Bayangkan, kedamaian dalam desa ternyata hanya di muka saja,
puluhan makhluk menyeramkan ternyata sedang menghantui mu.
itulah yang Danu rasakan, seorang laki-laki berusia 12 tahun bersama teman kecilnya yang lembut, Klara.
Dari manakah mereka?
kenapa ada di desa ini?
siapakah yang dapat memberi tahuku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mengare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Danu dan gadis kecil
"Di Kerajaan Eternal Blessing, Hidup legenda kuno tentang empat kesatria legendaris dan 4 monster kuno yang menjadi awal dari bersatunya sebagian besar kerajaan di benua Terra Magna. Ada yang menyebut legenda itu sebagai bencana besar kuno, perang besar kuno, wabah kegelapan, dan pembentukan kembali kekuasaan.
Legenda di awali dengan munculnya empat monster kuno yang membawa petaka, penyakit, kehancuran, dan pembantaian umat manusia.
Banyak cerita yang berbeda tentang mereka, tapi memiliki satu persamaan, pada masa munculnya monster hewan-hewan menjadi gila dan mulai bertransformasi menjadi lebih ganas, muncul wabah penyakit entah dari mana, adanya daerah yang makmur dalam sekejap tapi raib di keesokan hari, dan terbunuhnya keluarga Kerajaan secara misterius.
Di masa yang sulit itu, manusia dipaksa untuk bersatu, menghadapi empat monster kuno dengan segala keterbatasan mereka. Manusia mengalami banyak sekali kerugian, banyak yang kehilangan keluarga, harta, dan tempat tinggal karena perang berkepanjangan hingga perang mencapai puncaknya, yaitu pertarungan sengit antara empat kesatria dan empat monster. Pada akhirnya, monster-monster itu berhasil dikalahkan dan di segel." Cerita seorang kakek tua kepada segerombolan anak kecil yang mengelilinginya.
Seorang gadis kecil yang polos bertanya padanya " kekek~..., di mana tempat 4 monster itu disegel?"
"Hahaha, tidak ada yang tahu pasti, dimana ke 4 monster itu berada karena empat kesatria sendiri lah yang menempatkan 4 segel tersebut. Namun, 4 pahlawan itu sempat memberikan 4 artefak kuno sebelum kepergiannya. Dikatakan bahwa 4 artefak tersebut ditinggalkan untuk berjaga-jaga apabila segel tersebut terlepas." Jawab sang kakek dengan serius.
"Jadi, dimana ke-4 artefak tersebut barada sekarang?" Tanya cucu laki-lakinya yang duduk disampingnya.
"Hmm..., Ke-4 artefak tersebut dijaga oleh keturunan langsung dari 4 kesatria dan hanya beberapa bangsawan tingkat 3 dan tamu kehormatan dari keluarga tersebut yang dapat melihatnya."
"Yah.... Berarti kita tidak bisa dong melihat artefak kuno itu. Kita-kan bukan bangsawan, huhhhh." Keluh Danu, cucunya.
Sang kakek tertawa terkekeh-kekeh. "Tenang saja, selama kalian tumbuh besar dan bermanfaat bagi orang banyak kalian pasti mendapatkan kesempatan untuk melihatnya, jadi kalian tidak boleh nakal dan rukun biar kita bisa lihat artefak itu bersama-sama, ya.."
"Baik kakek." jawab anak-anak serempak.
"Sudah dulu cerita kita untuk hari ini, sana pergi bermain, besok lagi ya ceritanya..." Tutup sang kakek.
Anak-anak mulai membubarkan diri dan pergi bermain dengan teman-teman mereka, kecuali Danu, cucunya, dan seorang gadis kecil berumur 9 tahun yang tampak malu-malu ingin bicara dengan sang kakek.
"Ada apa Klara? Apa ada yang mau kamu tanyakan?" Tanya sang kakek pada gadis kecil itu.
Gadis itu kesusahan untuk bicara pada sang kakek karena terlalu gugup, menundukkan kepala, sering melirik ke sekitar, dan tangannya meremas-remas ujung pakaian yang dikenakan olehnya.
Danu yang melihat Klara cuma diam dan tidak mengatakan apa-apa saat kakeknya bertanya menjadi kesal. Dia berjalan ke hadapan bocah itu dan memarahinya. "Kalau ada orang tua tanya itu jawab jangan diam saja! Kamu harus .. e eh ka-kakek sakit" Danu tak menyelesaikan perkataannya karena telinganya di tarik oleh kakeknya.
"Danu.., kalau tidak boleh begitu, kalau bicara sama perempuan itu yang lembut lalu berikan dia kesempatan untuk bicara, lagian dia udah bicara kalau gak kamu selah tadi!" Omel sang kakek
"Iya-iya kek, Danu faham, Danu minta maaf. Adu duh.." jawab Danu sambil menahan jiwiran sang kakek.
Kakek Surya -nama kakek Danu- melepaskan jiwirannya dan tersenyum lembut pada Klara.
"Nak Klara, maafkan Danu ya.. kalau omongan Danu sering ceplas-ceplos. Jadi, apa yang ingin Nak Klara tanyakan?" Bujuk Kakek Surya
Klara yang sempat terdiam beberapa saat, menatap Danu dengan cemas, dengan gugup dan terbata-bata dia berkata, "ma.. ma.. maaf karena tidak sopan. A a aku akan pergi."
Klara pergi dengan terburu-buru, meninggalkan Danu dan Kekek Surya. Hal ini membuat Kakek Surya menghela nafas panjang, dia menyayangkan sikap Danu yang membuat Klara yang pemalu pergi meninggalkan mereka, walau pada saat dia bercerita Klara-lah yang paling antusias saat mendengarkan dan bertanya.
Danu melihat Klara yang pergi menjauh darinya dengan terburu-buru dengan tatapan meremehkan. Dia melihat Klara hingga punggung dari gadis berambut merah itu tidak terlihat dari pandangan matanya.
....
Pada sore harinya, Danu berjalan di samping lapangan tempat biasa anak-anak desa biasa berkumpul dan bermain. Dia masih kesal dengan Klara karena membuatnya dimarahi oleh kakeknya padahal hanya masalah sepele.
"Haa.. cuma karena gitu aja takut, cih. Pemalu amat sih itu anak." keluh Danu sambil menendang batu yang tak bersalah dan menyilangkan kedua tangannya di belakang kepalanya.
Suasana di sana memang cocok untuk melepas lelah dan kesal. Di sana angin bertiup dengan perlahan, rerumputan akan berdesir saat angin menghembusnya, dan kicauan burung yang terdengar ramai saat mereka berdatangan ke sarangnya di pepohonan sekitar lapangan bermain itu.
Danu terus berjalan santai di bawah cahaya senja yang mulai surup, sebagai tanda akan datangnya malam. Danu menghentikan langkah kakinya dikarenakan adanya suara rintihan dan teriakan disekitarnya.
Danu melihat sekeliling dan berjalan perlahan ke balik sebuah pohon besar, di sana dia melihat Klara yang dijambak oleh seorang gadis seumuran dengannya nya dan dua orang anak laki-laki yang ikut mengganggunya.
Klara menangis sambil menahan jambakan rambut dengan tangannya, dia terus mencoba meronta dengan keadaan tubuh yang lemah. Klara memohon pada anak itu, "Aku mohon lepaskan aku. A-aku tidak bawa uang sekarang. A aku janji akan membawanya besok. A aah, jadi tolong lepas."
"Haa, besok? Memang orang kaya itu sama saja ya. Kamu pikir aku bakal percaya. Dengarkan!" Teriak gadis nakal itu sambil mendekatkan kepala Klara ke arahnya, "Kau tahu, kami sudah berkorban untukmu agar orang asing sepertimu dapat bermain di sini dan kau tinggal bayar saja apa susahnya sih!"
Gadis nakal itu adalah Sofi, dia memiliki wajah yang terlihat polos, tapi memiliki temperamen yang buruk. Dia melanjutkan kata-katanya sambil memperhatikan dengan seksama pakaian yang digunakan Klara, "Mana ada kamu tidak bawa uang, lihat pakaian kamu aja mahal!"
Sofi menjatuhkan Klara ke tanah dan membuat Klara tersungkur hingga mengotori pakaian yang dikenakannya. Klara merintih kesakitan sambil menangis dengan sengal-sengal.
"A.. a aku kan sudah bayar. Hiks hiks, j- jadi .." Klara kesulitan bicara karena menangis dan tak dapat menyelesaikan perkataannya di saat Sofi menarik kera bajunya dengan kasar.
Sofi menatapnya dengan tajam, dia berteriak pada Klara, "jadi apa?! Karena kamu pulang telat ya otomatis biayanya naik dong. Aah masak gitu aja gak tahu"
Danu yang melihat dari balik pohon mulai merasa tidak nyaman dengan kelakuan Sofi yang semena-mena. Dia mengerutkan alisnya dan berjalan ke arah kegaduhan itu.
Di saat Sofi mengintruksikan ke dua temannya untuk pergi dari sana bersamanya, Danu mengejutkan mereka dengan berdiri dengan wajah yang garang.
Sofi melotot ke arah Danu. Keduanya saling menatap satu sama lain untuk menunjukkan dominasi masing-masing.
Sofi menunjukan jarinya ke arah Danu, dia ngomong dengan cetus "Apa lihat-lihat! Mau sok jadi pahlawan! Sana pergi!".
Emosi Danu semakin menggebu-gebu, dia menyeringai dan mengepalkan kedua tangannya, dia menatap Sofi dengan sinis dan berkata "haaa.. kau pikir ini daerah siapa, hee.. berani-beraninya kamu memalak orang tanpa izinku di sini!"
Sofi memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk membereskan Danu. Kedua anak laki-laki itu segera maju menyerang Danu bersama. Danu tidak tinggal diam, dia berlari terlebih dahulu ke arah mereka sebelum sempat bereaksi. Danu menendang perut salah satu mereka, memukul bagian dagu, dan kembali menendang perut bocah itu hingga iya merintih kesakitan. Namun, Danu segera tertangkap oleh anak lain yang menerjangnya dan membuatnya terjatuh, rekan anak itu segera membantu dan memukuli Danu tepat pada wajahnya Danu mencoba melindungi wajahnya dengan kedua tangannya.
Sofi tersenyum puas, dia melihat Danu yang menjadi samsak teman-temannya dalam waktu singkat selama pertarungan. Klara merasa terkejut dan khawatir kepada Danu, walau begitu Klara melihat tidak ada tanda dari Danu kalau dia akan menyerah dan justru memperlihatkan ekspresi penuh semangat dan penuh emosi.
Danu menahan setiap serangan yang diterimanya sambil menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik. Dia selalu mengingatkan dirinya sendiri "tunggu saat yang tepat, sebentar lagi, sebentar lagi. Rasa sakit ini akan aku balas berkali-kali lipat.'
Danu menerima beberapa pukulan di wajah, tendangan di pinggangnya, dan leher yang dicekik oleh lawannya. Di saat kedua orang itu beranjak berdiri dan menganggapnya telah berakhir, Danu segera menarik salah seorang dari mereka dan menjatuhkannya dangan keras dia tertawa dan mengejek anak itu "hahaha... Kamu pikir semua pukulanmu tadi sakit he.. rasakan pukulan ku ini."
Danu memukul anak itu tepat dibagian wajahnya dan mulai terjadi perkelahian yang intens di antara mereka. Danu beranggapan bahwa pertarungan antar anak-anak seperti mereka itu bukan hanya soal seberapa kuat serangan mereka tapi juga soal seberapa bisa mereka bertahan. Itulah yang Danu percaya. Hal itulah yang membuat Danu bertarung dengan brutal dan menjadi-jadi. Danu terus terjatuh dan bangun beberapa saat berikutnya. Kedua anak itu mulai ragu apakah mereka bisa menang melawan Danu yang telah jatuh berkali-kali. Mereka bisa merasakan detak jantung mereka yang berdetak kencang terutama saat mereka melihat ke mata Danu yang tidak menunjukkan tanda akan menyerah walau mereka telah berkali menghajarnya, tapi pertarungan perlahan dipimpin oleh Danu yang mulai menyesuaikan diri, menghindar, dan menyerang balik mereka.
Tapi, apakah Danu benar-benar baik-baik saja? Nyatanya, tanpa Danu sadari, tubuh Danu telah mengeluarkan banyak keringat, tangannya sudah bergetar pada pertengahan pertarungan, nafasnya juga mulai tidak teratur, meski Danu tidak menyadarinya.
Danu berdiri dengan tenaga terakhirnya, beberapa bagian pakaiannya telah sobek dan memperlihatkan beberapa luka lembab dan goresan pada kulitnya, sementara ke-dua lawannya tidak jauh berbeda darinya.
Danu melihat dengan seksama kedua lawannya, dia ingin segera mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Dia menelan luda karena tenggorokannya terasa kering, setelah itu dia tersenyum dan mulai tertawa bengis setelah menyadari kalau musuhnya sudah terlihat kelelahan. hal ini menimbulkan kengerian di hati lawannya, termasuk Sofi yang terlihat cemas dari tadi.
"He hehe hahaha. Hai kalian! Siapa nama kalian?" Tanya Danu dengan garang.
Ke dua anak yang dilawannya saling menatap satu sama lain, mereka merasa heran mengapa Danu tiba-tiba bertanya nama mereka.
"Na-nama?" Tanya salah daru mereka dengan ragu.
"Ya. Nama kalian."
"Aku Sabda dan dia Rantas" jawab salah seorang dari mereka dengan nafas yang tersengal-sengal.
Sebenarnya mereka memiliki ciri-ciri tubuh yang mirip, keduanya kurus, berambut hitam, dan berkulit sawo matang. Namun, yang membedakan mereka berdua adalah wajah Sabda yang oval sedangkan Rantas memiliki wajah yang bundar.
Danu melebarkan senyumannya dan seru pada mereka berdua,"Bagaimana kalau kita akhiri sampai di sini? Saat ini hari telah petang jadi orang tua kita pasti sudah mulai mencari. Kalian tidak ingin dihukum kan?"
Namun, nyatanya mereka berdua tampak tidak begitu mempedulikan dan segera bergerak setelah saling pandang sesaat. Meraka maju bersamaan, melancarkan pukulan pada Danu tapi Danu dengan sigap menangkap tangan Sabda, memberikan pukulan balik yang sangat keras pada rahang kanannya, dan membantingnya ke Rantas. Mereka berdua terjatuh, Danu mengangkat kera baju Rantas yang mencoba bangkit, menendang perutnya dengan lutut hingga Rantas tidak dapat menahan diri untuk menggerutu kesakitan, dia memberikan tatapan tajam pada Sabda dan Sofi. "Pergilah selagi aku memberikan kesempatan!!" perintah Danu dengan geram.
Sofi menunjukkan ekspresi tidak percaya, dia kesal karena Danu seorang diri dapat mengalahkan kedua temannya. Setelah berdecak, Sofi mengisyaratkan kepada Sabda dan Rantas untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Klara termenung sambil memperhatikan Danu yang berdiri dengan berani mengalahkan kedua anak yang mengganggunya. Klara mendekat pada Danu perlahan, tatapan matanya kikuk, dia mengucapkan terima kasih dengan wajah yang polos kepada Danu, tapi Danu cuma diam saja dan melangkah pergi dari sana. Klara terus memperhatikan Danu hingga punggungnya tidak terlihat dari pandangannya.
"Klara!" Teriak seorang laki-laki paru baya dari kejauhan.
Klara menoleh ke arah suara tersebut, dia segera dihampiri oleh orang tersebut yang merupakan ayah Klara. Tuan Daniel, ayah Klara, mengusap rambut anaknya dengan lembut dan mengusap bagian pakaiannya yang kotor.
"Kenapa bajumu kotor seperti ini, apa Klara baik-baik saja?" Tanya Tn. Daniel - cemas.
Klara menggelengkan kepalanya dan mengatakan "Klara tidak apa-apa".
"Lalu kenapa kok bisa kotor semua, ha.. ya sudah, ayo kita pulang dulu, mama mu sudah khawatir dari tadi"
Klara mengangguk dan mengandeng tangan ayahnya, pulang bersama.