihhh" Nyonya Hanum membuang ludahnya tepat di hadapan Safira.
Plaaakkk...
Semua terdiam menyaksikan apa yang baru saja terjadi, dan sontak membelalakkan mata seraya menutup mulut mereka yang tak sengaja ikut menganga...
***
Bersambung
Istirahat, tarik nafas...keluarkan