Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 11
Saat ini mereka berdua--Puja dan Kavi berada di dalam kamar, kamar yang ditinggali Kavi selama berada di rumah Arjuna.
“Lu ngapain ikutin gua sampe sini, sih?” tanya Kavi, tak sabar ingin memaki.
Puja dalam posisi berleseh di lantai, membuka isian kopernya untuk mengambil baju. Sedang Kavi berdiri di hadapannya berkacak pinggang.
Sebelumnya Kavi sempat mendebat Arjuna karena mengizinkan Puja tinggal di rumahnya juga, dan sekarang wanita itu merangsek paksa untuk bergabung dalam satu kamar yang sama. Jika begini apa bedanya dengan tinggal di rumahnya sendiri? Kavi merasa kesal.
Puja berdiri, melupakan kegiatan sebentar untuk menghadap suaminya dulu.
"Aku kan istri kamu, lupa?" Dia bertanya balik. Ranjang berkasur empuk dihampirinya lalu duduk di bagian tepi, bersilang kaki. Wajahnya terdongak pada Kavi, memasang tampang menjengkelkan yang tentu bertujuan untuk menantang.
"Hey, lu pikir ini pernikahan sungguhan?! Lu pikir kita beneran suami istri?!”
Puja mengalihkan tatap pada langit-langit, bertingkah seolah sedang berpikir, lalu menjawab, "Kan begitu adanya."
Kekesalan Kavi makin meradang sampai ke ubun-ubun. "Dengerin gua,” pintanya menggeram. Wajahnya dia dekatkan ke wajah Puja yang masih di mode mengesalkan. “Bangun dari mimpi lu dan cabut dari sini ... sekarang!”
Lain Kavi lain pula Puja, wanita itu tetap bertahan dalam modenya, santai gila. Dia tak peduli kalimat kiasan yang baru saja dilontarkan Kavi. Misinya masih tetap sama.
Menekan kasur dengan kedua telapak tangan untuk berdiri, dia lalu bergerak mendekat ke hadapan pria yang secara hukum jelas adalah suaminya. Aroma tubuh khas Kavi masih belum berubah, menyeruak ke penciuman tanpa permisi. Aroma yang seketika memancing senyuman sekaligus ingatan Puja tentang sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka, sekitar dua bulan lalu.
"Aku inget waktu itu aku lagi nyanyi di kafe, seseorang bertingkah kayak penggemar fanatik, memuji suara aku yang katanya lebih indah dari berlian. Mengejar sampai ke parkiran buat minta nomor hape aku. Dia bahkan blak-blakkan bilang kalo dia mau deket sama aku atau kalo bisa langsung jadi pasangan. Tapi---"
"Tapi itu terjadi sebelum gua tau kalo lu itu si baskom penyok!" potong tampik Kavi seraya mendorong tubuh Puja untuk menjauh. "Lu gak patut sepercaya diri itu, karena faktanya lu itu penipu!”
Iya, Kavi mengaku bahwa dia memang sangat tergila-gila pada Mocca ketika itu, tepat acara peresmian kafe milik kenalannya. Tanpa dia tahu, Mocca adalah nama panggung yang digunakan Puja saat bekerja.
Saking tergila-gila, Kavi sampai mencari tahu apa pun tentang Mocca hingga berakhir membuatnya menyesali apa yang dia lakukan.
Dari seseorang yang merupakan kawan dekat Mocca di dunianya sebagai penyanyi kafe, Kavi mengetahui beberapa poin identitas Mocca yang sebenarnya. Sampai akhir menemukan hal yang paling mengejutkan. Nama Puja Anugerah mencuat ke permukaan dalam masa ingin tahunya itu.
Ya, Puja si gadis mata kodok selebar baskom cucian yang dulu sangat dia benci eksistensinya, adalah Mocca.
Semakin benci lagi ketika takdir ternyata malah menyeretnya untuk menikahi wanita itu di masa kini.
Mengingat semua, Kavi mengetatkan rahang. Apa pun tentang Puja baginya benar-benar hanya membuang waktu.
"Aku nggak menipu!" sanggah Puja, membela diri. "Kamu yang udah buta sampe gak kenal sama aku.”
"Dulu gua benci, sangat benci. Dan sekarang ... gua semakin benci lagi ... sama lu!"
Melihat sorot mata Kavi yang membara seperti kobaran api, Puja sebenarnya merasa takut, tapi dia tidak boleh goyah. “Aku gak pedu--”
"Gua kasih waktu lu sampe tengah malem," pungkas Kavi lebih cepat sebelum Puja menyelesaikan kata-katanya. "Pergi dari sini pake kaki lu sendiri ... atau gua yang seret pake tangan gua secara kasar.” Setelah mengatakan itu, Kavi melanting keluar kamar tanpa menoleh lagi.
Jantung Puja terentak keras saat pintu dibanting kasar dari luar oleh si Kavi. Ditatapnya pintu itu dengan pandangan terkejut sekaligus sakit. Perasaannya tiba-tiba terasa tertimpa sesuatu yang sangat besar hingga sulit untuk bernapas. Diusapnya dada untuk menetralkan rasa.
"Kamu harus tenang, Puja. Kamu nggak boleh kepancing. Suasana-suasana kayak gini harus udah biasa kamu hadapi. Bertahanlah."
Meraup udara sebanyak yang dibutuhkan, Puja terus menenangkan diri.
Suara mesin mobil terdengar di halaman, segera Puja melihat melalui jendela kamar yang kini dipijaknya. Ternyata benar, Kavi pergi.
Di lantai satu, Arjuna berdiri menatap kepergian Kavi dengan sorot keruh dari serambi. Kedua tangan terselip di antara dua saku celana. Pikirannya cepat menerka, sesuatu pasti terjadi antara sahabatnya itu dan istrinya.
Sekarang tatapannya beralih ke puncak tangga.
"Apa Puja baik-baik aja?" tanya hatinya khawatir.
Tanpa berpikir banyak, dia mencelat cepat menaiki tangga untuk mengecek keadaan Puja.
Sampai di depan pintu, telapak tangannya ragu untuk mengetuk. Terdiam merunduk menatap pasang kakinya yang beralas sandal rumah berwarna putih.
Dalam posisi itu, pintu terbuka tiba-tiba dan mengejutkan muka Arjuna. Puja muncul dengan pakaian sudah berganti dan rambut disisir lurus, tergerai begitu saja.
"Jun, ada apa?"
Pria itu mendadak linglung dan garuk-garuk kepala. "Hehe, maaf, aku ... umm, tadi aku liat Kavi keluar. Aku tebak sesuatu pasti terjadi antara kalian karena muka tu anak beneran kayak mau makan orang. Umm ... karena ini rumahku, aku pikir harus bertanggung jawab kalo ada apa-apa sama tamuku" jelasnya. "Umm, Puja ... kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyanya lantas.
Puja tersenyum. "Aku gak apa-apa, kok, Jun. Kami emang bertengkar, tapi itu bukan masalah besar. Maaf bikin kamu gak nyaman.”
“Ah, iya. Gak apa kok.” Senyuman itu membuat Arjuna seperti terkena gendam. Matanya diam tanpa berkedip sampai detik merangkak jauh.
"Jun!"
Teguran Puja kemudian mengacaukannya. "Ah, ya?"
"Kamu kenapa?"
Pria bodoh itu gelagapan sendiri. "Uh, nggak, gak apa-apa, kok," elaknya, lalu mulai mencari cara. "Umm, Puja, ayo santai dan minum kopi. Kayaknya kamu butuh yang manis."
Puja terkekeh menyikapi itu. "Baiklah, ayo!" Dengan tanpa ragu digamit tangan Jun lalu berjalan bergandengan turun ke lantai satu.
Itu memacu semangat Arjuna sampai bibirnya terus melebarkan senyum.
"Kamu tunggu di sini. Aku buatin kopi yang enak buat kamu."
Puja mengangguk patuh. Empuk sofa lawsen yang menghadap taman belakang terhalang kaca, didudukinya. Sementara Jun mulai sibuk dengan mesin pembuat kopi.
Keadaan mereka di ruang yang sama. Arjuna memang sengaja mendesain ruangan itu untuk bersantai.
Ponsel digamit dari saku cardigan, Puja memainkan dan berbalas pesan dengan teman sekantor.
Pemandangan yang dia buat tak lepas dari perhatian Arjuna. Pria itu terus memerhatikan sembari terus bekerja. "Gimana bisa si tolol Kavi membenci wanita seindah Puja? Ah, gua yakin si bodoh itu cuma membual demi mempertahankan ego di masa lalu," cicit hatinya sembari menggeleng tak habis pikir.
Terhitung lima menit, dua gelas latte panas sudah terhidang. Puja menerima satu. Dia mencium aromanya sembari memejamkan mata. "Hmm, aku merasa kayak lagi di kafe."
Arjuna tersenyum, satu cangkir ada di kaitan tangannya. "Aku memang pekerja kafe, dan aku pemiliknya juga," ungkapnya.
"Serius?!"
"Hmm."
"Waah, di kafe kamu ada panggung buat nyanyi juga nggak?" Puja antusias.
"Ada dong."
"Asyik! Aku bisa nggak nyanyi di kafe kamu itu?"
Jun memandangnya sesaat tanpa bekata, lalu .... "Kamu mau?"
"Sangat! Aku kangen nyanyi pake piano dan gitarku.”
“Bisa banget tuh," kata Arjuna. “Tapi kalo cuma mau main gitar sama piano, gak usah jauh-jauh ke kafe aku.”
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..