Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telfon dari Mama
Tanpa disadari oleh Kakek Doni dan juga Rian, Jelita mendengarkan semua obrolan mereka dari dalam kamarnya. Suasana yang hening memudahkan gadis itu untuk bisa mendengar semuanya.
Ia menarik nafas berat. Dirinya pikir, tinggal di daerah yang jauh dari kota besar tidak akan membuatnya terjatuh ke dalam peristiwa besar. Namun ternyata… salah. Dirinya bahkan menjadi bahan gosip satu kampung.
Bukan…
Gosip ini bahkan juga tersebar di kampung sebelah, dan pastinya kampung-kampung yang lain. Penghuni dan pengunjung rumah sakit bukan saja berasal dari kampungnya, dan sudah pasti berita ini juga akan mereka — yang hobi bergosip — membawa turut serta ke rumahnya.
“Hidup kenapa nggak bisa lurus aja, sih, ” keluh Jelita.
Ia melangkah pelan ke arah ranjangnya, menjatuhkan dirinya dan menatap ke langit-langit kamarnya. Kilasan peristiwa hari ini seakan berputar kembali di atas sana, seperti layar bioskop. Wajah marah Rian pada Nadya juga tak luput dari penglihatannya.
Jelita mencoba meraba-raba perasaannya terhadap pria yang memang sudah menunjukkan ketertarikan dengan dirinya sejak awal. Namun Jelita… ia bingung.
Seingatnya, hatinya tidak pernah bereaksi berlebihan terhadap pria itu. Semakin menyelam, akhirnya Jelita ingat, hatinya ternyata pernah bereaksi, dua kali. Waktunya adalah… ketika pria itu menjadi imam shalat.
Jelita berfikir, mungkin di zaman seperti sekarang, sangat jarang pria muda bisa dan sepertinya terbiasa menjadi imam. Belum lagi suaranya ketika melantunkan ayat suci yang merdu dan menyentuh kalbu. Jelita tidak bisa memastikan, apakah itu bisa diartikan suka atau tidak.
Saat masih dalam lamunan, Jelita dikagetkan dengan nada dering ponselnya yang terkhusus untuk wanita yang paling dicintainya di bumi ini.
“Mama…” panggil Jelita ketika baru saja menggeser tombol hijau. Wajah lelah sang ibu yang sudah menemaninya selama lebih dari dua puluh tahun itu memenuhi layar ponselnya.
“Lagi di rumah, Kak?” tanya Bunga dengan nada penuh kehangatan dan membuat kerinduan mendalam pada Jelita.
“Iya, Ma. Tadi Kakak pulang cepat. Mama masih di rumah sakit?” tanya Jelita balik yang melihat jika saat ini sepertinya sang mama masih berada di ruangan yang ada di rumah sakit.
Bunga mengangguk pelan sambil tersenyum hangat. “Lagi nunggu Papa jemput. Tadi Mama nggak bawa mobil soalnya. Lagi malas nyetir sendiri.”
“Bilang aja pulang mau pacaran dulu barengan sama Papa,” ujar Jelita yang menggoda mamanya.
“Ih, mana ada. Memang Mama lagi malas bawa mobil,” elak Bunga.
“Mama nggak perlu bohong. Kakak udah besar. Dulu aja pas kecil sering banget Kakak dititip sama adik-adik di rumah Oma atau nggak di rumah Tante Silvi,” jawab Jelita yang membuat Bunga tertawa.
“Itu biar kalian bisa bersosialisasi dengan keluarga yang lain.” Bunga juga masih mengelak dan berhasil mengundang tawa keduanya.
“Kakak sendiri, gimana? Sudah ada pacar disana?” Pertanyaan yang diajukan oleh Bunga tentu saja membuat Jelita mendelikkan matanya.
“Kakek ada ngadu apa ke Bunda?” Jelita tidak sadar, ternyata ucapannya ini malah membuatnya kembali ‘diserang’ oleh Bunga.
“Ternyata benar, sudah punya pacar? Kakek padahal nggak ada cerita apa-apa, lho ke Mama.”
Skak!!
Jelita mati kutu, dan langsung salah tingkah.
Bunga yang melihat itu dari layar ponselnya hanya bisa tertawa. Menurutnya wajah putri sulungnya ini terlihat sangat lucu.
“Ulu ulu… putri Mama sudah besar ternyata…”
Bibir Jelita maju ke depan, menandakan jika dirinya kini sedang merajuk. “Nggak punya pacar Kakak disini, Ma,” ucapnya dengan nada manja.
“Terus tadi kok langsung nanya Kakek nanya apa?”
“Ya kali aja Kakek laporan aneh berisikan fitnahan tentang Kakak,” keluh Jelita yang kembali mengundang tawa Bunga.
“Gosip apa tuh? Tentang cowok?” tanya Bunga penasaran.
“Ma… udah dong. Kenapa sih omongin cowok terus daritadi. Kakak disini kerja, Ma. Nggak ada cowok-cowok, nggak ada pacar-pacaran,” kekeh Jelita.
“Iya… iya… Terus kerjaan Kakak gimana? Lancar, Nak disana?” tanya Bunga.
“Alhamdulillah, Ma. Lancar kerjaan Kakak, Mama hari ini ada operasi, ya? Kelihatan banget muka capeknya,” tanya Jelita balik.
“Nggak sih. Cuma memang banyak rapat aja dari siang. Kakak tuh yang kelihatannya capek. Mukanya pucat gitu,” ujar Bunga yang memang sedari tadi memperhatikan wajah sang putri yang berbeda.
“Namanya juga kerja, Ma. Tadi pasien lumayan banyak,” bohong Jelita, mencoba menyembunyikan kekacauan pikirannya.
“Hmm…” Bunga mengangguk pelan, tapi matanya masih curiga. “Ini kayaknya bukan cuma capek kerja. Ada beban pikiran, ya? Beneran tentang cowok?”
“Ma…,” keluh Jelita sambil memanyunkan bibir. “Jangan tanya-tanya lagi deh soal cowok.”
Belum sempat Bunga menimpali, terdengar suara pintu ruangan dibuka dari belakangnya. Sosok tinggi berjaket kulit masuk ke dalam ruangan Bunga.
Fadi baru saja tiba untuk menjemput istrinya.
“Mas…” panggil Bunga.
Tapi Fadi langsung memperhatikan ke arah layar ponsel Bunga. Wajahnya berubah tegang.
“Eh… ini siapa laki-laki di layar?!” serunya penuh kewaspadaan.
Jelita langsung terbelalak. “Papa! Ini Kakak!”
“Oh….” Fadi mengerjap dua kali, lalu mendekat ke kamera dengan mata menyipit. “Kok Papa lihat kayak cowok?” tanyanya serius.
Bunga langsung menahan tawa.
“Itu anak kita, Pa. Jelita. Putri sulungmu, yang dari kecil hobi minta dibelikan es krim.”
Fadi mematung. “Lho… itu Jelita?” Ia mendekat lebih dekat ke layar, sampai hidungnya hampir menyentuh ponsel. “Kok rambutnya begitu? Gayanya begitu? Mirip cowok dari sini!”
Jelita menahan kesal. “Pa, ini pencahayaan kamar Kakak aja. Lampunya udah Kakak ganti ke yang biasa buat tidur.”
Fadi langsung mengangguk, tapi kemudian memasang wajah serius.
“Tapi tadi Mama bilang tentang cowok… Kakak pacaran?! Nggak boleh!” serunya keras dengan nada panik.
“Pa!!!” Jelita langsung menjerit kecil.
Bunga memutar bola mata lalu menepuk kepala suaminya pelan.
“Sudah, sudah… jangan heboh.”
“Papa harus heboh! Anak gadis Papa pacaran tanpa izin?!” Fadi makin dramatis.
“Mampus…” lirih Jelita sambil menepuk pelan dahinya.
Bunga langsung menegur, suara lembut tapi tegas. “Pa, siap-siap saja. Sebentar lagi, paling lambat setahun dua tahun, Jelita tuh dilamar cowok.”
Fadi terdiam.
Lalu wajahnya berubah seperti habis ditikam kenyataan paling pahit dalam hidup.
“L-la…lamar?” suaranya bergetar. “Kok cepat sekali, Sayang? Anak kita masih kecil. Baru kemarin aku ajari naik sepeda…”
Jelita mendesis. “Pa… Kakak udah 25.”
“Ah, tetap aja kecil! Masih bayi!” Fadi bersikeras, menunjuk layar ponsel. “Lihat tuh! Masih kayak bocah!”
Bunga tertawa keras. “Kamu tuh bukan nggak rela anak punya pacar. Kamu tuh takut anakmu menikah lalu kamu nggak jadi ‘pria nomor satu’ buat dia lagi.”
Fadi terdiam. Bibirnya bergerak-gerak seperti menahan emosi.
“…iya,” gumamnya lirih.
Jelita langsung meledak tertawa.
“Pa… Ya ampuuun. Papa cemburu sama cowok yang bahkan nggak ada!”
Fadi menunjuk layar lagi, wajahnya muram. “Pokoknya kalau ada cowok deket-deket, harus lewat Papa dulu. Tidak boleh pacaran diam-diam. Titik.”
Bunga mencubit lengan suaminya.
“Kamu itu lebay. Sudah, yuk pulang. Jelita juga perlu istirahat.”
Fadi merengut seperti anak kecil kehilangan permen. “Ya udah… tapi benar ya, Kak? Nggak ada cowok?”
Jelita membuka mulut, hendak menjawab spontan. Namun mendadak wajah Rian terlintas di kepalanya.
Wajahnya memanas.
“Kak… kasih tau Papa,” desak Bunga sambil tersenyum penuh arti. “Jadi gimana? Nggak ada? Atau… ada?”
“Ma!!” Jelita menghentakkan kaki ke lantai seperti anak kecil yang ngambek.
Bunga tertawa, Fadi makin bingung.
“Ini maksudnya apa?” tanya Fadi curiga.
Jelita buru-buru mengakhiri panggilan.
“Udah ya ma paaa. Kakak mau tidur. Assalamualaikum!”
Pip! Panggilan terputus.
Jelita menutup wajahnya dengan bantal sambil merintih pelan.
“Aduh, hidup…”
“Kenapa sih harus ada cowok-cowok segala…”
Tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Wajah pria itu kembali berputar diingatannya.
“Aaah nggak tahu, ah.”
*****
Ayo ayo Bang Fad, siap siap ber menantu 🤭🤣🤣
Btw Covernya udah diganti sama NT. Menurut teman-teman cocok nggak sih?
Hari Senin, jangan lupa vote ya, teman teman. Bunga kopi juga jangan lupa, ya. Terima kasih 🥰🥰
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂