Selama 2 tahun menjalin mahligai rumah tangga, tidak sekali pun Meilany mengucapkan kata 'tidak' dan 'tidak mau' pada suaminya. Ia hanya ingin menjadi sosok seorang isteri yang sholehah dan dapat membawanya masuk surga, seperti kata bundanya.
Meski jiwanya berontak, tapi Mei berusaha untuk menahan diri, sampai pada akhirnya ia tidak bisa menahan lagi ketika suaminya meminta izinnya untuk menikah lagi.
Permintaan itu tidak membuat Mei marah. Ia sudah tidak bisa marah lagi ketika sudah kehilangan segalanya. Tapi ia juga tidak bisa tinggal di tempat yang sama dengan suaminya dan memilih pergi.
Selama 7 tahun Mei memendam perasaan marah, sampai pada suatu ketika ia menemukan kebenaran di dalamnya. Kebenaran yang sebenarnya ada di depan matanya selama ini, tapi tidak bisa ia lihat.
Bisakah Mei memperbaiki semuanya?
*Spin off dari "I Love You, Pak! Tapi Aku Takut..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jnxdoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 -
\= Salah satu rumah sakit di kota J. Kamar VIP \=
"Saya yakin ini hanya kecelakaan, Mei. Mungkin Aslan ingin mengambil sesuatu dan terpeleset. Untungnya, saya sedang mengecek CCTV waktu itu."
"Bagaimana pun, terima kasih atas bantuannya pak Hagen. Saya tidak bisa membayangkan kalau tidak ada Anda saat itu... pasti mas Aslan... mas Aslan..."
Senyuman Hagen terlihat kecut dan tidak enak.
"Jangan begitu. Saya yakin Aslan akan menjelaskannya padamu begitu dia sadar nanti. Kau semangatlah."
Pria tinggi itu menepuk ringan bahu Mei. Kepala wanita itu tampak sedikit tertunduk.
Meski sangat banyak hal yang jadi pertanyaan dalam benaknya, tapi pria itu dengan bijaksana tersenyum.
"Tolong jaga suamimu, Mei. Dia sepertinya sangat membutuhkanmu saat ini. Saya akan bilang pada Herman kalau Aslan akan mengambil cuti beberapa hari."
Suara Mei tersendat dan ia mengangguk, "Terima kasih sekali lagi pak Hagen."
Kepala Hagen mengangguk. Pria tampan itu baru akan keluar saat terdengar lagi suara Mei di belakangnya.
"Maaf pak Hagen, kalau saya lancang. Tapi apa boleh saya melihat CCTV-nya?"
Kepala Hagen menoleh dan ia mengerutkan alisnya. "Untuk apa? Saya sudah bilang itu kecelakaan."
Raut wanita itu perlahan terlihat mengeras. Tatapannya tajam dan bibirnya sedikit menipis.
"Saya perlu memastikannya lagi, pak. Untuk kali ini, saya hanya ingin tahu kebenarannya. Karena selama 9 tahun, saya hidup dalam bayang-bayang dan saya tidak mau mengalaminya lagi. Apapun hasilnya, suka tidak suka, saya akan menghadapinya langsung. Saya ingin agar masalah saya dengan suami bisa terselesaikan sekarang, pak Hagen. Saya tidak mau dan tidak bisa menundanya lagi terlalu lama."
Sejenak, Hagen hanya menatap Mei beberapa saat dan akhirnya menghela nafasnya sedikit panjang.
"Baiklah. Saya akan mengirimnya lewat e-mail. Nanti kau bisa menceknya sendiri."
Menelan ludah, Mei mengangguk kaku. "Terima kasih banyak pak."
Senyuman Hagen perlahan terkembang.
"Tidak. Justru saya yang seharusnya berterima kasih. Saya bersyukur Aslan menikahimu Mei. Dia memang butuh pendamping yang jauh lebih asertif dan mendorongnya dari belakang. Herman pernah bilang kalau Aslan itu terlalu pasif. Tidak percaya diri. Padahal dia punya kemampuan menggantikan atasannya kelak."
Beberapa waktu setelah Hagen pergi, Mei duduk di samping Aslan yang masih tertidur. Pria itu diberi obat penenang, karena katanya sempat meronta saat akan dibawa ke rumah sakit.
Memandang sosok suaminya yang pucat, mata Mei berkaca-kaca. Ia tidak mau berfikir aneh-aneh, tapi kata-kata dokter tadi masih terngiang di benaknya.
'Tolong jaga dia, bu Mei. Kondisinya sepertinya tidak stabil. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti kalau dia sudah sadar. Bisa saja dia melukai dirinya sendiri atau orang lain. Untuk sementara, jauhkan dia dari benda tajam, atau benda berbahaya lain. Intinya, jangan biarkan dia lepas dari pengawasanmu. Mungkin Anda bisa mempertimbangkan membawa dia ke psikolog atau psikiater untuk konsultasi.'
Pikirannya yang kalut terpecah, saat ia mendapat notifikasi pesan masuk di ponselnya. Tampak ada e-mail baru yang masuk ke e-mail kantornya. Sedikit terburu-buru, ia membukanya.
Apa yang dilihatnya di sana membuat bulir air mata di kelopak Mei perlahan turun.
Ia menatap suaminya beberapa saat dan menggenggam erat tangan pria itu. Ia menunduk dan mulai terisak.
"Mas Aslan... kenapa...? Kenapa mas...?"
***
\= Flashback kejadian sekitar 4 jam lalu \=
Berada di lantai tertinggi gedung TJ Corp., Aslan bisa merasakan hembusan angin yang sangat kuat menerpa wajah dan juga rambutnya. Dasi yang ada di leher terasa mulai menamparnya, membuat pria itu melepas dan membiarkannya terbang terbawa angin.
Terbang terbawa angin... Kalau saja masalahnya bisa terbang dibawa angin, mungkin hidupnya tidak akan semenyedihkan ini...
Mata cokelatnya memandang sekitarnya. Ia bisa melihat tangga menuju lokasi helipad di atas gedung, yang terkadang digunakan para direksi atau pun tamu penting bila mereka datang dan pergi untuk meeting. Kali ini, tidak ada yang menggunakannya, membuat lampu yang biasanya memancar lembut di sana padam.
Berpaling ke arah lain, pria itu mulai berjalan ke salah satu penjuru. Ia bisa melihat pemandangan gedung lain yang diwarnai sinar lampu terang benderang dari beberapa titik.
Hal yang dilihatnya sangat indah, tapi hatinya sudah beku, membuat Aslan tidak lagi mampu membedakan. Tangannya yang memegang railing terasa dingin, juga basah. Ingatannya melayang ke beberapa tahun lalu.
'Mei. Saya mau dikenalkan sama kamu, karena saya tidak mau main-main lagi. Saya sekarang mencari isteri, dan bukan kekasih. Jujur, saya pernah pacaran selama 4 tahun dengan seseorang, tapi gagal. Sekarang, saya hanya ingin mencari perempuan yang bisa menjadi pendamping saya. Saya lihat kita cukup cocok, baik dari segi pendidikan, pola pikir dan juga keyakinan. Saya tidak mempermasalahkan kamu seorang mualaf, karena saya bersedia ngajarin kamu dari awal. Bagaimana dengan kamu sendiri? Kamu mau serius dengan saya?'
Apakah kau telah menjadi imam yang baik untuknya, Ash? Sepertinya tidak.
'Jadi, mas mau nikah lagi? Aku mengerti mas. Tidak perlu mas jelaskan lagi, mas sudah dapat izinku.'
Mengingat kata-kata isterinya, hati Aslan teremas sakit.
Ingatan-ingatan dari masa lalunya perlahan mulai mampir di otaknya.
Ketika bayi yang tidak pernah ia tahu tengah tumbuh di dalam perut isterinya telah tiada, ia tidak sanggup menanyakan kenapa isterinya tidak mengatakan soal itu padanya. Ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tidak mampu dan tidak tega, saat melihat wajah isterinya pucat dan sedang menangis di tempat tidur.
Saat itu ia tidak menangis. Ia tidak bisa menangis, karena merasakan separuh jiwanya mati bersama bayinya. Anak yang sangat dia harapkan dari isterinya telah tiada, bahkan sebelum sempat ia tahu keberadaannya.
Tapi saat itu kau meninggalkannya, Ash. Bukannya menemani isterimu dan berbagi kesedihan dengannya. Kau terlalu egois dan pengecut untuk mengakui kau sangat hancur waktu itu kan? Lelaki cemen kau ini!
Setetes air turun ke pipi Aslan yang dingin. Ia masih menatap kosong ke depan. Kata-kata terakhir isterinya tujuh tahun lalu sangat membekas di otaknya. Hingga saat ini.
'Engga usah repot mas. Beneran kok, aku ga butuh apa-apa. Aku juga ga pengen apa-apa.'
Benar bukan? Isterimu tidak pernah membutuhkanmu. Kalau saja dia tidak menikahimu, mungkin karirnya waktu itu sudah meningkat pesat. Jauh lebih pesat dari dirimu. Kau yang telah menghambatnya, Aslan!
'Ceraikan Mei, mas. Ceraikan, Mei!! Ceraikan Mei, sekarang juga!!!'
Suara teriakan isterinya seolah menggema di relung kepala Aslan, membuat pria itu memejam erat.
Kepalanya mulai terasa pusing dan ringan. Tubuhnya serasa bergoyang saat ia membuka matanya perlahan. Di tengah kabut air di bola matanya, Aslan dapat melihat dasi yang ia lepas tadi terbang ke arahnya. Benda tipis panjang itu melewatinya dan melayang menuju ke hamparan gedung-gedung di depannya.
Jantung pria itu mulai berdebar keras saat ia mengingat sesuatu.
Dasi itu dari Mei. Isterinya.
"Tidak..."
Tangannya otomatis meraih benda itu dan tanpa sadar, ia membungkukkan badannya di railing. Lupa sama sekali, kalau ia sedang berada dalam situasi yang sangat membahayakan.
Saat tangannya berhasil meraih ujung dasinya, mata Aslan menatap ke depannya. Air matanya tumpah.
"Mei...?"
"ASLAN!!!"
Teriakan serak itulah yang terakhir diingat Aslan, sebelum semuanya menggelap.
kesalahau besar Ashlan