Di desa Harapan Kahuripan, ada dua hal yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak.
Pertama, jangan main dengan Muhammad Syukur. Karena selain bocah berusia lima tahun itu sangat nakal, Syukur lahir dari wanita mati tidak wajar yang sempat menjadi kuntilanak. Ditakutkan, mama dari Syukur datang menuntut balas jika anaknya diusik.
Sementara larangan yang kedua, jangan pernah main ke Hutan Tua karena bocah mana pun yang main ke sana pasti tidak pernah selamat!
Namun di suatu sore menjelang petang, Syukur dan keenam temannya nekat memasuki Hutan Tua. Kejadian mencekam diwarnai pertumpahan darah benar-benar terjadi. Satu persatu dari mereka ditemukan mati. Hanya ada dua anak yang selamat. Anak pertama adalah Ibrahim dan terkenal sangat alim. Sementara satunya lagi merupakan Syukur!
Sebenarnya, apa yang terjadi? Karena semenjak itu juga, Ibrahim jadi sakti dan bisa menyembuhkan banyak penyakit dengan cara di luar nalar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara yang Terus Memanggil
“Wah ... bagus banget ya gambarnya!” ucap pak Handoyo sengaja memuji hasil kerja keras sang cucu.
“Aku cuma mewarnai, Kek. Yang gambar, si Miss!” ucap Syukur masih berbagi kebahagiaan dengan kakeknya.
Di teras depan kamar mereka dan memang ada di belakang rumah utama, pak Handoyo maupun Syukur sedang berbagi kisah. Kopi hitam yang masih panas tengah pak Handoyo nikmati. Selain kopi, pak Handoyo juga memiliki dua roti isi di piring.
“Syukur mau roti?” tanya pak Handoyo sambil menyodorkan piring berisi rotinya kepada sang cucu.
Syukur menggeleng. “Aku sudah kenyang, Ke. Tadi dibeliin makan sama opa Ojan. Terus, aku juga makan es krim. Kenyang banget. Soalnya kalau enggak habis, kata opa Ojan bakalan digelitikin!”
Mendengar antusias sang cucu yang memang langsung dekat dengan keluarga Rain, benar-benar membuat pak Handoyo bahagia. Pak Handoyo bahkan tertawa lepas karena cerita Syukur mengenai opa Ojan yang sangat lucu.
“Lucu banget ya, si opa Ojan?” ucap pak Handoyo di sela tawanya.
Syukur mengangguk-angguk. “Iya, Kek. Lucu banget si opa Ojannya!”
“Ya sudah, sekarang kamu ganti seragam ya. Besok mau dipakai lagi, kan?” ucap pak Handoyo dan Syukur langsung patuh.
Syukur memasukkan semua bukunya ke dalam tas, kemudian masuk ke dalam kamar mereka.
“Syukur ...?” Suara kakek-kakek kembali terdengar.
Dan dengan refleks, syukur menjawab sambil menoleh ke belakang, “Iya, Kek?”
Namun di teras depan, ternyata sang kakek sudah tidak ada. Malahan ternyata, kakeknya sudah di kebun ujung. Pak Handoyo tengah mengambil pelepah pohon palem dan tampaknya baru jatuh karena tadi, Syukur belum lihat ada pelepah di sana.
Yakin tadi sang kakek yang memanggil, Syukur sengaja menghampiri sang kakek. Syukur belum ganti seragam, dan hanya baru menaruh tasnya di meja kamar.
“Kakek, tadi Kakek panggil aku?” tanya Syukur sambil menatap sang kakek yang juga sudah langsung menoleh sekaligus menatapnya.
Pak Handoyo menggeleng. “Enggak, ... Kakek enggak panggil kamu. Sudah kamu ganti seragamnya. Takut kootor, buat besok lagi.”
“Kalau tadi yang panggil bukan kakek, terus yang panggil aku, siapa?” bingung Syukur.
Namun, pak Handoyo tak sedikit pun curiga apalagi khawatir. Sebab pak Handoyo yakin, Syukur hanya salah dengar. “Mungkin kamu salah dengar.”
“Tapi kayaknya enggak deh Kek. Soalnya dari di sekolah juga sudah ada yang panggil-panggil,” balas Syukur dan jadi membuat pak Handoyo menerka-nerka.
Sejauh ini, Syukur tidak pernah berbohong. Buktinya, pemenggalan di hutan Tua, dan juga semak-semak berjalan di Hutan Tua, juga benar adanya.
“Kalau gitu, nanti kalau ada yang manggil-manggil kamu lagi, bilang ke Kakek, ya!” ucap pak Handoyo sambil tetap memegang pelepah pohon palem.
Syukur mengangguk paham dan segera kembali masuk ke dalam kamar. Sementara yang dilakukan pak Handoyo ialah memboyong pelepah palem tang ia bawa, keluar dari rumah. Karena Rain pernah berpesan, jika ada ranting atau pelepah besar yang jatuh, langsung dibuang keluar rumah saja agar tidak mengganggu pemandangan.
Di tempat berbeda, ibu Rokayah yang sudah bertemu Ibrahim, malah diberi pakaian semak-semak. Sebuah golok tajam juga turut Ibrahim berikan.
“Penggal semua leher mereka apalagi anak-anak yang datang ke sini!” tegas Ibrahim dengan suaranya. Namun kedua matanya, semuanya berwarna putih. Hanya ada satu titik warna hitam dan itu sangat kecil.
“Ibra ... kenapa kamu meminta Mama melakukan semua ini? Ayo kita pulang saja,” ucap ibu Rokayah.
“Lalu matamu ... kenapa matamu begitu, Bra?” tanya ibu Rokayah yang sudah menerima goloknya. Andai ia tak memakai pakaian semak-semak berjalan, tentu ia hanya memakai pakaian daalam.
“Ya sudah ayo kita pulang. Terus, kita pergi berobat. Apa, kamu masih bisa mengobati seperti kemarin-kemarin?” ucap ibu Rokayah.
Pada dasarnya, ibu Rokayah memang belum tahu menahu dengan perjanjian gaib yang telah sang suami lakukan dan sampai melibatkan Ibrahim.
“Mama di sini saja. Lakukan semua arahan yang aku berikan. Karena kita memang harus balas dendam!” tegas Ibrahim.
Terlepas dari semuanya, meski wujud Ibrahim masih sama dengan putra kebanggaannya. Bagi ibu Rokayah, mata dan juga suara Ibrahim yang sekarang sangat berbeda dengan Ibrahim yang ia kenal.
“Percaya padaku, Ma. Lakukan lah semua yang aku arahkan. Sekarang, Mama istirahat di rumah itu saja. Namun jika ada anak-anak apalagi Syukur datang, pegangggaal lehernya! Karena gara-gara mereka juga, ayah dipenjara!” tegas Ibrahim dengan suara berbeda lagi.
Seberapa pun ibu Rokayah merasa berbeda pada keadaan putrinya. Seberapa pun rasa ingin membawa putranya pergi dari sana, terus hadir memenuhi hati ibu Rokayah. Kenyataan bahwa bocah di hadapannya berwujud Ibrahim putranya, membuatnya tidak bisa untuk menolak. Apalagi setelah tangan kanan Ibrahim diletakan di ubun-ubun ibu Rokayah disertai bibir Ibrahim yang jadi komat-kamit. Pikiran ibu Rokayah jadi melayang tidak jelas.
Tak lama kemudian, ibu Rokayah mendadak merasa sangat mengantuk. Sedangkan kakinya dengan sendirinya melangkah menuju rumah tempat di mana Iman dipenggaal. Darah mengering masih menghiasi lantai depan di sana dan terbilang banyak. Itu darah Iman dan memang belum dibersihkan. Padahal bagi mereka yang paham, darah dari korban kecelakaan pun tetap wajib dibersihkan khususnya oleh pihak keluarga. Selain itu, juga wajib dibuatkan yasin atau malah tahlilan khusus. Agar sang pemilik darah bisa dimudahkan. Bagi mereka yang masih sakit, bisa jadi dimudahkan penyembuhannya. Namun bagi mereka yang meninggal, biasanya arwah mereka bisa istirahat dengan tenang.
Ibu Rokayah merasa belum lama tidur. Namun sudah ada yang membangunkannya. Sosok tersebut mengguncang pelan pinggangnya yang kemudian diusap mesra. Yang membuat ibu Rokayah syok, pelakunya justru sang suami. Padahal seingat ibu Rokayah, pak Yusna suami ya terancam dipenjara seumur hidup bahkan mati.
“Ayah, kenapa Ayah ke sini?” tanya ibu Rokayah. Ia berusaha bangun, tapi ia tak kuasa melakukannya. Kepalanya terlalu berat dan membuatnya kesulitan melakukannya.
“Ayah kangen Mama. Makanya Ayah ke sini. Ibrahim yang ngasih tahu Ayah, kalau Mama di sini,” ucap pak Yusna dan lagi-lagi dirasa ibu Rokayah bersuara berbeda dari suara suaminya yang biasanya.
Namun, fisik maupun rupa pak Yusna yang sekarang dan memang sangat mirip, membuat ibu Rokayah tak kuasa memungkirinya. Ditambah lagi, ibu Rokayah juga sangat rindu pada sang suami. Ibu Rokayah menginginkan keutuhan keluarganya lagi.
“Aku rindu kita yang dulu. Aku rindu kita bisa di rumah dan hidup normal bersama Ibra, Ayah!” usak ibu Rokayah benar-benar nelangsa tak lama setelah ia yang hanya memakai pakaian daalam, memeluk erat punggung pak Yusna menggunakan kedua tangan.
Namun, benarkah pria yang tak segan mencuumbu tubuh ibu Rokayah tersebut, benar-benar pak Yusna? Jika pada kenyataannya, di tempat berbeda, dan itu di sel tahanan, pak Yusna justru tengah dikerroyok oleh rekan tahanannya. Pak Yusna sudah babak belur tak berdaya. Namun penyiiksaan tersebut terjadi karena kejahatan yang telah pak Yusna lakukan dna membuatnya dipenjara. Kenyataan yang sudah terbiasa terjadi di lingkungan narapidana.