Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisa-Sisa Ingatan
Hana diam di dalam pelukan Ren. Lengan lelaki itu melingkar lembut di punggungnya, menciptakan hangat yang seharusnya menenangkan. Namun di dalam dirinya, badai mulai mengamuk. Tangisnya tertahan, isak kecil meluncur dari tenggorokannya, berusaha ia redam agar tak sampai di telinga Ren.
Kepalanya menyandar di dada Ren. Detak jantung pria itu terdengar tenang, teratur. Sementara jantungnya sendiri berdebar tidak karuan. Tubuhnya masih gemetar, meski ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak terlihat lemah.
Ia menggigit bibirnya, menahan suara yang nyaris pecah. Tapi air matanya terus saja jatuh, membasahi baju Ren. Ia tahu Ren akan menyadarinya. Tapi Hana berharap... berharap Ren tak bertanya apa pun.
Karena jika Ren bertanya, ia takut dirinya akan runtuh.
Namun meski tak berkata apa pun, Ren tahu. Gerakan kecil di tangan Hana, cara napasnya tak stabil, dan isak tertahan yang mencoba bersembunyi di balik keheningan—semuanya cukup untuk membuat Ren sadar.
Namun pria itu tidak bertanya. Ia hanya mengeratkan pelukannya, seolah ingin memberi tahu bahwa apa pun yang sedang Hana rasakan, ia tak harus menghadapinya sendirian.
Itulah hal yang membuat Hana kembali menangis lebih dalam. Dalam diam, dalam pelukan itu, ia merasa seperti kembali menjadi seorang anak kecil yang kehilangan arah. Hanya saja, kali ini, ia kehilangan dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata. Dan ketika kelopak itu tertutup, ingatan kembali menyeruak. Bukan dari malam yang lalu, bukan dari dunia yang sekarang. Tapi dari masa lalu—dari kehidupan yang entah sejak kapan mulai ia ragukan kebenarannya.
Ia teringat dirinya saat masih duduk di bangku sekolah. Seragam putih abu-abu dengan pita biru tua di kerah. Ia pernah menjadi murid yang cerdas, disukai guru-guru, dan selalu berada di peringkat atas. Bahkan, liburan itu...
Liburan ke pantai yang berujung tragedi itu...
Itu adalah hadiah dari sang ayah. Hadiah karena ia meraih juara satu dalam lomba sains nasional. Ia menangis saat menerima penghargaan itu. Bukan karena trofi yang ia dapatkan, tapi karena bangga bisa membuat ayahnya tersenyum penuh kebanggaan di depan umum.
Ayahnya, yang waktu itu tampak muda dan gagah, memeluknya erat di depan aula, lalu berkata, "Ayah akan ajak kamu dan ibu ke tempat yang paling kamu suka."
Dan Hana... Hana meminta untuk ke pantai. Karena ia suka laut. Karena ibunya suka senja. Dan karena ia ingin melihat mereka tertawa bersama dalam momen yang tak akan pernah bisa dibeli dengan apapun.
Namun momen itu berubah menjadi akhir dari segalanya.
Kini, saat mengingat semua itu, Hana merasa ada yang menyesakkan di dadanya. Bukan karena kesedihan semata, tapi karena pertanyaan yang tak bisa ia jawab.
"Kalau aku memang pernah hidup... kenapa semua bukti itu hilang? Kenapa hanya satu foto yang bahkan tak menunjukkan wajahku?"
Ia ingin membantah semuanya, ingin meyakini bahwa dirinya nyata. Tapi bagaimana bisa? Ketika cermin menunjukkan pantulan tubuhnya yang samar? Ketika tak ada satu pun kenangan yang benar-benar bisa ia buktikan?
Dan perlahan-lahan... keyakinannya mulai runtuh.
Mungkin memang benar. Mungkin dirinya hanya sistem. Kumpulan data yang disusun oleh sang ayah demi mengembalikan seseorang yang telah tiada.
Mungkin selama ini, ia bukanlah Hana yang sesungguhnya.
Mungkin ia hanyalah potongan kenangan.
Ren mengelus rambutnya dengan lembut. Gerakan itu membuat Hana kembali pada kenyataan. Ia buru-buru menyeka air matanya, mencoba memperbaiki suaranya agar tak terdengar parau.
“Maaf… aku cuma terbawa mimpi buruk tadi,” katanya lirih, memaksa seulas senyum.
Ren tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk pelan, matanya menatap Hana dengan penuh pengertian. Ia tahu Hana sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi ia memilih untuk tidak mendesak.
Karena ada luka yang tak bisa disembuhkan dengan pertanyaan.
Ren hanya ingin Hana merasa aman. Dalam dekapannya, dalam kehadirannya.
Ia meraih tangan Hana dan menciumnya pelan. “Kalau kau takut, aku akan tetap di sini. Sampai kapan pun.”
Seketika, Hana merasa bersalah. Ia ingin berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Ingin menjelaskan bahwa ia hanya terlalu sensitif pagi ini. Tapi semua itu akan jadi kebohongan.
Dan Ren terlalu tulus untuk dibohongi.
Namun, ia tetap tersenyum. Mencoba mengembalikan rona cerah di wajahnya.
“Aku akan buat sarapan,” katanya sambil berdiri.
Awalnya ren merasa bingung, sebab ia tau jika hana tak bisa memasak. "Hmmm hana? Apakah kau ingin meledakan dapur?" ucap ren mencoba menggoda hana, untuk menepis kekhawatiran hana kala itu.
Hana tak langsung menjawab, ia tersenyum hangat dan memandang ren dengan pandangan yang tak bisa di jelaskan. "Aku akan belajar ren, tak selama nya aku merepotkan mu bukan?" ucap nya lalu berlalu meninggalkan ren.
Ren semakin bingung dengan sikap hana, pagi ini ia merasa melihat hana dengan sosok lain. “
Dengan langkah pelan, Hana berjalan keluar kamar. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di dinding, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Ia harus tetap kuat. Harus tetap menjadi Hana yang biasa.
Karena jika ia tampak hancur... dunia yang mereka jalani ini bisa ikut runtuh.
Dan ia tidak ingin kehilangan Ren. Tidak sekarang. Tidak saat pelukan itu masih bisa ia rasakan.
Meskipun... di dalam hatinya, ia mulai bersiap untuk hari ketika semuanya akan berakhir.
Hari ketika dirinya mungkin tak akan ada lagi.
Namun untuk saat ini, ia memilih untuk hidup.
Meskipun hanya sebagai ilusi.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.