Anthony Chavez, ibunya Barbara, istrinya Dorothy dan kedua anak lelakinya Ethan Chavez dan Fred Chavez, ditemukan polisi sudah tidak bernyawa dengan tubuh lebam kebiruan di dalam kamar. Keempat jenazah itu saling bertumpuk di atas tempat tidur. Di dalam tubuh mereka terdapat kandungan sianida yang cukup mematikan. Dari hasil otopsi menyatakan bahwa mereka telah meninggal dunia lebih dari 12 jam sebelumnya. Sedangkan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez yang masih berusia 8 bulan hilang tidak diketahui keberadaannya. Apakah motif dari pembunuhan satu keluarga ini? Siapakah pelakunya? Dan Bagaimanakah nasib Patricia Chavez, anak bungsu Anthony? Temukan jawabnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bas_E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23. Menuju Ramsey (1)
Daniella duduk di tepi ranjang rumah sakit dengan menghadap ke jendela kamar. Infus di tangan kanannya masih terpasang. Tatapan matanya kosong, menembus jendela kaca kamar rawat inap itu. Ekspresinya datar cenderung dingin. Mulutnya diam tertutup rapat. Sejak ia membuka mata setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam, tak sedikit pun ia mengeluarkan suara. Entah itu berupa tangisan atau rintihan.
Klotak.. Klotak..Klotak..Klotak..
Bunyi langkah-langkah kaki berjalan mendekat ke arahnya. Seorang pria berjas putih (snelli) dan dua orang wanita berpakaian perawat memasuki ruang rawat Daniella.
Ceklek....
Terdengar suara pintu dibuka bersamaan dengan suara sapaan ramah.
"Selamat pagi, Daniella. Bagaimana kabarmu hari ini?" Pria bersnelli menyapa Daniella dengan senyuman tersungging di wajahnya. Di dada kanan snelli yang dikenakannya tertulis nama Ben Carson dengan benang merah menyala.
Sunyi. Tak ada jawaban dari pertanyaan itu. Dan orang yang ditanya tidak sedikitpun mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara.
"Daniella. Apakah kau mendengarkanku?" Dokter itu berjalan mendekat ke arahnya. Selanjutnya ia duduk di tepi tempat tidur, persis di samping Daniella.
"Kau sedang melihat apa?" Dokter Ben mengikuti arah pandangan Daniella.
"Adakah yang menarik di luar sana, Hmmm?" Diam tak ada jawaban. Dokter Ben menatap lekat wajah Daniella tanpa melepaskan senyumannya.
"Tak inginkah kau berbagi denganku?" Tanya dokter Ben selanjutnya.
"Heii.. Apakah dokter tampan ini tidak menarik perhatianmu itu, Nona?" Pertanyaan Ben berikutnya setelah menunggu selama 80 detik. Dua orang perawat yang berdiri tak jauh di belakang dokter Ben, hanya bisa saling melempar senyuman. Pertanyaan yang cenderung narsis itu pun kembali tidak ada jawaban.
Berbagai pertanyaan yang dilontarkan dokter Ben, tidak membuat gadis 12 tahun itu memalingkan wajahnya. Mengubah ekspresinya pun tidak.
Tak lama kemudian... Tok.. Tok.. Tok..
Emma masuk tergesa-gesa ke ruang rawat Daniella dengan nafas yang sedikit tidak teratur.
"Selamat pagi, Dokter. Maaf aku baru saja dari luar. Apakah anda telah menunggu lama?"
Dokter Ben mengalihkan pandangannya. Ia tersenyum ke arah Emma sembari bangkit dari duduknya.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Aku juga baru saja datang."
"Benarkah?"
"Huum."
"Syukurlah kalau begitu." Ujar Emma lega.
"Kau tenangkanlah dahulu dirimu. Tarik nafas, hembuskan, tarik nafas, hembuskan perlahan..." Dokter Ben memberi instruksi sembari mencontohkan. Emma pun mengikuti petunjuk dokter Ben. Mengatur pernapasannya perlahan.
"Mmmmm.... Hhhhhhh... "
"Sudah lebih baik?"
"Sudah Dokter. Terimakasih.. "
Dokter Ben tersenyum lega. "Sebenarnya Nyonya baru datang dari mana?"
"Aku baru dari Sekolah Dasar Minnesota, Dokter. Menyelesaikan beberapa berkas milik Nona Daniella. Dan aku berusaha kembali secepatnya setelah menyelesaikan semua urusan di sana."
"Ohh. Begitu."
"Iya Dok. Lalu, bagaimana perkembangan kondisi Nona Daniella saat ini, Dok?"
"Sebentar." Dokter Ben mengalihkan pandangannya pada salah seorang perawat yang tadi datang bersamanya. "Eliza."
"Iya, Dok."
"Mana berkas yang aku titipkan padamu tadi?"
Perawat yang bernama Eliza itu kemudian menyerahkan rekam medis yang disimpan dalam map berwarna putih yang ia bawa. Map itu berisi lembaran berkas catatan dan dokumen tentang identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis milik Daniella.
"Ini, Dok."
Dokter Ben membacanya catatan itu sebentar.
"Bagus. Kondisi fisiknya bagus. Hasil uji lab pagi ini bagus. 85% lebih baik. Sisanya bisa rawat jalan. Asalkan obatnya dihabiskan dan diminum seusai resep yang nanti akan aku berikan." Jawab dokter Ben mantap.
"Syukurlah. Jadi Nona sudah bisa pulang hari ini, Dok? "
"Sudah. Daniella sudah boleh dibawa pulang untuk rawat jalan. Tapi Nyonya, apakah anda mau mendengarkan sedikit saran dariku?"
"Boleh, Dok. Apakah itu?"
"Untuk keadaan Daniella saat ini secara fisik sudah lebih baik. Namun secara psikis, aku sedikit meragukannya."
"Hmm. Apakah yang harus aku lakukan, Dok?"
"Saranku Nyonya, temuilah seorang psikiater yang bisa kau percaya. Jika Anda tidak mempunyai referensi, aku bisa merekomendasikan temanku. Ia seorang psikiater yang berpengalaman. Tempat prakteknya ada di tengah kota Minnesota. Kau bisa mengunjunginya akhir pekan ini."
"Tapi, Dok. Aku berencana pulang ke kampung halamanku di Ramsey. Dan aku akan membawa Nona Daniella bersamaku."
"Hmm.. Begitu, ya?"
"Ya, Dok."
"Apakah Daniella benar-benar sudah tidak memiliki sanak saudara lain yang bisa diandalkan untuk merawatnya?"
"Aku tidak mengetahui dengan pasti di mana keluarga mendiang Tuan Conley berada, Dok. Yang aku dengar dari pengacaranya, mendiang mempunyai keluarga besar semua bermukim di California. Selama aku bekerja, tidak pernah sekalipun mendiang menyebut atau memperkenalkan keluarganya padaku. Jadi, pilihan terbaik untuk saat ini adalah membawa Nona Daniella bersamaku, sampai nanti ada sanak keluarga yang akan menjemputnya dan bersedia untuk merawatnya."
"Situasi yang sangat sulit harus di hadapi anak sekecil itu." Dokter Ben memandang dengan perasaan iba ke arah Daniella disertai helaan nafas pelan. "Kalau demikian, aku akan memberikan beberapa catatan. Nanti begitu Nyonya tiba di Ramsey, berjanjilah padaku kau akan mengunjungi seorang psikiater. Dan serahkanlah catatan yang akan aku berikan nanti padanya."
"Baik, Dok. Aku akan mengingat pesan dan nasehat darimu."
.
.
Pada hari itu juga satu jam kemudian, setelah menyelesaikan semua urusan administrasi, Emma memutuskan untuk segera pulang ke Ramsey begitu Daniella diizinkan keluar dari rumah sakit.
"Nona, ayo kita pulang." Ujar Emma sembari membantu Daniella berganti pakaian. "Dokter sudah mengizinkan untuk rawat jalan. Nona senang kan?" Emma menatap wajah Daniella yang sedikit pun tidak melirik padanya. Namun ia tetap melanjutkan ucapannya. "Karena kondisi rumah Nona saat ini belum memungkinkan untuk ditempati, sementara waktu, Nona ikut denganku ke Ramsey. Nona setuju kan? " Ucapan Emma mampu menarik perhatian gadis kecil itu. Walaupun bibirnya tidak berucap, tetapi tatapan matanya tidak menunjukkan penolakan. Sejumput senyum tersungging dari wajah Emma. "Baiklah. Ayo kita segera berkemas. Perjalanan kita akan sangat menyenangkan. Aku yakin, Nona akan menyukai Ramsey."
.
.
Sementara itu 1885,4 mil dari Minnesota, di sebuah ruang kerja di University of California, San Francisco (UCSF), Profesor Jylan Jackson sedang menatap lekat layar komputernya. Sebuah berita harian online yang baru saja dibukanya, mengabarkan tentang kematian tragis yang menimpa seorang ahli biologi yang bernama Sean Conley bersama rekan kerja, Anna Howard. Tidak ingin mempercayai suatu berita yang disajikan satu situs online, Jylan mencari kebenaran kabar itu ke mencari mesin pencarian online. Dan benar saja, berita itu ternyata bukan isapan jempol belaka. Peristiwa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu itu sungguh membuat Jylan terhenyak.
"Ya Tuhan...." Jylan mengusap wajahnya kasar sembari menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Kesibukannya akhir-akhir ini membuat dirinya seakan terisolir dari dunia luar. Bisa-bisanya berita sepenting itu, ia terlambat mengetahuinya. Bagaimana caranya ia menceritakan hal itu pada istrinya di rumah?
.
.
.