Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab22
Andrian melepaskan ciumannya perlahan. Ia menatap Clara dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya tertanam di hati wanita itu.
“Clara… kita jangan bercerai. Kau setuju?” tanyanya lembut namun tegas.
Clara menatap balik, dipenuhi keraguan. “Kenapa setelah kejadian yang menimpaku… kau membatalkan niat untuk bercerai? Apa yang ada di dalam pikiranmu?”
Andrian menarik napas panjang sebelum berbicara.
“Sebelumnya… itu semua salahku,” ucapnya lirih. “Aku sengaja bersikap dingin padamu karena aku tidak ingin kau jatuh cinta kepadaku. Dengan kondisi jantungku yang tidak menentu… aku bisa tumbang kapan saja.”
Tatapannya merendah sejenak.
“Aku menikah denganmu bukan karena bisnis keluarga. Tapi karena aku ingin melindungimu dan memastikan kau berada di sisiku. Awalnya aku pikir semuanya baik-baik saja… sampai aku tahu keluarga Wu adalah iblis.”
Clara terdiam. Matanya terasa panas.
“Setelah aku mendengar kabar kau mencoba bunuh diri,” lanjut Andrian dengan suara yang mulai pecah, “aku langsung mencari tahu dan menemui Bibi Shu. Saat itu aku sadar… aku sudah salah besar.”
Ia menggenggam tangan Clara dengan hati-hati, takut ditolak.
“Andaikan aku diberi kesempatan untuk memilih, aku ingin memulai dari awal denganmu.”
Clara menelan ludah. “Melindungiku dari apa… sampai kau ingin menikahiku walau kau tidak menyukaiku?”
Andrian menatapnya lama, seolah memastikan Clara siap mendengar jawabannya.
“Clara… aku menyukaimu,” ucapnya jujur. “Karena itu aku menikahimu. Aku mendapat informasi bahwa keluarga Wu ingin menikahkanmu dengan pria beristri empat. Saat itu… aku menerima tawaran James untuk menikah denganmu sekaligus menjadi investor. Itu caraku memastikan kau tidak jatuh ke tangan orang yang salah.”
Clara menggigit bibir, hatinya bergetar namun dipenuhi ragu.
“Apakah aku… sudah salah sangka padamu selama ini?” bisiknya. “Atau… kau mengatakan semua ini hanya untuk menebus rasa bersalahmu padaku?”
“Aku memang merasa bersalah padamu,” ucap Andrian perlahan, menatap Clara tanpa berkedip. “Karena aku tidak tahu apa yang kau alami selama ini. Tapi keinginanku mempertahankan pernikahan kita… bukan karena rasa bersalah. Tapi karena perasaanku padamu.”
Nada suaranya mantap namun lembut.
“Clara, kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku tidak akan memaksamu,” lanjutnya.
Clara menunduk. Ada luka lama yang belum sembuh, tapi juga ada kehangatan baru yang ia rasakan dari pria ini. Semuanya bercampur, membuatnya bingung.
“Andrian…” Clara menarik napas pelan. “Aku tidak tahu apakah pernikahan ini harus dipertahankan atau tidak. Tapi… apa pun hubungan kita nanti, aku berharap kita tidak saling menjauh.”
Ia mengangkat wajahnya, menatap Andrian penuh ketulusan.
“Aku ingin merawatmu juga. Aku mendengar dari Bibi Shu bahwa jantungmu bermasalah dan kau sempat tidak sadarkan diri. Untuk saat ini… apakah aku bisa melakukannya?”
Andrian tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Clara pelan.
“Tentu saja bisa. Kita akan saling menjaga dan melindungi satu sama lain,” jawabnya lembut.
Ia memeluk istrinya dengan erat.
“Clara… asalkan kau di sisiku, aku sudah cukup. Aku tahu kau tidak bisa langsung percaya padaku karena sikap dinginku selama tiga tahun terakhir. Tapi aku akan membuktikan padamu… bahwa perasaanku padamu itu tulus," batin Andrian.
Clara mengerjapkan mata. Hatinya terasa hangat… namun sekaligus perih.
"Andrian, aku mencintaimu tapi juga ragu…" batinnya.
"Aku takut suatu saat kau berubah. Aku tidak ingin terluka untuk kedua kali. Siapa wanita itu? Dan kenapa… kenapa kau masih ingin mempertahankan hubungan kita?"
Hatinya bergetar, penuh pertanyaan yang belum berani ia ucapkan.
Keesokan harinya.
Kane datang ke kediaman Andrian. Pria itu sedang duduk santai di ruang tamu, membaca koran. Sementara itu, Clara berada di dapur, menyiapkan jus. Wajah Clara terlihat semakin segar; racun yang dulu melemahkan tubuhnya perlahan telah berkurang.
“Tuan, ada informasi dari Paris. Jhon Fu sedang mencari Anda. Sepertinya dia tidak senang dengan kejadian yang menimpa putrinya,” lapor Kane.
Andrian menutup korannya perlahan. “Lulu berani menjebakku dengan obat. Aku hanya mempermalukannya ... itu sudah sangat baik dari aku. Tetapi dia masih tidak puas.” Andrian mengangkat alis. “Lalu, apa rencananya?”
“Kemungkinan besar dia akan datang menemui Anda. Nama baik putrinya tercemar, dan setelah kejadian itu, saham perusahaan mereka anjlok. Mereka mengalami banyak kerugian. Tuan, Jhon Fu pasti akan balas dendam,” jawab Kane.
Andrian tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah berarti hal baik bagi lawannya.
“Biarkan saja. Kalau dia berani datang ke Beijing untuk menemui aku, aku akan dengan senang hati melayaninya.”
Setelah itu ia bersandar, lalu bertanya, “Bagaimana dengan empat tikus itu?”
“Mereka kesakitan hingga memohon. Beberapa kali pingsan, dan anak buah kita membangunkan mereka dengan menyiram air,” jawab Kane tanpa ekspresi.
“Bagus sekali,” ucap Andrian dingin. “Dibandingkan penderitaan istriku, apa yang mereka alami sekarang masih belum ada apa-apanya. Jangan sampai mereka mati—kalau mati, malah tidak menarik.”
“Baik, Tuan! Lalu sesuai permintaan Anda, kerugian yang dialami perusahaan akibat ulah dua putra James Wu juga telah disebarkan. Sekarang perusahaan sedang kacau. Para investor mencari James serta kedua putranya.”
Andrian tersenyum puas. “Besok aku akan hadir dalam rapat. Sampaikan pada mereka untuk mengadakannya. Jika mereka ingin menyelamatkan perusahaannya, mereka harus turuti keinginanku.”
Kane mengangguk, lalu bertanya pelan, “Tuan, apakah besok Nyonya akan hadir sebagai direktur utama?”
“Tentu,” jawab Andrian mantap. “Kalau aku yang mengajukan, siapa yang berani membantah? Perusahaan itu sejak awal milik Clara. Jadi mulai besok, harus kembali menjadi miliknya.”