Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Accident
“BRAKKKKK!!” Suara itu terdengar keras, membuat warga-warga di sekitar lokasi terkejut dan bangkit mencari asal suara. Seorang siswi berseragam SMA tertimpa motornya, ia merintih kesakitan di jalanan, tampaknya baru saja ia menabrak trotoar hingga sempat terpental dan jatuh. Untung saja ia memakai helm. Beberapa warga sekitar turun tangan untuk membantu.
“Neng, bisa bangun, Neng?”
“Namanya siapa, Dek?”
“Akasia bang.” Jawab gadis yang merintih-rintih itu.
“Masih sadar, bawa ke pinggir!”
Akasia diungsikan ke warung terdekat untuk diberikan teh manis hangat sebagai pertolongan pertama. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang yang pertama kali terpikirkan olehnya.
...oOo...
Seorang pemuda datang tergopoh-gopoh ke arah Akasia.
“Akasia, kamu nggak apa-apa? Ayo ke rumah sakit!” Pemuda itu terlihat panik.
“Aku nggak apa-apa, cuma…”
Tanpa menunggu Akasia mengusaikan ucapannya, pemuda itu membopong gadis tersebut dan mendudukkannya dengan hati-hati di bangku belakang motornya, “Jangan banyak omong, ikut aja!” Komandonya sambil mengambil tangan gadis itu agar memeluknya kencang, “Pegangan!” Pesannya sebelum mengebutkan motornya ke rumah sakit terdekat.
Pemuda yang lain datang setelahnya dan baru menemukan motor Akasia, ia celingukan mencari-cari dengan raut wajah khawatir, “Sudah dibawa temannya ke rumah sakit!” Seorang warga yang menangkap gelagatnya menginformasikan.
...oOo...
“Endry, kok kamu tahu aku disitu?” Akasia bertanya saat dalam perjalanan.
“Aku lagi jalan mau beliin pesanan Selena, malah lihat motor kamu kayak begitu. Gimana nggak panik?” Endry menceritakan, “Kamu kenapa nggak hubungi aku sih? Aku tuh tadi masih di sekolah, dekat.”
“Iya ya.” Gadis itu baru terpikirkan, “Aku juga panik tadi, tapi aku udah hubungi orang kok.”
“Siapa?” Endry terdengar kesal, “Adrian ya?”
“Nyokap lah.” Jawab Akasia tegas. Dalam hati ia tahu Adrian kurang bisa diandalkan dalam hal ini. Membawa kendaraan saja pemuda itu tidak bisa, apalagi menguasai jalan.
Sesampainya di rumah sakit, gadis itu dibawa oleh para tenaga kesehatan ke ruang IGD, sementara Endry mengurusi berkas administratif. Pemuda itu garuk-garuk kepala menghadapi pertanyaan demi pertanyaan di atas kertas. Ia baru menyadari ia tidak mengetahui banyak hal mengenai Akasia. Jika ini mengenai data Selena ia justru bisa menjawabnya lebih banyak. Ia menyerah dan memutuskan menyusul gadis yang cidera itu ke dalam ruang IGD. Lukanya sedang ditindak saat itu.
“Maaf Akasia, ini.…” Endry memegang kertas dan pulpen dengan canggung, berniat meminta informasi data dirinya, tetapi malu untuk jujur.
“Sini!” Seseorang menyambar kertas dan pulpen itu, ia mengisi data-data yang diperlukan dengan lancar.
“Adri, kok tahu aku disini?” Akasia terkejut menjumpai pemuda yang baru datang tersebut.
“Intuisi.” Jawab Adrian singkat sambil terus mengisi, setelahnya ia menyerahkan kertas itu ke bagian administrasi. Melihatnya Endry yang merasa kalah menjadi malu. Ia benar-benar belum mengenal Akasia sejauh pemuda itu.
Pria Belanda itu menghampiri gadis yang terbaring dan menyodorkan satu pack tissue basah dari kantungnya. Gadis itu langsung mengambilnya dengan riang dan mengeluarkan satu lembar untuk mengelap wajahnya, “Terima kasih, kamu emang tahu banget deh.” Pujinya.
Para perawat meninggalkan Akasia setelah ia dipasangkan infus dan luka luarnya diobati. Mereka tinggal menunggu kedatangan dokter untuk memeriksanya secara keseluruhan.
Melihat perhatian Adrian, Endry kembali merasa kalah, ia menunduk sendu.
Terlihat dari jauh sosok Ibu Akasia berjalan tergopoh-gopoh dari ujung lorong mendekati mereka. Begitu perhatian Endry teralihkan ke arah Ibu itu, pria kaukasia itu segera berubah menjadi boneka di sebelah gadis yang terbaring. Akasia yang menyadarinya mengamankan boneka Adri di pelukannya. Ibunya menghambur memeluk putri tunggalnya itu.
“Akasia, kok bisa gini sih?” Ibunya melepaskan pelukannya demi menanyainya dengan raut wajah cemas, “Hati-hati makanya!”
“Udah hati-hati kok Bu, cuma ya...lagi sial aja.” Putrinya berkata menenangkannya.
“Eh Endry, sendiri aja jagain disini?” Ibu Akasia menyapa teman anaknya itu.
"Berdua bu…" Endry baru saja ingin menunjuk Adrian, tapi tidak ditemukannya sosok pemuda pirang itu, “Sama Akasia.” Tambahnya berimprovisasi, ‘Cepat banget itu orang perginya.’ Herannya dalam hati.
“Terima kasih ya, Nak, sudah antar Akasia ke sini, untung kamu sigap.” Ibu Akasia menghadap Endry dengan wajah tulus dan leganya.
“Iya Bu, sama-sama.” Endry menunduk malu.
Akasia memanggil pemuda itu untuk mendekat. Endry menghampiri dan mendekatkan telinganya, “Ini kan udah ada Ibu jagain aku, kamu tolongin aku ya. Tolong urus soal motorku.” Bisik gadis itu.
“Oh siap.” Pemuda itu mengerti apa yang harus ia lakukan, “Kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu. Ada yang perlu diurus.” Ia menyalami wanita yang masih cantik di usia 40an itu.
“Loh, sudah mau pulang. Iya, nggak apa-apa, kamu pasti capek. Sekali lagi terima kasih ya.” Ibu Akasia melepas pemuda itu dengan tatapan kagum.
“Jadi gimana kondisi kamu?” Ibunya bertanya sambil mengecek tubuh Akasia.
“Ini mah cuma lecet.” Gadis yang terbaring menjawab santai.
“Lecet apa begini? Pokoknya kamu harus diperiksa secara keseluruhan! CT scan, rontgen, EKG!” Ibu Akasia berpesan terbawa rasa khawatirnya.
“Bukan EKG dong, Bu? Emang aku ada sakit jantung?” Akasia meralatnya.
“Eh iya juga.” Ibunya menutup mulutnya, menyadari kesalahannya, “Kamu tunggu disini ya, Ibu mau bicara sama perawat.”
...oOo...
Selena kembali ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca. Hayashi yang melihat kejanggalannya segera berubah menjadi manusia karena khawatir. Gadis yang biasanya tangguh itu langsung menghambur memeluknya. Hayashi terkejut dan terpaku, bingung dengan situasi ini.
“Aku bikin Akasia kecelakaan,” akunya disela isak tangis.
Mata sipit pria itu terbelalak, “Bagaimana bisa?”
“Aku nggak tahu. Aku cuma bayar orang buat kerjain dia, mereka malah bikin Akasia kecelakaan, sekarang dia masuk rumah sakit.” Selena menceritakan dengan jujur, “Kamu benar, aku nggak seharusnya sejahat ini. Aku menyesal, aku takut ketahuan. Endry pasti benci aku.”
Hayashi mendekapnya untuk menenangkan tangis gadis itu. Ia sungguh tidak tega melihat wanita menangis, “Sudah, tenangkan diri dulu, baru kamu bisa berpikir jernih.” Ia berkata lembut. Ia mengajak Selena duduk di kasurnya, “Itu bukan murni kesalahan kamu, kamu bukan orang jahat.”
Menit demi menit berlalu, Hayashi dengan sabar menunggu Selena menuntaskan tangisannya. Ia mulai bisa mengontrol dirinya dan tenang. “Jadi aku harus bagaimana?”
“Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan kalau kamu adalah gadis yang baik, nggak perlu capek-capek menjahili orang lain lagi. Kamu fokus saja memperbaiki diri.” Pemuda Jepang itu memberi pandangannya, “Kamu nggak perlu mengaku sekarang kalau belum siap, kalau kamu belum mampu minta maaf paling tidak berbuat baiklah pada orang yang pernah kamu sakiti untuk menebus kesalahanmu. Aku rasa kalau kamu terus bersikap baik perlahan-lahan mereka pun akan memaafkan.” Hayashi mengusap air mata yang tersisa di pipi gadis itu dengan jarinya, lalu mengambilkan tisu untuknya.
“Terima kasih Hayashi-san.” Selena mengungkapkan ketulusannya sambil mengambil tisu dari tangan pria Jepang itu.
“Giliran begini aja pakai -san, biasanya angkuh sekali kamu!” Sindir Hayashi ke gadis itu.
Selena mendorong tubuh pemuda itu dengan kesal, “Jangan merusak mood deh!” Keluhnya sambil terkekeh meski matanya masih sembab. Tapi ia merekam baik-baik pesan pemuda di depannya tadi. Selain maaf, ternyata ada lagi yang penting, yaitu menebus kesalahannya. Mulai saat ini ia akan mencoba untuk bersikap baik kepada Akasia.
...oOo...
Seperti pesan Akasia, Endry kembali ke tempat kejadian kecelakaan. Ia mengambil alih motor gadis itu dan membawanya ke bengkel. Ia menerima laporan dari pekerja bengkel mengenai kerusakannya. Menyadari ada yang ganjal, Endry menghubungi Akasia lewat sambungan telepon.
“Halo, Akasia? Maaf ganggu waktu istirahat kamu, aku mau kabarkan soal motor kamu.” Endry memulai informasinya, “Ada yang aneh.”
“Aneh gimana Dry?” Gadis di seberang telepon mengernyitkan dahi. Untungnya kali ini ia sudah berada di ruang rawatnya sehingga lebih bebas membicarakan masalah personal seperti ini.
“Selain kerusakan yang disebabkan benturan tadi, kabel rem motor kamu terlepas dengan rapi, kayak digunting. Kayaknya ini penyebab kamu kecelakaan.” Endry memberitahu apa adanya, “Apa mungkin ini kelanjutan teror yang kamu alami?"
“Pantas tadi aku selalu gagal kalau ngerem, makanya aku banting stang supaya nggak tabrak orang lain.” Akasia bergidik ngeri, “Masa sampai membahayakan begini sih?”
“Kalau begini sih nggak mungkin Selena deh, dia nggak sejahat itu.” Endry berkata dengan yakin, “Tadi juga aku sudah kabarkan kondisi kamu ke Selena, dia kedengaran khawatir loh.” Akasia tersenyum pahit mendengar nama Selena disebut-sebut terus oleh pemuda itu. “Nanti kalau dia mau ikut menjenguk kamu, boleh?”
“Boleh kok.” Gadis itu berkata lemah, “Ya udah, aku capek mikirin ini. Aku pulihin diri dulu ya, supaya tenang, begitu sembuh baru kita omongin lagi.”
“Oh iya, maaf mengganggu nih. Selamat istirahat, Akasia.” Endry berkata lembut.
“Iya, terima kasih ya bantuannya, bye.” Akasia menutup teleponnya, lalu menghela napas. “Begini ya rasanya?” Gumamnya, hatinya merasa dongkol setiap pemuda itu membicarakan Selena, ia seperti merasa tersaingi dan tidak mau kalah, ‘Apa ini rasanya cemburu ya?’ Ia mencoba mencerna rasa terhimpit di dadanya.
“Jadi, gimana infonya?” Gadis itu baru sadar Adrian sudah berwujud manusia kembali. Ia terlihat penasaran.
“Ada yang gunting kabel rem di motorku, pantas remnya blong.” Jawabnya singkat.
“Astaga! Jahat banget, itu kan kejahatan serius!” Pemuda kaukasia itu semakin mengkhawatirkan Akasia, ia mengecek luka-luka di tubuh gadis itu.
“Iya, kayaknya kita harus singkirkan Selena dari daftar tersangka. Dia nggak mungkin seberani itu.” Akasia menyampaikan kesimpulannya.
“Apa mungkin senior anggota OSIS yang belakangan ini sering masuk ke kelas kamu?” Adrian menyampaikan kecurigaannya.
“Urusannya apa sama aku? Kenal aja nggak.” Gadis itu meragukan prasangkanya.
“Kamu aja yang nggak kenal mereka kali. Kamu tahu, banyak pembunuh selebiritis berasal dari para fans yang nggak dikenalnya. Selebnya merasa nggak kenal, tapi fans-nya kan kenal.” Pria Belanda itu berusaha membuka pikiran Akasia.
Gadis itu jadi merenungkan asumsi Adrian, “Tapi OSIS kan lagi sibuk persiapkan PENSI, bukannya mereka bakal kerepotan ya?”
“Atau bisa jadi keuntungan, itu bisa memberi alasan mereka untuk bebas bergerak tanpa dicurigai.” Pemuda cerdas itu menambahkan, “Mungkin bayarannya setimpal.” Ia mengangkat bahu.
Akasia menyangsikan pendapat pemuda itu, tapi di luar itu ia lega Adrian ada disini menemaninya, “Kamu tadi kenapa berubah jadi boneka?”
“Ya supaya bisa di dekat kamu terus, kayak begini. Masa kamu di rumah sakit begini aku santai-santai sendiri di rumah?” Pemuda kulit putih itu menyampaikan, “Lagipula sejak kamu kecil kalau sedang menahan sakit biasanya butuh boneka buat dipeluk.” Adrian ternyata ingat kebiasan Akasia. Mendengarnya membuat wajah gadis itu memerah.
“Itu kan waktu masih kecil ya, sekarang kan aku udah gede.” Ia menampik dengan wajah bersemu.
“Tapi masih tetap pegang tanganku kencang tuh waktu diinfus.” Adrian mendekatkan wajah cengengesannya, senang sekali ia menggoda gadis itu hingga wajahnya tersipu malu seperti ini.
“Siapa juga yang nggak takut disuntik. Infus itu jarumnya besar loh, selangnya ditempel terus lagi ke kulit.” Gadis manis itu menjelaskan untuk menjustifikasi sikapnya.
Adrian mengangkat tangan Akasia yang diinfus dan memandangnya dengan seksama. Pemuda itu mengelus dan meniup-niup bagian tertancapnya infus dengan khusyuk, “Sembuh sembuh!” Gumamnya seperti merapal mantra.
“Heii! Dibilang aku bukan anak kecil, teknik begitu sudah nggak mempan lagi.” Akasia semakin kesal Adrian menyindir perilaku masa kecilnya.
Pemuda Belanda itu tertawa tengil, merasa menang. Kemudian ia melihat gadis di depannya merintih kecil sambil memegang bahu kirinya. Mendadak raut wajah pemuda itu berubah cemas, “Sakit ya? Mana yang sakit?”
Akasia mengatur napasnya, “Iya tadi, sekarang udah nggak apa-apa. Kayaknya sakitnya baru datang belakangan ya…” Ia mengamati reaksi tubuhnya.
“Memang begitu biasanya, makanya jangan menyepelekan efek kecelakaan!” Adrian membenarkan. Tangannya memegang bahu Akasia, mencoba menolong dengan memijatnya pelan.
“Jangan deh, nanti salah gerak. Kamu berubah jadi boneka aja, takutnya perawat atau Ibu datang.” Saran Akasia.
Adrian melirik jam di ruang rawat VIP itu, memang sudah cukup lama ia berubah menjadi manusia, “Oke, aku kembali jadi boneka ya. Kamu jangan banyak gerak dulu.” Pesannya sebelum berubah kembali menjadi boneka.
semangat /Good/