Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PATAH HATI
Dewa mengantarkan gadis berwajah murung itu ke salah satu taman kota yang terletak dekat perumahan gadis itu.
Dia duduk di kursi panjang, bersebelahan dengan Karin yang menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.
"Beneran lo nggak apa-apa," Tanya Dewa dengan menyentuh lengan gadis di sebelahnya.
"Nggak apa-apa, Kak, udah Kakak pulang aja, makasih udah nganterin aku sampe sini," ucap Karin tanpa mendongak. Masih menyembunyikan wajahnya di balik lutut berbalut celana panjang olah raga.
Karin memejamkan mata, dia tidak menangis, hanya saja raut wajahnya seolah menunjukan setiap rasa yang sebenarnya ia ingin sembunyikan dalam diam.
Gadis itu merasakan pemuda di sebelahnya beranjak berdiri, bahkan mungkin pergi, dan dia memilih untuk tidak peduli, hingga cipratan air dingin yang mengenai lengannya, juga suara air yang terjatuh ke tanah, berhasil membuat dia mendongakkan kepala.
"Abang ngapain?" Tanya Karin setelah menurunkan kedua kakinya.
"Cuci muka."
"Bukan itu, ngapain abang disini?"
"Nyamperin lo."
"Bang Ar!"
Ardi menghentikan gerakannya mengelap wajah dengan tisu, pemuda itu menoleh, "apa sih Dek?"
"Kenapa abang nggak mau jujur sama Karin kalo Mbak Nadia nggak mau diputusin."
"Itu kan kemaren, tapi kan sekarang–",
"Dewa mana?"
Ardi berdecak sebal saat ucapannya dipotong oleh gadis itu, lebih jengkel lagi dia malah menanyakan keberadaan pemuda itu. Anjirr lah.
"Gue suruh balik."
"Abang kenapa ngusir pacar Karin."
Ardi sontak terdiam, menatap gadis itu tidak percaya, "pacar?" Tanyanya.
Karin mengangguk mantap, "tadi Karin udah nerima Dewa, dan mulai saat ini Karin bakalan berusaha buat numbuhin rasa suka Karin sama Dewa."
Ardi memejamkan mata, baru kali ini dia merasa sakit di ulu hatinya, hanya karena seorang gadis remaja, bahkan beberapa kali mengalami putus cinta tidak pernah sesakit ini.
Karin beranjak berdiri. "Kalo abang masih mau disini, Karin pulang sendiri aja," ucapnya, hendak melangkah pergi saat pemuda di sebelahnya itu malah melingkarkan kedua lengan di perutnya.
"Kalo dengan jadi pacar Dewa bisa bikin lo seneng, coba aja." Ardi membenamkan wajahnya di pinggang gadis itu, dan semakin mempererat pelukannya saat dia meronta.
"Bang, lepasin Karin, baju abang lengket banget."
"Gue nggak bakal lepasin lo sebelum lo denger satu hal."
"Apa cepetan bilang, tapi lepasin dulu."
Karin reflek meloncat mundur saat pemuda yang terduduk di hadapannya itu melepaskan kuncian lengannya. Berada terlalu dekat dengan sang abang selalu membuat perasaannya kian gelisah. Dia tidak boleh lagi merasa goyah.
"Buat saat ini, lo boleh coba jadi pacar Dewa, tapi jangan salahin gue, kalo nanti lo nggak bisa setia."
***
Ardi yang pulang dengan baju lepek padahal tidak ada hujan di luar sana membuat sang ibu jadi bertanya.
"Kamu kejebur di mana sih Ar, baju sampe kotor gitu."
Ardi yang hendak masuk ke dalam kamarnya pun menoleh, "biasa," jawabnya yang mendapat gelengan kepala dari sang ibu.
Setelah mandi dan berganti baju, Ardi mendengar seseorang mengetuk pintu kamar yang ia jawab dengan kalimat tidak dikunci. Ternyata yang berkunjung adalah ibunya.
Ardi tengah menggosok rambutnya yang basah saat sang ibu kemudian memasuki kamarnya dan mengambil alih handuk dari tangan pemuda itu.
Diapun terduduk di kursi belajarnya, membiarkan saja saat sang ibu menggosok rambut kepalanya dari depan.
"Kenapa lagi?" Tanya Marlina.
Ardi tertawa pelan, "kali ini aku disiram jus, Bu," ungkapnya yang membuat sang ibu berdecak.
"Makanya kamu tuh jangan seneng banget macarin anak orang, ngurusin diri sendiri aja belum mampu, apalagi ngurusin perasaan perempuan."
"Tapi mereka yang minta, Bu."
Marlina menghela napas, terkadang dia mendapati anak bujangnya pulang dengan bekas tamparan di pipi, sering lagi basah kuyup begini. Tapi belum pernah sesekali putranya itu membawa seorang gadis ke rumah untuk dikenalkan pada dirinya, padahal dia ingin menitip pesan, kalo mau nyiram pake air putih aja, capek ibu nyucinya.
"Di dunia ini terkadang kita diberikan dua pilihan, memilih dengan berdasarkan orang lain pilih, atau memilih dengan pilihanmu sendiri," tutur Marlina, yang kemudian membuat putranya mendongak.
"Menurut ibu selama ini aku pilih yang mana."
"Kamu terlalu sering memilih apa yang orang lain pilihkan, padahal kamu juga bisa menentukan pilihanmu sendiri. Bilang 'nggak' kalo kamu emang nggak suka." Marlina menyampirkan handuk di lengannya, membiarkan saja putranya itu berdiskusi dengan pikirannya sendiri.
"Tapi jawaban 'nggak' sering kali bikin orang kecewa."
"Jawab 'iya' pun jika itu karena terpaksa pasti akan mengecewakan."
Ardi menghela napas, tersenyum. "Terimakasih kanjeng mamih."
Marlina mengusap kepala putranya sayang, "abis ini tolongin ibu benerin genteng di dapur ya, bocor soalnya, kayaknya ada yang pecah," ucapnya kemudian beranjak ke pintu.
"Nggak ah, Bu."
Marlina menghentikan langkahnya, "lah terus siapa yang mau benerin, abangmu mana bisa naik ke atas genteng."
"Kan ibu sendiri tadi yang bilang, kalo aku berhak menentukan pilihanku sendiri."
"Aardiii!!!"
***
Dan demi untuk tidak membuat sang ibu murka, akhirnya Ardi menuruti kemauan wanita kesayangan nya itu. Benerin genteng bocor.
Terkadang dia merasa begitu multitalented, selain mengganti genting yang pecah, keran air yang patah, sampai dengan urusan got mampet pun bisa ia lakukan sendiri, apalagi hanya sekedar membuat seorang wanita berbunga-bunga, dia sudah pasti bisa.
Tapi sayangnya seorang wanita yang kini sering membuat hatinya sendiri berbunga-bunga kini malah tampak jarang tertawa.
"Pegangin woy, bisa jatoh ini, lo dendam sama gue ya." Ardi mencengkram erat pegangan anak tangga saat benda yang ia pijak itu terasa oleng dan membuatnya jadi takut.
"Iya ini juga dipegangin yaelah takutan amat si, gaya grafitasi bumi mengakibatkan benda jatuh pasti ke bawah, tenang aja abang nggak bakal nyasar di langit."
"Iya, gue nyasar di hati lo, anjiir sumpah gue bercanda." Pemuda itu kembali mengomel saat Karin dengan sengaja menggoyang-goyangkan tangga yang ia suruh jaga. "Anak setan, pegangin yang bener, gue belum kawin."
"Buruan turunnya, males Karin pegangin tangga buat abang," ucapnya berlagak muak.
"Set dah, segitunya lo sama gue, hancur hati abang Dek."
"Terseraah."
Merasa sudah cukup memegangi tangga karena pemuda itupun sudah lumayan dekat, Karin dengan sengaja melepaskan pegangannya, namun tanpa ia duga, benda di hadapannya itu malah bergerak miring dan kemudian jatuh.
Kejadiannya begitu cepat saat gadis itu melihat tangga di hadapannya terguling dan sang abang yang juga berguling di tanah kemudian tidak sadarkan diri.
"Abaang!" Karin berteriak takut menghambur pada abangnya, gadis itu terus mengguncang tubuh yang tampak lemas di hadapannya. "Abang bangun baang, maafin Karin, abang jangan mati."
Karin begitu takut, ia nyaris menangis saat pemuda yang ia guncang tubuhnya itu tidak juga membuka mata.
"Katanya kalo orang pingsan dikasih napas buatan ya, abang maapin Karin ya." Gadis itu menangkup mulut sang abang dengan kedua tangan, berniat memberikan pertolongan pertama.
Merasa tidak tahan Ardi akhirnya tertawa, "emangnya gue kelelep dikasih napas buatan," ucapnya yang mendapat tabokan di lengan.
"Abang tuh nggak lucu tau." Karin jadi mengomel.
Ardi duduk bersila di atas rumput berhadapan dengan gadis itu. "Tadi mah gue diem aja ya, ayo buruan ulang, kasih napas buatan buat gue."
Karin yang masih kesal hendak kembali memukul lengan abangnya, namun kemudian ia tangkap.
"Lepasin Bang tangan Karin," ucap gadis itu, berusaha menarik tangannya.
Ardi yang menatapnya dengan diam membuat gadis itu jadi ketakutan.
"Kalo nanti Dewa berani nyium lo bilangin gue ya."
Karin berdecih, "emangnya kenapa?"
"Biar nanti gue bisa hapus." Ardi tersenyum jahil, sebenarnya tidak rela juga membayangkan orang lain menyentuh gadis di hadapannya itu.
"Idih, nggak bakalan Karin bilang sama abang."
Pemuda itupun berdecak sebal. "Yaudah kalo gitu setiap pulang sekolah gue sapuin bibir lo, siapa tau ada bekas itu anak."
"Abang ngomongnyaaa!!" Karin kembali memukulkan tangannya yang bebas pada tubuh pemuda itu.
Ardi yang lari menghindar membuat gadis itu gemas untuk mengejar. Sore itu, di bawah langit senja, keduanya masih tampak terlihat bahagia.
Tukang gombal pensiun
Tukang ledeng.
***iklan***
Netizen: Kira-kira Karin beneran jadian sama Dewa nggak ya thor.
Author: Kayaknya enggak deh, kok nggak ada nembaknya.
Netizen: Kan elu yang nulis juminten, kenapa lu yang bingung.
Author: eh iya ya, hehe.