Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawa Nadya
Rian keluar dari mobilnya setelah memarkir di halaman Kantor Kelurahan Mekar Sari. Pagi tadi Riski mengeluh bahwa ban motornya bocor, membuat kedua adiknya terlambat bersiap ke sekolah. Awalnya mereka berniat meminjam motor Rian, dan Rian yang membawa mobil. Tapi langsung ditolak mentah-mentah oleh pria itu.
“Motor Mas ini baru, ya. Nggak boleh kamu pakai. Kamu kalau bawa motor suka ngegas, nggak bisa pakai perasaan. Lihat motor kamu, baru dua tahun udah kayak umur lima tahun. Udah, naik mobil semua. Mas yang antar.”
Ketika raja sudah mengeluarkan titah, rakyat jelata tentu tak bisa membantah. Ibu suri pun hanya bisa diam tanpa membela.
“Nasib… nasib…” gumam Riski putus asa. Sedang Riska — kembarannya — hanya tertawa melihat keputusasaan kembarannya itu.
Kembali ke Rian, pria itu berjalan tegap dan gagah menuju pintu kantor yang sudah terbuka. Belum sepenuhnya masuk, samar-samar ia mendengar suara Adam dan Nina saling bersahut, terdengar cukup riuh.
“Ada apa? Dari tadi kalian heboh banget,” tanyanya begitu ia masuk.
Keduanya langsung terperanjat, seperti tidak menyadari kedatangannya.
“Eh… Pak Lurah!” seru Nina.
“Lagi ngomongin apaan? Suaranya sampai keluar,” keluh Rian.
“I—ini, Pak,” ucap Nina gugup. “Coba Pak Lurah lihat ini.”
Ia menyodorkan ponselnya. Rian menerimanya dengan kening berkerut, lalu membeku begitu melihat foto di layar. Nadya berdiri tepat di depan pintu ruangan praktik Jelita.
Wajah Rian mengeras. Rahangnya menegang.
“Ini kapan?” tanyanya dengan suara rendah yang sulit menahan emosi.
“Baru dikirim teman saya lima menit lalu, Pak,” jawab Nina cepat.
Rian menelan napas pendek. “Dam…” Ia menatap Adam. “Pinjam motor kamu.”
Tanpa protes, Adam langsung memberikan kunci motor kepadanya. Rian mengembalikan ponsel Nina, kemudian melangkah cepat menuju pintu.
“Saya titip kantor sebentar,” ucapnya sambil bergegas keluar.
Adam dan Nina hanya bisa saling pandang. Mereka tahu betul kemana atasan mereka pergi.
“Semoga nggak terjadi apa-apa,” bisik Nina.
“Amin…” sahut Adam dengan napas berat.
*
*
*
Begitu keluar halaman kantor, Rian langsung menghidupkan motor Adam. Gas ia tarik dalam sekali. Motor melesat seperti anak panah.
Biasanya perjalanan ke rumah sakit memakan waktu dua puluh menit. Namun hari ini hanya sepuluh menit. Rian menerobos jalanan dengan lihai, memilih jalan tikus sempit yang hanya muat dua motor bersisian, melewati gang belakang kantor pertanahan, menembus jalur kecil menuju area pasar, lalu memotong jalan perumahan.
Tangan Rian mencengkeram setang erat-erat. Pikiran hanya satu, Jelita.
Begitu mendekati rumah sakit, ia bahkan tidak memutar ke parkiran resmi. Ia langsung membelok ke sisi belakang gedung, ke area parkiran liar tempat para ojek online biasa menunggu.
Motor Adam berhenti mendadak. Rian turun cepat, mengunci motor seadanya, lalu segera berlari menuju pintu belakang rumah sakit, nafasnya kasar, dadanya juga naik-turun.
Ia hanya berharap satu hal, jangan sampai terlambat.
Ia berlari sekuat tenaga, menyusuri lorong demi lorong. Rian tentu saja menjadi perhatian orang banyak. Seorang pria yang memakai seragam khaki khas ASN, berlari tergesa-gesa.
Tiba di depan ruang praktik Jelita, Rian langsung menoleh ke kanan dan kiri. Nadya sudah tidak terlihat di sana seperti foto yang ia lihat tadi. Yang ada hanyalah seorang perempuan muda yang sepertinya adalah petugas admin ruangan yang duduk dengan wajah panik.
“Mereka di dalam, Pak,” ucap gadis itu cepat, seolah tahu tujuan Rian datang dengan nafas terengah dan raut penuh amarah itu.
Tanpa menunggu sedetik pun, Rian langsung mendorong pintu ruang Jelita. Pintu itu terbuka dengan kasar, membuat dua wanita di dalam ruangan itu sontak terkejut.
“Ngapain kamu di sini?” suara Rian keluar pelan, namun nada dan getaran amarahnya jelas. Dada pria itu masih naik turun, nafasnya belum stabil.
“Ma—Mas…” Nadya memanggil dengan suara tergagap, tubuhnya menegang.
“Saya tanya, ngapain kamu di sini, Nadya?” ulang Rian, lebih keras, suaranya menekan setiap suku kata. Nadya mundur setengah langkah, wajahnya memucat.
“A—ak… aku cuma—”
“Mohon kalian berdua keluar dari ruangan saya.” Suara Jelita memotong, dingin dan tegas. Tidak meninggi, namun cukup untuk mengguncang suasana. Ia berdiri tegak di balik mejanya, lirikan matanya tajam meski wajahnya tetap datar.
“Jelita…” panggil Rian, langsung melunak. Nada lembutnya jauh berbeda dibandingkan saat ia bicara pada Nadya. Nadya melihat perubahan itu dan hatinya langsung mencelos, merasa terinjak.
Jelita tidak menggubris nada lembut itu. “Silahkan selesaikan masalah kalian berdua di luar. Jangan seret-seret nama saya. Saya tidak tahu apa pun tentang urusan kalian. Sudah cukup, ini terakhir kalinya saya menjadi gunjingan orang gara-gara kalian!”
Nadya spontan bersuara, “Mbak, aku cuma minta mbak—”
“Tutup mulut kamu, Nadya!” bentak Rian tiba-tiba. Wanita itu langsung terdiam membeku. “Kamu sudah terlalu jauh.”
Rian melangkah mendekat, rahangnya mengeras. Ia menggenggam pergelangan tangan Nadya dengan tegas, tidak kasar, tapi cukup kuat untuk menunjukkan ia tidak main-main.
“Ayo, keluar,” ucapnya dingin.
“Ma—Mas! Mas sakit, Mas!” Nadya meronta kecil, namun Rian tidak menggubris.
Pria itu menariknya keluar ruangan. Suara langkah Nadya yang terseok terdengar jelas di lorong.
Jelita berdiri diam di tempat, matanya mengikuti punggung Rian yang semakin menjauh sambil menyeret Nadya keluar dari ruangannya. Bukan karena peduli, tapi karena rasa muak yang sudah mencapai batas.
Begitu pintu tertutup lagi, ruangan itu kembali hening. Hanya tersisa Jelita yang menghembuskan napas lama, mencoba meredakan emosi yang sejak tadi ia tekan.
Ia tahu, setelah ini akan ada gosip baru yang akan menimpa dirinya, dan… dirinya harus semakin menyiapkan diri.
“Kenapa pindah ke sini malah makin bikin pusing, sih,” keluhnya.
Dadanya yang terasa sesak tadi seakan ingin tumpah bersamaan dengan air mata yang menggantung. Ia ambil ponsel miliknya, memilih sebuah kontak yang selama ini menjadi tempat dirinya mencurahkan keluh kesahnya.
“Mama…”
*****
Awas, Jelita udah mau manggil mamanya. Hati-hati kalian, ya Rian Nadya. Siap siap ada yang ngamook anak gadisnya disenggol terus. 🤭🤭
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂