NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 23 - Perbedaan Sikap

Aku dengan perasaan setengah ragu, memutuskan untuk mengontak Dipta menggunakan akun mendiang Soraya. Aku tahu, itu pasti mengejutkan untuknya—barangkali dia berpikir: bagaimana mungkin seseorang yang telah mati bangkit kembali untuk mengirimi pesan?

Dan demi menghindari asumsi demikian, aku langsung mengatakan secara tepat apa maksud dan tujuanku. Setelahnya, aku berpindah pada folder lain. Pada beberapa catatan acak yang memungkinkan aku bisa menemukan petunjuk lain.

Sambil membaca tulisan itu, aku sesekali memijat pelipis yang terasa berdenyut. “Mengapa dia harus selalu menuliskan nama seseorang dengan sebuah inisial?”

Dua inisial D & A yang masih belum tahu pasti siapa itu. Tetapi jika aku teliti lebih jauh, tulisan itu terbagi pada dua kubu: senang dan sedih, tapi paling dominan oleh perasaan sedih.

Punggungku bersandar ke belakang, mencoba menerka, “Bagaimana jika seandainya perasaan senang itu ditujukan untuk Dipta dan bagian sedihnya untuk Darius?”

Itu cukup masuk akal. Terlebih sekarang ini aku tahu—ketika sudah menjalani peran Soraya, hubungannya dengan Darius terbilang cukup buruk.

Aku kembali membuka buku usang yang tak kalah menyimpan beberapa petunjuk. Tanganku langsung membuka halaman-halaman terakhir, merujuk pada beberapa tempat yang dikunjungi oleh Soraya sebelum mengalami tragedi kecelakaan.

“27 Januari – Toko Buku L – D, bicara soal keputusan besar.”

Benar, aku akan mengunjungi toko buku yang dimaksud. Berhubung aku belum tahu persisnya di mana lokasi Toko Buku tersebut, mataku dengan sigap meluncur ke akun milik Dipta. Mencari satu per satu foto yang merujuk pada hal yang aku cari.

Ketemu! Yap, kurang dari sepuluh menit aku berhasil menemukannya. Untunglah Dipta si pria misterius itu sering mengabadikan momen, bahkan menambahkan tag lokasi dalam foto tersebut.

Tentu sekarang aku sudah menggenggam lokasi dari Toko Buku itu: Toko Buku Laguna yang tenyata lokasinya cukup jauh dari pusat kota, kemungkinan besok baru bisa aku melakukan investigasi ke sana.

Menatap arloji, sudah hampir tengah hari. Aku tidak bisa berdiam lama di sini, mengingat Darius pasti butuh sesuatu atau bahkan hari ini ada jadwal dia melakukan terapi.

***

Aku tiba di apartemen sambil membawa beberapa kantong belanjaan, sebelumnya mampir sebentar ke minimarket untuk mengisi persediaan makanan. Tanpa mengatakan apa-apa, aku melewati Darius yang tampak fokus dengan laptop, tapi dia sempat memindai kehadiranku dengan lirikan matanya.

Di dapur, aku mulai menata bahan makanan. Sedikit sibuk, mengejar waktu sebelum jam makan siang. Dan ketika aku berbalik untuk mengambil kantong belanjaan lain, tiba-tiba saja tanpa kusadari Darius sudah dibelakangku.

Dia tampak kaget, bingung atau? Entahlah, dia berdiri terlihat ragu.

“Mau mengambil apa?” tanyaku kemudian.

“A-aku bantu ... ya,” katanya pelan, namun aku masih bisa mendengarnya.

“Bantu apa?” Keningku mengerut, tidak biasanya Darius seperti ini.

Dia tidak menjawab, tetapi dagu dan telunjuknya bergerak. Mengarahkan pada sesuatu, lemari pendingin di belakangku.

Aku mengangkat bahu. “Terserah kalau kamu tidak keberatan. Tapi memangnya kamu tidak pusing, Mas? Terus tidak sibuk juga?”

Darius menggeleng pelan. “Aku bosan jika diam terus. Sesekali aku ingin ikut bergabung, setidaknya bantu menyusun bahan masakan ini ke dalam kulkas.”

Mendengarnya aku pun angguk-angguk, membiarkan Darius berkutat di depan lemari pendingin. Aku hampir tertawa kecil melihatnya yang tampak kebingungan sendiri.

Seolah urusan menata bawang bombay dan susu kotak adalah sesuatu yang harus diperhitungkan dengan serius. Lihatlah, gelagatnya itu mencerminkan dengan jelas bahwa selama ini dia tak pernah terjun untuk melakukan hal-hal seperti itu.

“Ini masuk freezer. Yang itu di rak atas, dekat bumbu,” kataku sambil menyerahkan satu kantong belanjaan lain padanya.

Darius mengangguk—terlalu cepat, terlalu canggung. Persis seperti bocah kecil yang baru belajar sesuatu untuk pertama kali. Untuk sejenak, aku melupakan sosoknya yang menyebalkan dan menakutkan dalam satu waktu.

Selama beberapa menit, kami bekerja berdua dalam keheningan. Tidak ada percakapan berarti, hanya suara plastik berkeresek dan pintu kulkas yang berderit ringan juga beberapa berabotan dapur yang berbenturan saat kupakai saat memasak.

“Apa sudah matang?” tanya Darius sambil mengusap peluh.

Bayangkan, dua menu yang kumasak siang ini—tumis capcay dan sambal udang setara dengan waktu yang Darius habiskan untuk memasukan dua kantong belanjaan ke dalam lemari pendingin.

Itu agak lucu. Terlebih ketika melihat dia yang banjir keringat, padahal sejak tadi dia berdiri di depan kulkas yang terbuka.

“Sudah. Kamu mau makan sekarang, Mas?”

Darius langsung manggut-manggut dengan semangat. Dia bahkan sudah mengambil posisi duduk, menggeser kursi setelah mengambil piring beserta sendok.

“Sambal udang nya tidak pedas. Jadi kamu bisa memakannya, Mas,” kataku memberitahu—teringat kemarin dia yang bolak-balik kamar mandi setelah menyantap masakan pedas yang kubuat.

“Sebenarnya masakanmu kemarin enak, tapi terlalu pedas,” katanya sambil menyendok makanan dengan lahap.

Aku melenguh. “Huh, salahmu sendiri yang bilang sudah makan. Sengaja aku memasak yang pedas karena untuk kumakan sendiri.”

“Sudah makan bukan berarti tidak akan makan lagi. Karena semenjak kamu rajin memasak, aku kan tidak pernah makan di luar,” katanya membela diri.

Setelahnya kami tidak intens terlibat dalam percakapan. Hanya sesekali suara denting sendok yang beradu, ataupun kadang-kadang tangan kami yang bersentuhan saat mengambil sesuatu dari meja.

Tanpa aku sadari beberapa kali aku mendapati Darius yang memerhatikanku diam-diam, lalu cepat-cepat menunduk saat mataku menangkap pandangannya.

“Kenapa, sih, Mas? Ada yang salah sama mukaku?” tanyaku sedikit penasaran.

Darius menggeleng cepat, dia menunduk dan melahap makanannya sedikit terburu-buru.

“Kamu menatapku seakan-akan hidungku bergeser atau mataku berpindah tempat. Atau kamu baru menyadari bahwa aku ini memiliki kecantikan yang paripurna?” selorohku setengah tertawa kemudian.

Sedetik kemudian Darius terbatuk-batuk, dia tersedak. Buru-buru aku menyerahkan air minum padanya. Padahal yang tadi itu aku hanya becanda, entahlah dia menganggapnya apa.

“Kamu aneh sekali, Mas.” Aku mengerutkan dahi sambil menatapnya yang tiba-tiba saja memilih beranjak pergi tanpa memberikan aba-aba.

Aku hanya bergedik tanpa menahan kepergiannya. Kebetulan juga aku sudah selesai makan, tinggal bersiap untuk beres-beres. Tetapi ketika hendak beringsut dari kursi, tiba-tiba saja Darius yang sudah pergi tadi mendadak muncul lagi.

“Eh, anu ... kamu serius kan nanti mau menemaniku saat menjalani terapi?”

Aku melirik pada Darius yang berdiri didekat dinding, setengah badannya bersembunyi.

“Iya, memangnya kapan jadwal terapimu, Mas?”

“Sore ini. Kamu sedang tidaak punya jadwal lain untuk keluar, kan?”

Aku pikir begitu. Jadi demi menjalankan peran ini dengan baik, sudah sepatutnya aku lebih sering berada di sisi Darius.

“Sebenarnya aku punya beberapa kegiatan dan urusan yang belum selesai, tapi tidak masalah untuk mengundurkan waktunya. Toh, kamu tidak terapi tiap hari kan?”

Darius angguk-angguk, namun sedetik kemudian pandangannya tertunduk. Seperti tiba-tiba teringat sesuatu.

“Kalau mendengar kata Ibu, katanya aku tak perlu lagi melakukan terapi. Toh, kondisiku lumayan membaik. Juga Ibu memberiku beberapa obat sebagai gantinya,” ungkap Darius demikian.

Sambil membawa tumpukan piring kotor ke wastafel, aku menimpali, “Kalau memang tidak usah terapi, mengapa kita repot-repot datang ke sini? Lagi pula kita sudah terlanjur, sayang jika tidak langsung memantau perkembanganmu melalui kacamata dokter.”

“Baiklah, aku ikut katamu saja.”

Derap langkahnya yang bergerak menjauh mengisi gendang telingaku. Nada bicara, gerak-gerik dan cara menatapnya itu benar-benar berbeda. Aku tidak tahu, tapi setidaknya itu tidak membuatku terasa terancam.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!