"Kita akan menikah dua bulan lagi, sampai kapan kita akan merahasiakan ini pada Raya?"
Deg
Raya mematung. Kakinya tiba - tiba melemas. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang sahabat. Haidar dan Sintia akan menikah? Bahkan pernikahan mereka sudah didepan mata. Bukankah itu artinya hubungan mereka sudah pasti terjalin sejak lama? Tersenyum miris, Raya merasa jadi manusia paling bodoh yang mudah dipermainkan.
Pulang dengan luka hati, siapa sangka tiba - tiba datang lamaran dari Axelio, anak sahabat lama Papanya. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan singkat, Raya memutuskan menerima pinangan Axel.
Lantas, akankah kehidupan rumah tangga Raya dan Axel bahagia? Bagaimana cara Axel membuat Raya move on dan berubah mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AfkaRista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Semua orang bernafas lega setelah Raya tertidur. Dokter terpaksa memberinya obat penenang. Usai mengetahui jika dirinya keguguran, Raya langsung histeris. Perempuan itu menyalahkan dirinya sendiri yang tidak peka terhadap kehamilannya.
"Sebaiknya kalian pulang, biar aku yang menjaga Raya disini. Istirahatlah dirumah"
"Mama tidak mungkin meninggalkan Raya di saat seperti ini"
Axel menatap mertuanya, "Mama bisa percaya padaku. Aku akan menjaga Raya dengan baik"
"Benar kata Axel, Ma. Sebaiknya kita pulang. Kondisi emosional Raya sedang tidak stabil. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri"
Mama Raisa menghela nafas berat. Jika dirinya tidak keceplosan tadi, mungkin kondisi Raya bisa jauh lebih baik sekarang.
"Baiklah, kami akan pulang. Tolong jaga Raya dengan baik"
"Pasti, Ma"
"Papa juga akan pulang. Kabari Papa jika butuh bantuan", pamit Papa Brama
"Iya"
Usai kepergian orang tuanya, Axel kembali duduk disamping sang istri. Ditatapnya wajah Raya yang tertidur pulas. Masih ada sisa air mata di pipi. Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kita pasti bisa melewati semua ini, Sayang"
Masih terngiang di benak Axel bagaimana histeris dan sedihnya Raya saat mengetahui jika dirinya telah kehilangan calon bayi mereka.
"M-mama bilang apa? A-aku keguguran?"
Mama Raisa terlihat gusar. Ia reflek mengatakan itu karena kaget mendengar cerita Raya.
"Kenapa semuanya diam? Jawab!!"
Axel menghela nafas, "Benar Sayang. Kamu keguguran"
Raya tertawa miris, air mata seketika jatuh dari pipinya, "Aku keguguran? Aku kehilangan anakku. Bagaimana bisa aku tidak tahu jika aku hamil? Ibu macam apa aku ini"
"Sayang, dengarkan Mama. Tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi. Bukan salah kamu juga jika tida-"
"Semua ini salahku, Ma!! Aku yang tidak peka dengan kehadirannya!! Aku terlalu sibuk dengan diri sendiri hingga tak menyadari jika dia sudah tumbuh dirahimku!! Aku ... Aku yang telah membuatnya pergi!! Aku membunuh anakku sendiri!!"
Raya memukuli dadanya sendiri dengan keras, meremasnya dengan kuat sambil berteriak histeris, "HARUSNYA AKU YANG MATI!! BUKAN DIA!! BUKAN ANAKKU!!"
"Sayang tenanglah"
Semua orang tampak panik, Axel memegangi tangan Raya agar perempuan itu tak terus memukuli dadanya. Mama Raisa sendiri berusaha menenangkan putrinya.
"Sayang, dengarkan Papa. Jangan seperti ini, Nak dia pasti sedih melihat Mamanya seperti ini"
"IBU MACAM APA AKU INI??! IBU MACAM APA?!! AKU MEMBUNUH ANAKKU SENDIRI. AKU MEMBUNUHNYA!!ARRGGG!!!"
Karena kondisi Raya semakin tak terkendali, Papa Brama terpaksa memanggil dokter. Akhirnya dokter menyuntikkan obat penenang karena khawatir Raya akan semakin tak terkendali.
Axel mengusap sudut matanya, "Aku janji aku akan menjagamu dengan baik. Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi"
🌿🌿🌿
Samar - samar Axel mendengar suara isak tangis. Matanya perlahan terbuka. Dia terkejut karena Raya tidak ada di ranjangnya, selang infus juga menggantung. Tetesan darah dilantai menandakan jika Raya telah membuka infusnya dengan paksa.
"Sayang, kamu dimana?!!"
Axel berlari ke kamar mandi karena suara tangisan Raya terdengar dari sana, "Ya Allah Raya!!"
Axel menggendong sang istri lalu kembali menaruhnya di brangkar. Dia bergegas keluar dan berteriak minta tolong, "Dokter!! Tolong istri saya"
Tak lama dokter berlari masuk kedalam, "Astaga. Kenapa bisa seperti ini?"
"Sepertinya istri saya berusaha memotong nadinya sendiri", sahut Axel dengan suara bergetar
"Suster siapkan perban"
"Baik, dok"
Pandangan perempuan itu kosong dengan air mata yang masih mengalir di pipi. Tanpa membuang waktu, dokter langsung mengobati luka di tangan Rani. Pria berumur itu menatap wajah Raya, tidak ada ringisan ketika luka tersebut di obati. Artinya Raya sudah mati rasa.
Dokter menghela nafas, "Beruntung lukanya tidak terlalu dalam. Pendarahannya juga sudah berhenti"
"Terima kasih, dok"
"Tolong jaga istri Anda lebih ekstra. Disaat seperti ini, psikis pasien masih terguncang. Dia belum bisa menerima kenyataan atas kehilangan calon bayinya. Saya khawatir, dia bisa melakukan tindakan nekat lainnya"
"Tentu dok. Saya akan menjaganya lebih baik lagi"
"Kalau begitu, saya permisi"
Axel menatap sang istri. Melihat pandangan kosong Raya, Axel merasa terpukul. Dia merasa gagal dua kali. Jika saja ia terlambat bangun, entah bagaimana nasib istrinya itu. Beruntung ia masih sempat menyelamatkannya. Jika tidak, maka Axel tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Sayang, Mas tahu kamu sangat kehilangan calon anak kita. Tapi Mas mohon, jangan melakukan hal seperti tadi ya. Mas juga kehilangan tapi jangan menyakiti diri kamu sendiri seperti tadi. Mas tidak akan bisa memaafkan diri Mas sendiri kalau sampai terjadi apa - apa padamu"
"Aku ingin bertemu dengannya" lirih Raya dengan suara yang sangat pelan
"Dengan bunuh diri?", Raya tidak menjawab
"Kamu ingin meninggalkan Mas sendirian? Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi?"
Raya tetap tidak menjawab, ia hanya menangis dalam diam.
"Mas mohon, Sayang. Mas mohon jangan seperti ini"
"Aku ibu yang buruk kan? Aku bahkan tak menyadari kehadirannya. Bagaimana bisa ada seorang ibu yang begitu buruk sepertiku. Dia pasti kecewa padaku, Mas. Dia pasti benci padaku. Aku ... Aku hanya ingin meminta maaf padanya"
"Dengan cara mengakhiri hidupmu sendiri?!!"
"Dia tidak mau menemuiku. Jadi aku yang akan menemuinya"
Axel tertawa miris, tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. "Apa kamu pikir, setelah kamu mati kamu akan bertemu dengannya?!"
Melihat suaminya menangis, Raya tertegun, "Aku-"
"Kamu ingin meninggalkan Mas, kan? Kamu ingin menyusul dan bertemu dengan anak kita? Kalau begitu, Mas duluan yang akan meninggalkanmu!"
Axel mengambil pisau buah yang ada di nakas,
"Jangan!!!" Raya turun dari ranjang, dia menahan tangan Axel, "A-aku mohon jangan lakukan itu!!"
"Bukankah kamu tidak mencintaiku lagi!! Kamu ingin meninggalkan aku kan?!! Lalu untuk apa lagi aku hidup!!"
Raya memeluk suaminya, tangannya bergetar hebat. Dia menggeleng dan menangis, "Tidak. Aku ... aku mencintai kamu Mas. Jangan tinggalkan aku sendirian!! Jangan!! K- kalau kamu juga pergi, aku dengan siapa? Anakku sudah pergi. Aku tidak mau kehilangan kamu juga"
Axel menjatuhkan pisaunya dilantai, dia memeluk Raya dengan erat. Keduanya sama - sama menangis, "Mas tahu ini berat untuk kita. Untuk kamu. Tapi mengakhiri hidup bukanlah solusi. Apa kamu pikir anak kita tidak sedih melihatmu seperti ini? Dia pasti sedih sekali"
"A-aku minta maaf. Aku hanya-"
"Jangan di ulangi lagi ya. Kamu tahu? Rasanya Mas mau mati melihatmu seperti tadi. Tolong jangan lakukan itu lagi. Mas tidak bisa hidup tanpa kamu"
Raya mengangguk, "A-aku janji"
Axel menatap wajah istrinya yang tampak lusuh dan pucat, "Sekarang kamu tidur. Mas akan menjaga kamu"
Perempuan itu kembali mengangguk, Axel membantu sang istri naik ke atas ranjang. "Temani aku ya, Mas. Jangan kemana - mana"
"Tentu. Sekarang tidurlah, Mas tidak akan kemana - mana"
🌿🌿🌿
Sintia tampak gelisah. Sejak tadi dia tak bisa memejamkan mata. Bayangan wajah Raya yang mengerang kesakitan serta pahanya yang mengeluarkan darah terus mengusik ingatannya. Apa Raya sedang hamil? Lalu bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Melihat banyaknya darah yang keluar dari tubuh Raya membuat Sintia takut
"Apa Raya benar hamil? Lalu bagaimana jika dia keguguran?
Sintia terus gelisah, hal itu membuat Haidar berdecak kesal.
"Kalau kamu belum mau tidur, lebih baik jangan disini! Duduk di sofa sana! Aku lelah bekerja seharian! Aku capek! Ingin istirahat!! Membuatku terganggu saja!!"
Sintia tidak menjawab, dia beranjak dari ranjang lalu duduk di sofa. Pikirannya tidak tenang, dia terus memikirkan bagaimana kondisi Raya sekarang.
Sintia terus terjaga hingga tengah malam, matanya sudah sangat berat. Tapi dirinya belum mampu memejamkan mata.
"Tidak ada yang terjadi, Sin. Semua baik - baik saja" gumam Sintia menenangkan dirinya sendiri
Perempuan itu merebahkan tubuhnya di sofa, perlahan mulai memejamkan mata. Hingga tak lama ia terlelap
"Kenapa kamu membunuhku, Sintia?"
"R-raya? T-tidak mungkin. K-kamu sudah mati?"
Wajah Raya tampak begitu pucat. Baju yang dia kenakan masih sama seperti tadi siang.
"Sakit, Sin. Perutku sakit sekali. Arrgghhh!"
Sintia gemetar, dilihatnya di antara kaki Raya mengeluarkan begitu banyak darah
"Sakit Sintia. Kenapa kamu tega membunuhku. Kenapa Sin?!"
"Aku tidak membunuhmu, Ray. Aku tidak membunuhmu!!"
"Kamu membunuhku Sintia. Kamu telah membunuhku dan juga bayiku!"
"Tidak! Aku tidak membunuhmu!! AKU TIDAK MEMBUNUHMU!!"
"HAH HAH HAH!", Sintia terbangun. Tubuhnya masih bergetar. Keringat juga membasahi seluruh tubuhnya. "A-aku hanya bermimpi"
"Siapa yang sudah kamu bunuh, Sintia?"
"H-haidar!!"
🌿🌿
Yuk jangan lupa di like dan komen ya. Terima kasih
raya keburu ngambil keputusan Nerima lamaran harusnya meminta penjelasan dulu..
Wkwkwkwkw Seram memang ada mak mak yg begini
Hiiiiiiiii
Orang tua egoissss
Kampreeet
Enakan di axel
klw dandan selalu ditanyak adek mau kemana dandan cantik",, maksud hati mau nyenengin suami tapi kata suami gk usah, nanti klw ada yg naksir gimana?? 😜😜😜😜
suamiku lebai amat yah 😄😄😄😄😄
jgn2 ...nnti kmu mati d tgn sintia pas ngrlindungi raya.gpp kl gitu.biar mamamu nyadar bahwa sintia yg dia elu2kan malah bunuh anaknya