NovelToon NovelToon
Tangisan Hati Istri

Tangisan Hati Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama
Popularitas:14k
Nilai: 5
Nama Author: Cicih Sutiasih

Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dialah Permata

"Jangan mengejek kamu...", ucap Rangga dengan mulut masih mengunyah.

"Idiih..., siapa yang meledek, aku hanya senang saja, ternyata Mas menyukai masakan aku", senyum Mutia.

"Buka suka lagi..., terpaksa saja..., aku sedang lapar, kalau harus keluar kan sedang hujan, pesan lewat go foods juga pasti lama, ya sudah..., tidak ada pilihan lagi, sikat saja yang ada", ucap Rangga dengan wajah datar.

"Iya...iya..., terserah Mas saja, tapi syukurlah..., masakanku tidak mubazir, tadinya kalau tidak ada yang mau makan, aku akan bagikan saja kepada para anak jalanan yang di sana", Mutia menunjuk ke arah kumpulan anak jalanan yang sedang menunggu giliran untuk ngamen, dipertigaan jalan menuju penginapan mereka.

"Kalau tidak habis aku makan", ucapnya lagi sambil tetap mengunyah.

"Mas..., pelan-pelan dong, nanti tersedak, aku tidak akan memberikan makanan itu kepada mereka kalau Mas menyukainya", Mutia kembali menahan tawanya. Ia merasa lucu dengan sikap Rangga.

'Seperti anak kecil saja, kok seperti berhadapan dengan Arman ', batin Mutia bicara.

"Tuh kan..., kamu pasti sedang mengejek aku lagi", tatap Rangga.

"Iihh..., nggak..., aku hanya teringat dengan Arman saja, kok jadi mirip Arman sih...",

"Aku..., dan Arman...", kekeh Rangga.

"Ada-ada saja..., Arman itu anak kecil, sementara aku...", Rangga terdiam, ia sendiri bingung dengan sebutan untuk dirinya sendiri.

Mau bilang sudah dewasa, pasti Mutia akan mentertawakannya, tetapi Rangga pun tidak mau disamakan dengan Arman.

"Apa....?, dewasa gitu...?", sambar Mutia.

"Bukan sudah dewasa lagi, sudah tua", kekeh Mutia.

"Sudah waktunya jadi Bapak Mas", senyum Mutia.

"Aahh..., tidak..., tidak..., aku kalau punya anak, nantinya tambah repot, tambah pengeluaran juga, kemana-mana susah, repot, ribet, harus bawa-bawa anak",

"Enakan begini..., mau kemana pun bebas, tanpa beban, uang pun terjaga, tidak ada pengeluaran tambahan ini itu lagi",

"Huuss..., tidak boleh begitu, anak itu rezeki tahu, banyak di luar sana pasangan yang harus menghabiskan banyak rupiah hanya untuk mengikuti program punya anak, masa Mas tidak tertarik sedikit pun dengan anak kecil",

"Mereka itu makhluk ajaib lho Mas, aku ingin segera melihat mereka berlarian dan memanggil kita dengan sebutan Mama..., Papa...", Mutia menerawang.

"Kalau aku..., nggak, nggak mau, aku masih ingin bebas, mewujudkan mimpi-mimpi aku yang belum tercapai",

"Aku sudah penuhi keinginan Papi untuk menikahi kamu, tapi kamu jangan memaksa aku untuk bisa mengikuti jalanmu, aku bilang..., aku masih ingin bebas", tegas Rangga.

"Dan satu lagi, kalau kamu banyak mengatur, banyak ini itu sama aku, aku bisa saja pergi ke tempat yang bisa membuatku nyaman, jadi..., kalau masih mau melihat aku , jangan usik aku!, jangan buat aku kesal, Ok!!",

"Aku akan tetap seperti ini, karena ini memang jalan yang aku pilih, jadi...walau kita hidup satu atap, tapi jalan kita beda-beda, kalau kamu sudah tidak nyaman, sudah tidak betah, aku dengan senang hati akan melepaskan ikatan ini, dan kamu bisa kembali kepada pelukan orang tuamu", Ucap Rangga tanpa beban.

"Astaghfirullah...Mas..., kok kamu bicara seperti itu, kita belum satu minggu menikah, bahkan mungkin janur pun masih kuning , kita baru tiba di pintunya, masa sudah mau pulang saja, belum masuk rumah, belum melihat apa yang ada di dalam rumahnya, masa main mundur saja, nanti menyesal Mas", ucap Mutia.

Mutia masih tetap berusaha tersenyum walau hatinya terasa teriris sakit. Kini, bukan tanpa alasan Mutia mencoba untuk tetap bertahan, tapi setelah kejadian malam itu, Mutia tidak mungkin bisa mudah melepaskan Rangga begitu saja.

Rangga adalah laki-laki pertama menyentuhnya, dan Mutia tidak mau ada yang lainnya, cukup satu pria saja dalam hidupnya.

Mutia sudah merasakan bagaimana dulu ia jadi bahan cacian para tetangga gara-gara telat nikah, bagaimana kalau sampai ia kembali ke Desa dengan status janda, sudah pasti ia dan keluarganya akan kembali menjadi bahan ejekan.

Itu yang tidak mau Mutia alami lagi.

Tidak mau terus berdebat dengan Rangga, Mutia beranjak mengambil buah-buahan yang ada di dalam lemari pendingin.

Mutia mengambil apel dan buah pepaya, lalu mengupasnya dalam diam. Dan menaruhnya dalam piring, lalu memberikannya kepada Rangga.

"Mau kopi apa susu Mas?", tawari Mutia lagi.

Rangga yang baru menyuapkan buah apel kemulutnya, menatap ke arah Mutia.

"Kopi saja, tapi pake cream ya", ucapnya datar.

'Enak juga jika setiap hari seperti ini', batin Rangga bicara.

Mutia pun segera menyiapkan kopi pesanan Rangga, dan segera membawanya kehadapan Rangga.

"Hari ini cerah sekali Mas, aku ingin pergi keliling kebun teh, boleh kan?", tatap Mutia.

"Boleh..., kamu bisa pergi kemanapun kamu mau, tapi awas, jangan sampai nyasar, nanti aku yang repot lagi",

"Kenapa tidak sekalian bareng Mas saja jalan-jalannya, jadi ada yang ngasih tahu kalau aku salah jalan kan", tatap Mutia.

"Mas..., kita ini kan pasangan, masa jalan-jalan saja masing-masing, apa tidak malu sama orang",

"Yang tahu kita sudah menikah itu siapa?, mereka tidak ada yang tahu Mutia, jadi kita aman walaupun jalan sendiri-sendiri", kembali Rangga bicara seperti tanpa beban.

"Cincin ini buktinya Mas, cincin yang melingkar di jari manis itu tanda ikatan pernikahan, semua tahu itu", Mutia mengangkat lengan kirinya ke arah Rangga.

Rangga hanya meliriknya sekilas saja, setelah itu ia kembali meneguk kopi dalam gelas .

"Tapi...ya sudah..., yang penting aku sudah minta ijin, dan Mas mengijinkan aku, itu sudah cukup",

"Kamu bebas mau kemana pun, tidak usah minta ijin segala", Rangga meneguk kopi buatan Mutia. Kembali Rangga merasakan sensasi yang berbeda dari rasa kopi buatan Mutia, padahal mungkin itu racikan asal saja, tanpa takaran.

"Ya..., tidak begitu Mas..., aku ini bukan seorang wanita single lagi, kalau sampai terjadi sesuatu sama aku, yang ditanya, yang dicari bukan lagi orang tua aku, tapi suami aku", Mutia tersenyum. Lagi-lagi Mutia berusaha berdamai dengan perasaan hatinya.

"Sudah..., jalan-jalan saja dulu, kalau ada apa-apa kan tinggal telepon aku saja, atau bisa nanya sama pengunjung lain, kamu dijamin tidak akan nyasar", kembali Rangga bicara tanpa beban. Sepertinya tak ada rasa takut atau khawatir terhadap keselamatan diri Mutia.

"Ya sudah..., aku siap-siap dulu ...", Mutia membereskan piring bekas makan , setelah itu segera menuju kamar.

Mutia mengganti pakaiannya, ia kini memakai celana jeans dan dikombinasikan dengan tunik motif bunga-bunga berwarna dasar lavender. Rambutnya pun ia ikat, karena tahu diluar sana anginnya kencang, tidak lupa juga ia memoles tipis wajahnya agar tidak terlihat pucat.

Namun, dandanan yang dianggap sederhana itu terlihat berbeda di mata Rangga. Ia sampai mematung, menatap tajam ke arah Mutia yang sedang menuruni tangga, lekuk tubuhnya terlihat jelas dari setiap langkahnya.

Apalagi aroma tubuhnya kembali tercium, itu ampuh membangunkan bulu roma Rangga, dan ampuh juga membangkitkan gairahnya.

Namun sayang, Rangga terlalu lemah untuk mengakui itu semua, sehingga kini bidadarinya sudah berlalu pergi dari hadapannya.

"Huuh..., kenapa aku ini, aku harus segera menemui Sinta", gumam Rangga, ia pun segera menuju kamar untuk berganti pakaian.

1
Aghitsna Agis
rangga gunta ganti aja jgn nyeselmkalau jena pemyakit hiv, mutia cuekin aja rangga nga tos hidup nga nyusajin suami niar fia nyesel.lanjut up lg
Cicih Sutiasih: Terima kasih Kak, selalu mengikuti kisah Mutia, aku kerja dulu, up nya besok pagi ya
total 1 replies
Aghitsna Agis
mydah2an mutia ditempatkan dikatirnya oa hasbi jd biar aman kemutia dan hanif soalnya kalau jd art dikhawatirkan dania cemburu trs memfinah mutia yg nga nga jdnya brrabe lanjut up lg mka
Cicih Sutiasih: Terima kasih Ka, sabar ya, aku baru pulang kerja, istirahat dulu, nanti up nya agak sore
total 1 replies
Aghitsna Agis
udah pergi aja.mutia biar ada rasa menyedar cinta tinggal vinta klau fiinjak injak debagai istri tidak dihargai.makanya jgn.mencintai lebih baik dicintai jd rangga merasa duatas angin
Cicih Sutiasih: Nanti ada saatnya Mutia menangis karena bahagia, Rangga perlahan akan berubah kok, akan ada kejadian-kejadian yang menimpa Rangga, yang membuatnya sadar atas perilakunya kepada Mutia, jadi ikuti saja terus kisahnya/Rose//Rose/
total 1 replies
Aghitsna Agis
udah tinggalin aja muti
Aghitsna Agis
tuh rangga lihat sinta melihat kamu malah.mundur bukannya menolong malah ttp sinta yg menolongnya apa nga malu lanjut
Rina ariyanti
Luar biasa
Cicih Sutiasih: Terima kasih
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal. 3 like mendarat buatmu. semangat ya
Cicih Sutiasih: Terima kasih, mohon komenannya juga, mungkin ada alur atau nama tokoh yang keliru
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!