Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Harus Lebih Berani Dari Calon Pelakor
Setelah Dana pulang, Bu Nadia menghampiri Nala. Dia berusaha membujuk Nala dalam kisruh rumah tangganya yang saat ini mendapat percikan kecil akibat kedatangan mantan istri dari suaminya.
"Dana sudah pulang. Bangkitlah, kita bicara supaya hati kamu tenang."
Bu Nadia meraih bahu Nala, lalu membantu Nala bangkit dari ranjangnya.
Wajah Nala masih sembab, lalu ia menyeka sisa air mata yang tadi membasahi pipinya.
"Ibu mengerti apa yang kamu rasakan. Kamu hanya ingin suamimu tegas dalam menyikapi mantan istrinya, kan?"
Nala mengangguk.
"Nala kesal dengan Mas Dana, Bu. Dia masih belum mengerti perasaan Nala. Kalau masalah Raina, Nala sama sekali tidak ada masalah. Nala juga tidak apa-apa Mas Dana mau memanjakan Raina. Nala juga paham Mas Dana sedang menikmati moment langka ini karena selama ini mantan istrinya tidak pernah mempertemukan Raina dengan papanya ...."
"Yang Nala tidak suka, sikap Mbak Devana yang berlaga kalau dia dekat seperti tanpa canggung lagi. Keluar masuk rumah kami layaknya penghuni rumah, sementara di dalam rumah itu ada Nala. Sikapnya itu sama sekali nggak wajar. Mbak Devana itu sengaja ingin berdekatan lagi dengan Mas Dana. Nala tidak terima."
Tutur Nala menumpahkan kembali isi hatinya yang kini kecewa berat akibat Devana dan Dana.
"Sabar, kamu harus sabar dan kuat. Saat ini menurut kesimpulan ibu, Dana berada dalam posisi sulit dan serba salah. Dia takut kalau mantan istrinya kembali menjauhkan Raina pada Dana. Sementara moment kebersamaan ini jarang terjadi. Itu yang ibu simpulkan."
"Nala paham Bu. Tapi, setidaknya Mas Dana ambil sikap tegas. Jangan sampai kedekatan dengan mantan istrinya membuat Nala jadi tersisih. Nala mau Mas Dana tegas, itu saja. Kalau Mas Dana masih belum bisa tegas pada mantan istrinya, Nala rela dilepaskan. Kalau dia mau kembali pada mantan istrinya yang dulu meninggalkan dirinya karena berselingkuh, silahkan saja. Asal lepaskan Nala," tegasnya semakin emosi.
"Astaghfirullah Nala. Jangan bicara begitu. Ini hanyalah percikan kecil. Suami kamu bukan berselingkuh dengan mantan istrinya, kan? Dia hanya sedang bingung karena mantan istrinya punya senjata, yaitu Raina. Apabila Dana bertindak tegas, maka Dana takut mantan istrinya menjauhkan Raina dengan Dana."
"Jangan sesekali bicara yang enggak-enggak, apalagi saat ini kamu sedang hamil. Kalau kamu mau mendengarkan ibu, ada baiknya dalam keadaan seperti ini, kamu justru harus berada di samping suami kamu. Ibu justru khawatir, mantan istrinya Dana semakin bertingkah dan mencari-cari kesalahan kamu," lanjut Bu Nadia.
Wajah Nala berubah, dia ikut khawatir. Apa yang dikatakan Bu Nadia, cukup mempengaruhi hatinya.
"Habisnya, Nala kesal dengan Mas Dana. Nala tidak mau Mas Dana disetir oleh mantan istrinya," ungkap Nala.
"Ibu paham perasaan kamu. Tapi, dalam kondisi seperti ini apalagi mantan istri Dana selalu datang ke rumah, tidak menutup kemungkinan dia merasa ada peluang untuk memikat hati suamimu." Bu Nadia kembali mengungkapkan kekhawatirannya.
"Tapi, Nala benar-benar kesal, Bu. Masa iya, saat Nala sakit, Mas Dana masih memaksakan pergi bertiga jalan-jalan? Mereka senang-senang malam mingguan bertiga layaknya keluarga. Padahal Nala sudah minta biar Raina dan Mbak Devana yang pergi jalan-jalan, Mas Dana tinggal berikan duitnya saja untuk mereka," ungkap Nala lagi mengungkapkan kekesalannya.
"Mas Dana juga selama ini tidak perhatian. Dia menganggap Nala senang menyibukkan diri di toko, sehingga tak pernah sekalipun bertanya apakah Nala sudah makan atau belum. Diajak jalan-jalan saja alasannya sibuk. Tapi, giliran Raina dan mantan istrinya datang, dia mengusahakan pergi," lanjutnya terdengar sangat kecewa.
Bu Nadia mengangguk-anggukan kepalanya tanda paham dengan perasaan Nala.
"Ibu sangat paham apa yang kamu rasakan, kamu sebenarnya cemburu dan ingin Dana bisa tegas agar mantan istrinya tidak terlalu berani, kan? Tidak apa-apa, itu hal yang wajar. Tapi, ibu ingatkan sekali lagi, jangan pernah kamu meminta berpisah, selama Dana tidak terbukti selingkuh atau KDRT. Sebab hal itu justru sangat disukai atau diaminkan mantan istrinya."
"Saran ibu, untuk saat ini kamu berusaha sabar. Jangan sampai calon pelakor mendekati suamimu. Kalau Raina mengajak Dana jalan, kamu juga jangan diam, harus ikut jalan juga."
Bu Nadia memberikan semangat untuk Nala. Sebab ia tahu, Nala masih sangat mencintai Dana. Saat ini perasaannya memang antara dua, cemburu dan kecewa dengan sikap suaminya yang kurang tegas terhadap mantan istrinya.
"Jadi, sekarang apa yang harus Nala lakukan, Bu?" tanya Nala.
"Seperti saran ibu tadi, kamu harus selalu berada di samping suamimu. Jangan biarkan mantan istrinya diberi ruang untuk mendekati suamimu."
"Itu dia, Bu. Mbak Devana itu licik, dia tahu-tahu ngajak Raina jalan kemudian mencegat Mas Dana di depan kantornya. Lalu mereka jalan bertiga. Saat itu Nala sempat pergoki mereka bertiga. Mas Dana ngakunya, Mbak Devana nyamperin ke kantor Pusdik," terang Nala lagi.
"Saran ibu sama seperti tadi, kamu harus tetap berada di samping suamimu. Kalau kamu minta pisah gara-gara Dana belum bisa tegas sama mantannya, maka permintaan pisah itu akan sia-sia."
"Kenapa sia-sia, Bu?"
"Karena, perceraian dalam tentara itu tidak mudah. Harus ada bukti yang menguatkan bahwa pernikahan itu harus cerai."
"Kalaupun kalian berpisah, prosesnya akan sulit. Perlu bukti yang kuat. Kalau tidak memiliki bukti, maka pengajuan kita akan sia-sia," jelas Bu Nadia.
Nala termenung, dia kepikiran dengan penjelasan ibunya barusan. Sebetulnya hatinya tidak benar-benar serius ingin berpisah dengan Dana. Hal itu dia lakukan hanya agar Dana takut dan berani bersikap tegas terhadap Devana.
"Jangan mudah menyerah menghadapi calon pelakor. Kalau pelakor berani, maka kamu harus lebih berani lagi," lanjut Bu Nadia.
Pesan Bu Nadia barusan sepertinya mengena dengan apa yang saat ini Nala lakukan. Kalau Dana belum bisa tegas ambil sikap dan calon pelakor belum berhenti menebar pesona, maka langkahnya melaporkan Devana pada pihak sekolah kemarin adalah langkah yang benar.
Nala sedikit tersenyum, dia kini paham maksud yang disampaikan sang ibu. Dia harus lawan calon pelakor. Dan, laporannya ke Kepala Sekolah di mana Devana ngajar, bukti salah satu keberanian Nala melawan calon pelakor.
"Lalu, sekarang apa yang harus Nala lakukan? Pulang?"
"Tidak perlu, ini sudah malam. Besok saja. Buktikan kalau kamu kuat. Ibu dan adikmu Naya akan selalu membantu doa."
"Makasih banyak Bu, Naya. Kalian memang keluarga Nala yang sangat pengertian. Bisa dibayangkan jika ibu atau Naya tidak ada, sudah pasti Nala akan sangat terpuruk."
Nala terharu dan menangis, dia memeluk Bu Nadia dan Naya yang kini ikut masuk ke dalam kamar sang kakak.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.