Ketika seorang gadis yang hidupnya hanya untuk membalaskan dendam kematian keluarganya, tapi hati gadis itu ditakdirkan untuk mencintai pembunuh keluarganya. Akankah gadis itu memilih memaafkan pembunuh keluarganya atau terus pada tujuan utamanya yaitu balas dendam? Ikuti keseruannya yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Bawa kemari!" perintah Matthew, yang langsung dituruti oleh Reygan dan Gibran.
Reygan dan Gibran memegang Cainsley di tengah-tengah Zylva dan Matthew. Zylva menatap Cainsley dari atas sampai bawah. "Bagian mana dulu ya?" tanya Zylva sambil mengeluarkan sebilah pisau. "Tangan aja deh." jawabnya sendiri.
"Nggak! Lo mau ngapain?!" teriak Cainsley ketika Zylva mendekatkan pisau ke lengan kanannya.
"ZYLVA!" bentak Raka yang baru saja datang.
"KAK RAKA!" teriak Cainsley memanggil kakaknya dengan mata yang berkaca-kaca karena ketakutan.
"Oh? Pahlawannya baru datang?"
"Jangan lakuin itu! Gue mohon!" ucap Raka.
Tapi sama sekali tidak di dengarkan oleh Zylva. Raka berusaha menyerang Zylva untuk menyelamatkan sepupunya tetapi dihadang oleh Matthew dan Varrel yang baru saja datang. Sedangkan Zylva, gadis itu malah tersenyum miring dan mulai menggoreskan pisaunya ke lengan Cainsley.
"Aaaakhh!!"
"Cainsley!"
"Kalimat terakhir cantik." ucap Zylva sambil menempelkan ujung pisaunya ke dada kiri Cainsley.
"Please jangan bunuh gue!" ujar Cainsley sambil menangis sesenggukan.
"Oke, kalimat diterima. Tapi gue gak bisa nurutin itu." jawab Zylva kemudian langsung menikamkan pisau tersebut tepat di jantung Cainsley.
"CAINSLEY!!!"
Melihat pemandangan tersebut Raka tidak melawan lagi. Lututnya terasa lemas. Melihat adiknya dibunuh tepat didepan matanya tetapi dirinya tidak bisa melakukan apa-apa.
Sratt.. Zylva mencabut pisaunya dari dada Cainsley, darah mulai membasahi baju gadis itu. Dan brukk.. Ketika Gibran dan Reygan melepaskan Cainsley, gadis itu langsung ambruk ke depan dengan keadaan sudah tidak bernyawa.
Raka langsung menghampiri adiknya tersebut, Matthew ataupun Varrel tidak menghalanginya. Karena tujuan mereka sudah selesai untuk menghabisi Cainsley di depan Raka.
"Ley, bangun Ley.." Raka terus menepuk-nepuk pipi adik sepupunya tersebut. Tetapi tetap saja sia-sia. Cainsley sudah tiada. "Maaf, maafin gue... " bisik Raka lirih di telinga Cainsley yang sudah tidak bernyawa.
Setelah membisikkan hal itu Raka meletakkan kepala adik sepupunya pelan-pelan kemudian dia berdiri menatap Zylva dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Kenapa harus Cainsley?" tanya Raka dengan suara serak.
"Karena dia orang kesayangan Lo." jawab Zylva dengan santai. Tetapi tanpa disadari seorangpun yang ada disana tangan Zylva sedikit gemetar memegang pisau yang baru saja dia gunakan untuk menikam Cainsley.
"Lo bisa langsung bunuh gue. Jangan yang lain. Gue yang bunuh keluarga Lo. Harusnya Lo gak bunuh dia yang gak bersalah!" bentak Raka.
Sratt.. sedetik setelah Raka membentak Zylva tiba-tiba seseorang melempar sebuah belati kecil ke arahnya hampir menyayat mulutnya.
"Jangan berani membentak adik gue! Lo gak berhak ngelakuin itu!" ucap Matthew sambil menatap tajam Raka. Ya cowok itu yang melemparkan belati tadi. Dia tidak suka adiknya di bentak, karena dia sendiri sangat jarang membentak adiknya. Bahkan hampir tidak pernah.
Zylva tersenyum tipis melihat respon kakaknya. Kemudian beralih lagi menatap Raka. "Sebelum ke neraka, Lo harus ngerasain sakitnya neraka bumi dari seorang Zylvanca." ucap Zylva. Kemudian pergi dari hutan tersebut bersama saudara-saudaranya.
Raka mematung. Dia merasa sangat bersalah atas kematian Cainsley. Apa yang akan dia katakan kepada pamannya di Yogyakarta? Semarah apa dia nanti? Apa hukuman yang akan dia terima jika orang tuanya tahu dia tidak bisa melindungi sepupunya sendiri?
"Gue emang pengecut." gumam Raka sambil tersenyum miris. Cowok itu menatap jenazah Cainsley yang tergeletak bersimbah darah. Darah gadis itu sudah menyebar ke area sekitarnya karena tercampur air hujan. "Maaf." setelah mengatakan hal itu dia menelepon Daffi dan Gilang untuk membawa jenazah Cainsley ke rumah. Dia tidak ingin orang tuanya tahu bahwa dia penyebab kematian Cainsley. Memang benar-benar pengecut. Dia tidak ingin mendapatkan hukuman kejam itu lagi.
Tanpa menunggu Daffi dan Gilang datang Raka pergi dari hutan tersebut membiarkan jenazah Cainsley sendirian. Dia tidak ragu meninggalkannya karena tahu di hutan tersebut tidak ada binatang buas.
*
Waktu sudah lewat tengah malam. Jalanan sudah benar-benar sepi. Cowok itu kebut-kebutan di jalan untuk melampiaskan kemarahannya. Bukan hanya marah kepada Zylva, dia juga marah kepada dirinya sendiri. Disaat seperti ini, dia malah kabur untuk menghindari hukuman orang tuanya. Memang di mata orang itu pengecut. Tapi jika tidak melakukan itu, dia pasti akan dihukum lebih parah dari kemarin.
"Cainsley..." panggil Raka lirih. Di benaknya teringat bagaimana gadis itu tersenyum kepadanya. Canda tawanya. Sekarang karena dia gadis kesayangannya tersebut harus mati.
Raka menghentikan motornya di sebuah pantai. Dalam keadaan hujan deras disertai petir seperti ini, laut terlihat sangat menyeramkan. Ombak besar berkejar-kejaran. Gelap. Kilat menyambar berulang kali di tengah laut. Seolah-olah alam marah kepadanya.
"Kenapa gue harus lahir di keluarga itu?" gumam Raka sambil duduk di bawah pohon kelapa menatap ombak laut yang besar.
"Andai gue gak lahir di keluarga Mafia, gue gak perlu bunuh mereka. Cainsley gak akan mati." ucap Raka di dalam hatinya.
Jujur saja, dia juga tidak ingin membunuh keluarga Zylva dan yang lainnya. Setiap setelah membunuh seseorang, cowok itu merasa sangat bersalah. Dia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya. Karena orang tuanya menuntut dirinya agar mental dan fisiknya sekuat baja.
Raka disuruh membunuh untuk melatih mentalnya agar tidak ragu membunuh musuh. Dan dihukum dengan kejam agar fisiknya kuat. Nyatanya itu tidak sia-sia. Fisiknya Benar-benar kuat. Dia tidak merasakan sakit saat terluka. Tidak ambruk walau dihukum dengan keras. Kemarin adalah pertama kali dirinya tumbang karena dihukum orang tuanya.
"Om, Tante... dan semuanya. Maaf, saya gak berniat membunuh kalian. Saya terpaksa. Dan saya terlalu pengecut untuk melawan mereka." ucap Raka sambil menatap langit yang masih menurunkan hujan dengan derasnya.
"WOI GOBLOK! NGAPAIN LO DISITU TOLOL! LO MAU DI SAPU OMBAK?!" teriak seseorang yang tak lain tak bukan adalah Daffi. Cowok itu menghampiri Raka yang terlihat putus asa.
"Jangan kayak gini, Lo buka Raka yang kuat yang gue kenal." ucap Daffi.
"Gimana Cainsley?" tanya Raka.
"Gilang yang bawa dia ke rumah Lo. Gue pastiin orang tua Lo gak tahu apa-apa tentang seluk beluk kematian Cainsley." ucap Daffi.
"Hm, thanks."
"Ayo balik, disini bahaya. " ujar Daffi. Ya jelas bahaya di pinggir pantai dalam keadaan hujan badai seperti ini. Apalagi ombak di pantai tersebut sangat besar hampir menutupi seluruh permukaan pantai. Bahkan tempat dimana Raka duduk sudah beberapa kali tersapu ombak.
"Biarin, biar alam yang ambil nyawa gue. Dosa gue terlalu banyak."
Daffi mengerutkan keningnya mendengar hal itu. Cowok itu langsung tahu bahwa Raka sudah mengingat semua perbuatannya dahulu.
"Tuhan pasti benci banget sama gue." ucap Raka lagi.
"Nggak! Lo salah, Tuhan nggak benci sama Lo. Kalau Tuhan benci sama Lo, Lo nggak akan hilang ingatan." ujar Daffi. Membuat Raka menoleh kepadanya. "Itu bentuk kasih sayang Tuhan ke Lo agar Lo nggak ingat kesalahan Lo. Tuhan tahu Lo bakal terpuruk kayak gini kalau Lo terus ingat semua yang Lo lakuin dulu." sambungnya lagi.
"Kalau Tuhan sayang gue, dia gak akan biarin gue buat banyak kesalahan fatal.."
Daffi menghela napasnya. Sangat sulit menasihati orang yang sudah terpuruk. Makanya dulu Daffi sangat bersyukur Raka kehilangan ingatannya. Setidaknya cowok itu tidak akan ingat semua yang dia lakukan dan tidak akan merasa bersalah seperti ini untuk sementara waktu.
"Stop ngomong yang nggak-nggak. Sekarang pulang, atau orang tua Lo bakal curiga." ucap Daffi.
...***...
...Bersambung......