Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUNGSI
"Mir, kamu baik kan?" tanya Melda tiba-tiba, mana pas lagi sibuk mengerjakan tugas kantor lagi. Hingga aku menoleh dan menimpali pertanyaan Melda.
"Baik. Kenapa?" tanyaku sembari mengerutkan dahi. Tiba-tiba ia menyodorkan sebuah foto, dan terdapat Mas Akbar, ibu dan ayah mertua, serta kedua kakak iparku. Mereka foto bersama pengantin yang aku sendiri tak tahu siapa.
"Dapat dari mana?" tanyaku kaget, karena aku sama sekali tak diberi tahu oleh Mas Akbar kalau ada hajatan bersama keluarganya.
"Aku datang, yang cowok itu teman SMPku, dan istrinya adalah sepupu suami kamu." Aku mendelik seketika, kaget pastinya, dari moment ini aku semakin tak dianggap oleh keluarga Mas Akbar.
"Yakin kamu gak dikasih tahu?" aku mengangguk, aku ingat betul tak ada obrolan apapun dari mas Akbar soal sepupunya yang akan menikah. Mas Akbar datang setiap jumat malam hingga minggu pagi ke kontrakan. Serasa LDM kan, padahal masih satu kota, dan juga jarak rumah mertua dan kontrakanku hanya 20 menit saja. Aku tak mau tinggal di sana, Mas Akbar juga tak mau tinggal di kontrakan karena terlalu kecil, serta jauh dari tempat kerjanya.
Aku tak memaksa, karena menghindari konflik yang bisa saja memancing Mas Akbar malah memaksaku tinggal di rumah mertua, oh terimakasih disampaikan. Tapi soal hajatan ini, rasanya aku ingin menemui Mas Akbar, bisa-bisanya aku gak diajak, apa mungkin gak dianggap menantu sekalian? Aku meminta foto itu ke Melda, dan kuteruskan ke Mas Akbar.
Ada keluarga kamu hajatan kok gak kabari? Malu ya kalau aku temani ke kondangan begini? Untuk kali ini aku membuka jalan perang, semakin ke sini baik keluarganya maupun Mas Akbar kok gak menganggapku ada. Aku memang salah juga gak berniat sambang ke mertuaku, rasanya trauma dikunci seperti dulu.
Salah sendiri tinggal di kontrakan.
Sesuai dugaanku, ujung-ujungnya aku yang salah. Mana pernah Mas Akbar memposisikan dirinya sebagai kepala rumah tangga yang bijak. Tidak akan mungkin, dia akan selalu menganggap dirinya benar dengan segala macam keputusannya.
Terus di sana kamu gak ditanya di mana istri kamu?
Enggak. Ibuku udah cerita kalau kamu gak mau tinggal di rumahku, jadi mereka tidak tanya kamu di mana, lagian kata mereka kamu salah, jadi istri kok mau enaknya sendiri. Di rumahku kurang apa.
Kurang apa katamu? Oke aku sebutkan. Aku pun menuliskan segala macam sikap orang tua dan kakak ipar Mas Akbar yang aku tangkap selama seminggu lebih hidup di sana.
Sebenarnya yang harus disalahkan dalam kondisi ini kamu, Mas. Kamu sebagai kepala rumah tangga gak bisa menjadi penengah antara aku dan keluarga kamu. Sekarang kalau aku dan mereka gak bisa bersatu, karakter kita berbeda maka jangan paksa kita terima satu sama lain. Sangat bagus kalau kita mengontrak sehingga, sikapku tidak menyakiti keluargamu, sikap keluarga kamu tidak menyakiti aku.
Buat apa aku menuruti keinginan istri yang keras kepala. Kalau kamu gak kerja, bakal aku bela. Ya gini kalau punya istri gajinya lebih gede, gak mau diatur sama laki.
Terus kenapa kamu mau menikahi aku kalau kamu gak suka aku kerja dan gajiku lebih gede.
Kamu maksa aku, kamu minta kepastian terus. Budrek aku mendengar permintaan kamu. Keluargaku gak suka anak-anaknya menikah muda. Biar kerja terus mengumpulkan uang baru menikah kalau sudah sukses.
Kenapa kamu bilang sekarang sih setelah perawanku kamu ambil.
Kamu keras kepala.
Namanya perempuan, sudah pacaran lama, pasti minta kepastian. Gak mungkin digandeng terus tanpa dinikahi. Kalau kamu lebih memilih aturan keluarga kamu, harusnya kamu gak menyetujui permintaanku.
Terus kamu minta putus. Setelah aku sering traktir kamu makan, ultah selalu aku rayakan begitu.
Aku melongo, perkara mau menikah karena telah spend money buat makan, bahkan dia lupa kalau uang beasiswaku pernah dipinjam dan tak dikembalikan sampai sekarang.
Sumpah uang makan kamu hitung? Padahal kamu yang selalu ajak aku makan, dan sekarang kamu ungkit? Waow. Apa kabar uang beasiswaku yang kamu pinjam untuk usaha jual pulsa. Ada kabarnya gak?
Kamu perhitungan sekali sih?
Lah siapa yang perhitungan. Kalau kamu gak mengungkit uang makan itu gak bakal aku ungkit uang beasiswa itu. Katanya usaha kita bersama untuk menikah, tapi ujung-ujung nikah saja gak ada menyumbang sama sekali ke aku.
Bangsat emang kamu, Mir. Jadi istri gak ada sisi sholehahnya sama sekali.
Punya kaca kan? Selama menikah mana uang nafkah untuk istrimu. Bahkan saat weekend saja kamu numpang makan, mandi, di kontrakan tanpa pernah memberi uang bulanan.
Kamu kerja woy?
Aku gak habis pikir, kamu ini sadar jadi suami gak sih?
Aku bakal kasih gajiku ke kamu dengan satu syarat, kamu berhenti kerja biar gak mentang-mentang.
Gak bakal aku berhenti kerja. Bisa-bisa aku semakin kamu injek, dan uang yang sudah kamu beri bakal kamu ungkit lagi. Sudah lebih baik begini. Aku gak mau anggap juga gak masalah.
Sialan.
Kamu yang sialan.
Jadi perempuan gak nurut sama suami, pantas saja gak disukai mertua, lama juga punya anak.
Kenapa jadi bahas anak? sedangkan kamu saja gak becus urus istri, apalagi anak. Bisa-bisa anak lahir full aku yang urus dan kamu diam saja. Masih ngetek ke ibu kamu.
Bangsat. Ngomong sekali lagi aku pastikan kamu tidak akan bisa bekerja lagi.
Stop. Aku diam, aku tak mau balas pesan mas Akbar lagi. Aku lebih memilih mempertahankan pekerjaan, daripada harus patuh sama suami yang agak miring itu.
Soal anak pun, aku memang sengaja minum pil KB yang paling mahal, sengaja biar aku gak kebobolan. Melihat kondisi pernikahan seperti ini aku berharap tak punya anak. Kasihan diriku yang bakal capek sendiri kalau ada anak, maka aku memutuskan minum pil kb tiap hari tanpa persetujuan mas Akbar.
Malam ini, aku tidak tidur ke kontrakan, aku khawatir dia tiba-tiba datang, gedor pintu dan memancing keributan yang bisa mengganggu tetangga kontrakan lain. Aku membawa ransel laptop, ku isi baju kerja, dompet dan juga make up, segera meluncur ke rumah ibu saja. Yakin sekali kalau dia tidak akan berani ke sana.
"Masih tinggal terpisah?" tanya bapak saat motorku baru saja aku parkir, helm saja belum aku lepas.
"Masih, Pak. Di sekitar kontrakan ada yang meninggal, aku takut," begitu alasanku dan Bapak hanya menghela nafas pelan. Ibu dan bapak tak sedih dengan kondisi rumah tanggaku begini. Mereka sepertinya ingin mengujiku akibat menentang restu mereka, sudah tidak ada nasehat pernikahan. Saat aku datang ya silahkan datang saja, mereka menyambut. Aku pulang ke kontrakan juga silahkan. Bahkan mereka juga tak ingin tahu kabar suamiku. Ah aku istrinya saja malas.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.