Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11.
Kodasih berhenti sejenak. Tampak dia mulai ragu ragu. Tapi Kodasih tak menoleh.
Ia kembali melanjutkan langkah kakinya. Ia menuruni jalan setapak yang dulu sering ia lewati bersama Warastri dan anak anak dusun. Jalan yang kini nyaris ditelan alang alang dan rumput liar.
“Kau pasti sudah hafal jalan ini…” suara menggema dalam ingatan nya. Bukan suara yang keras, namun cukup untuk membuat langkah Kodasih sedikit goyah.
Kabut turun lebih tebal. Lentera di tangannya bergetar.
Sesekali terdengar suara ranting patah jauh di balik semak. Kodasih tahu aturan lama: jangan menoleh kalau mendengar apa pun di malam Kliwon.
Namun ketika suara itu terdengar tepat di belakangnya, seakan ada langkah kecil yang mengikuti ritme tongkatnya. Jantung nya berdegup tak karuan.
“Tahan… jangan pedulikan…” bisiknya pada diri sendiri.
Tapi lalu sesuatu memanggil pelan, sangat dekat, seperti tepat di telinganya:
“Nyi…” suara kecil yang manis..
Kodasih berhenti. Lentera hampir jatuh dari tangannya. Itu suara yang ia kenal. Suara dari masa yang sudah lama terkubur.
Rasanya seperti suara Warastri ketika masih kecil, ketika ia sering merengek di serambi, memanggil “Nyi.. ayo bobok.. ”
Tapi ia tahu. Segalanya tahu.
Warastri sudah jauh dan suara itu bukan Warastri...
“Bukan… bukan dia…” Kodasih berbisik, menunduk, menggenggam tas kain dengan lontar hitam yang semakin terasa berat.
Ia kembali melangkah. Suara itu tidak memanggil lagi, tapi kabut di jalur lama terasa berbeda. Lebih padat, lebih dingin, seperti menunggu ia salah langkah.
Setelah satu jam lebih berjalan, Kodasih tiba di belakang Pasar Legi. Pasar itu sudah lama tidak ramai di malam hari, tapi bau ikan asin dan tanah basah masih tersisa di udara.
Jalan menuju rumah Mbah Ranti tidak dilewati orang.
Bambu-bambu tua menunduk seperti takut menatap siapa saja yang berani berjalan di bawahnya.
Di depan jalur kecil menuju hutan, ia melihatnya.. batu hitam besar dengan tiga garis merah, samar tertutup lumut tapi masih terlihat jelas. Batu itu seperti wajah tua yang menatap balik, menilai keberaniannya.
Kodasih menyentuh batu itu dengan jari gemetar.
Udara seketika berubah. Angin berhenti, suara serangga lenyap, kabut bergerak mundur seolah takut pada sesuatu.
Kodasih menarik napas panjang...
“Karang Pulosari…” gumamnya.
Langkahnya berat, tapi tetap ia tempuh. Di dada, rasa gelap yang sejak lama mengendap kini mengalir bersama ketakutannya.
Ia memasuki jalur sempit yang hanya dibuka bagi orang orang yang tahu caranya.
Semakin jauh ia masuk, semakin jelas ia merasakan sesuatu mengikuti langkahnya.
Bukan manusia, terlalu halus gerakannya.
Bukan hewan, terlalu teratur ritmenya.
Dan sesaat kemudian di kejauhan ia melihat lampu redup dari sebuah rumah tua. Rumah Mbah Ranti yang sejak dulu dikenal hanya muncul pada malam tertentu. Kodasih merasakan kedua lututnya lemas.
Namun rasa takut itu kalah oleh sesuatu yang lebih kuat:
Harapan untuk tidak dilupakan.
Harapan untuk menemukan arti sebelum semua nya terlambat.
Ia mempercepat langkah, hampir setengah berlari, tongkat kayu terangkat dari tanah.
Dan akhirnya ia berdiri di depan rumah itu. Rumah dengan dinding kayu tua dan pintu yang sedikit terbuka seolah sudah menunggunya. Kodasih mengetuk pelan.
Tok…
Tok…
TOK..
Setelah keheningan yang terasa seperti seumur hidup, sebuah suara parau dari dalam menjawab:
“Kau akhirnya datang, Dasih… Aku sudah melihat bayanganmu di cermin sejak tiga malam lalu.”
Kodasih membeku.
Ia belum sempat menjawab ketika pintu rumah Mbah Ranti berderit membuka…
Dan sesuatu dari dalam mulai menampakkan diri. Wajah tua itu penuh keriput, tapi matanya menyala seperti bara kayu bakar.
Kodasih menunduk hormat. “Mbah… saya butuh bantuan.” Ucap Kodasih lirih sambil mengulurkan lontar terbungkus kain hitam pada Mbah Ranti..
Mbah Ranti memicingkan mata, bibirnya menyeringai kecil.
“Bantuan opo sing kok goleki?” suara serak Mbah Ranti sambil menerima lontar terbungkus kain hitam itu.
Setelah membuka lontar dan membaca tulisan Mbah Jati dengan huruf jawa kuno. Surat yang ditulis Mbah Jati puluhan tahun silam... Mbah Ranti tertawa terkekeh kekeh..
“He.... he.... he.. he.... he... “
Mbah Ranti menatap wajah Kodasih dengan senyuman menyeringai...
“Kowe wis tua, opo kowe isih butuh tresno prio.. Angel.... angel... susah .. susah... “ ucap Mbah Ranti sambil geleng geleng kepala.
Kodasih menarik napas panjang, menelan rasa malu dan keputusasaan.
“Mbah… aku… aku tidak ingin tua seperti ini.”
Mbah Ranti terdiam.
Lalu ia mendekat, begitu dekat hingga Kodasih bisa mencium bau minyak kelapa gosong dan asap dupa yang melekat pada rambut nya.
“Terus kowe pengin opo, Dasih?”
Kodasih gemetar.
Dari lubuk hati yang paling tersembunyi, ia berkata:
“Aku… ingin kembali muda.
Muda dan cantik… seperti dulu.”
Kata kata itu akhir nya keluar. Tajam, memalukan, tapi jujur.
Permintaan yang tidak pernah ia ucapkan bahkan pada dirinya sendiri.
Mbah Ranti kini tertawa pelan. Tawa yang tidak menghakimi, tapi menggetarkan dada.
“Kowe isih ndadekke ‘ayu’ kui kekuwatan paling gedhe, to?”
(Kamu masih menjadikan ‘cantik’ jadi kekuatan terbesar kan?”
Kodasih menunduk. Matanya basah.
“Mbah… aku lelah dilupakan.
Lelah jadi tua sendirian.”
Mbah Ranti menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam rumah.
“Yowis... Yen kuwi sing kok karepke… ayo mlebu.”
(Ya sudah.. kalau itu yang kamu mau.. ayo masuk..”
Kodasih mengikuti, meskipun hati nya berdebar seperti ingin pecah..
Akan tetapi sesaat dengan suara gemetar Kodasih berucap.. “Mbah tapi yang tidak pakai tumbal darah ya.. sudah tidak ada orang yang mencintai saya dengan tulus..”
Mbah Ranti menoleh sambil memicingkan matanya, “Terus sopo sing mbok tresnani?”
Air mata terus membasahi wajah Kodasih yang telah rusak dan menua.. sekilas bayangan wajah Warastri muncul di pelupuk matanya..
“Warastri.” Gumam Kodasih sangat lirih, air mata semakin deras mengucur dari kedua ujung matanya..
Kodasih memang sangat mencintai Warastri meskipun bukan anak kandung nya. sendiri .. karena kedekatan nya dengan Warastri sejak bayi....
....
Terima kasih readers tersayang...yang masih punya vote .. yukkk kirim ke sini 🙏🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰♥️♥️♥️♥️♥️
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣