Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Lelah, Ana
Setelah pulang dari terapi, Ana membantu Dave masuk ke dalam rumah. Gerakannya cekatan, seakan sudah terbiasa merawat pria itu meskipun mereka sering bertengkar.
"Kau ingin langsung istirahat atau makan dulu?" tanya Ana sambil melepas jaketnya.
"Aku ingin istirahat," jawab Dave singkat.
Ana mengangguk dan membantu mendorong kursi roda Dave ke dalam kamar. Begitu sampai di sana, ia berjongkok di hadapan Dave dan menatapnya dengan serius.
"Dave."
Pria itu mengangkat alisnya, heran dengan nada suara Ana yang tiba-tiba berubah serius.
"Aku ingin bertanya sesuatu, tapi kau harus menjawab dengan jujur."
Dave mendengus. "Sejak kapan aku berbohong?"
Ana mengabaikan sarkasme itu dan melanjutkan. "Apa kau benar-benar tidak peduli dengan tuntutan hukum dari Lusi?"
Dave mendiamkan Ana sejenak, lalu menatap lurus ke depan. "Aku sudah tahu ini akan terjadi sejak lama. Lusi selalu mengincar harta ayahku, dan aku tidak tertarik untuk meladeni permainannya."
Ana mengernyit. "Tapi jika kau tidak melakukan apa-apa, bukankah itu berarti dia bisa menang?"
Dave menyandarkan tubuhnya ke kursi roda, menghela napas panjang. "Aku memiliki rencana, Ana. Aku hanya belum ingin membicarakannya."
Ana menatapnya dengan penuh selidik. Ia tahu Dave bukan tipe pria yang mudah menyerah, tapi tetap saja, Ana tidak ingin pria itu membiarkan dirinya diinjak-injak.
"Baiklah," akhirnya Ana mengalah. "Tapi setidaknya, kalau kau butuh bantuan… aku di sini."
Dave menatap Ana dengan ekspresi sulit diartikan. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia berkata, "Kau mau membantuku karena tulus atau karena kau ingin sesuatu dariku?"
Ana terdiam. Ada sedikit rasa sakit di hatinya mendengar tuduhan itu.
Namun, ia memilih untuk tidak tersinggung. Ia tahu Dave sudah terlalu banyak dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, sehingga sulit baginya untuk percaya kepada siapa pun.
Maka, Ana hanya tersenyum tipis dan berkata, "Mungkin awalnya aku hanya ingin bertahan hidup. Tapi sekarang, aku ingin kau menang."
Dave terkejut mendengar jawaban itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar berada di sisinya. Sebagai seorang istri, Ana hanya ingin menjalankan kewajibannya, berharap sikap keras Dave akan melunak seiring berjalannya waktu.
___
Sementara itu di tempat yang berbeda, lebih tepatnya di restoran mewah dengan ruangan VIP tertutup, empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar. Lusi menyilangkan tangan di depan dada, sorot matanya tajam saat menatap Ratna yang duduk di seberangnya.
Lisa duduk di sebelah ibunya dengan ekspresi tidak sabar, sementara Rani tampak gelisah, menggigit kuku tanpa sadar.
"Aku tidak suka mengulang perkataan, Ratna," suara Lusi terdengar dingin dan penuh tekanan. "Aku ingin Ana ikut dalam rencana ini, atau kau dan anakmu tidak akan mendapat apa-apa."
Ratna menarik napas, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Aku sudah berusaha, Nyonya Lusi. Tapi Ana keras kepala! Dia selalu menolak!"
"Itu berarti kau tidak cukup menekannya!" Lusi membanting gelas wine ke meja, membuat suara dentingan tajam memenuhi ruangan. "Kau bilang dia anakmu, kan? Masa kau tidak bisa mengendalikannya?"
"Aku sudah menamparnya, bahkan memukulnya! Tapi dia tetap tidak mau tunduk!" Ratna akhirnya membalas dengan suara tinggi. "Anak itu keras kepala! Tidak seperti Rani yang selalu menurut padaku!"
Lisa tertawa mengejek. "Hah! Dasar ibu yang gagal. Bahkan anak sendiri tidak bisa diatur!"
Rani merasa panas mendengar ejekan itu. "Jangan bicara sembarangan, Lisa! Kau pikir kau lebih baik dariku?"
Lisa menatap Rani dengan sinis. "Tentu saja! Aku sudah hidup mewah sejak lahir! Tidak seperti kau, masih ngarep jadi artis tapi wajah saja pas-pasan!"
"Cukup!!" suara Lusi memotong pertengkaran. Ia menatap Ratna tajam. "Aku tidak peduli bagaimana caramu, Ratna. Pakai cara apa pun! Pukul, ancam, jebak, aku tidak peduli! Aku ingin Ana bekerja sama dengan kita!"
Ratna menghela napas berat. "Dan kalau aku berhasil, kau benar-benar akan membantu Rani menjadi artis terkenal?"
Lusi tersenyum licik. "Tentu saja. Aku punya banyak koneksi di dunia hiburan. Selama kau menepati janjimu, aku akan menepati janjiku."
Rani langsung menyikut ibunya. "Ibu, kita harus melakukannya!"
Lisa menyeringai. "Itu baru sikap yang benar! Lagipula, Ana hanya beban untuk kalian. Buang dia, lalu nikmati hidup kalian sendiri."
Ratna terdiam. Ada sedikit keraguan dalam dirinya, tapi ambisi dan tekanan dari Lusi terlalu besar.
"Baiklah," akhirnya ia berkata. "Aku akan membuat Ana tunduk."
Lusi tersenyum puas. "Bagus. Aku tunggu kabar baik darimu, Ratna."
Pertemuan itu berakhir dengan keputusan keji yang akan mengubah hidup mereka. Entah hati semacam apa yang dimiliki Ratna sampai ia tega mengorbankan anaknya sendiri. Bahkan sebagai seorang kakak, Rani saja tidak memiliki hati pada kehidupan adiknya.
____
Kembali pada Dave dan Ana, sore itu, hujan turun cukup deras. Langit mendung, angin dingin berembus masuk melalui jendela ruang latihan di rumah Dave. Suara rintik hujan menciptakan irama lembut yang mengisi ruangan.
Di tengah suasana dingin itu, Ana dengan penuh semangat membantu Dave berlatih berjalan.
"Ayo, Dave, kamu pasti bisa!" suara Ana penuh dorongan.
Dave mencengkeram alat bantu berjalan dengan kedua tangannya. Dahinya basah oleh keringat, meskipun udara sedang dingin. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti ada beban besar yang menahannya.
"Aku lelah, Ana..." suaranya terdengar serak.
Ana mendekat, menatapnya dengan mata penuh tekad. "Lelah itu wajar, tapi kamu tidak boleh menyerah!"
Dave menunduk, napasnya memburu. Lututnya mulai bergetar, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan.
"Dave, lihat aku," Ana berkata sambil berjongkok di hadapannya. "Aku tahu ini sulit, aku tahu ini menyakitkan. Tapi kamu sudah sejauh ini! Kamu tidak boleh menyerah sekarang."
Dave mengerutkan kening, menatap Ana dalam-dalam.
"Apa gunanya?" suaranya terdengar lirih. "Kalau pun aku bisa berjalan lagi, itu tidak akan mengubah masa lalu."
Ana menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Tapi itu akan mengubah masa depanmu."
Hujan semakin deras di luar. Cahaya lampu di ruangan itu membuat bayangan Dave tampak goyah.
Ana mengulurkan tangannya. "Aku tidak akan memaksamu, Dave. Tapi kalau kamu ingin menyerah, pastikan itu karena kamu benar-benar sudah tidak mampu, bukan karena kamu takut gagal."
Dave terdiam lama.
Lalu, perlahan, ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ana. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencoba melangkah lagi.
Satu langkah.
Dua langkah.
Ana tersenyum lebar. "Bagus! Aku tahu kamu bisa melakukannya!"
Dave mendengus lemah, tapi ada sedikit kilatan di matanya. Entah mengapa, meski seluruh tubuhnya terasa sakit, ada sesuatu dalam hati Ana yang membuatnya tidak ingin mengecewakan gadis itu.
Di luar sana, hujan masih turun. Tapi di dalam rumah itu, semangat seseorang baru saja mulai bangkit kembali.