Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Di asrama
Ketukan di pintu membuat Stefany tersentak.
“Hallo! Ada orang di dalam?” suara ceria terdengar.
Stefany buru-buru menyeka air matanya. “Iya, sebentar!”
Pintu dibuka. Seorang gadis berambut pirang dengan senyum ramah berdiri di depan pintu.
“Hai! Kamu pasti penghuni baru, ya? Namaku Clara. Kamar aku di sebelahmu.”
Stefany berusaha tersenyum. “Iya… aku Stefany. Baru sampai hari ini.”
“Wah, selamat datang di Jerman!” Clara mengulurkan tangan. “Aku dari Indonesia juga. Senang akhirnya ada teman senegara di asrama ini.”
Stefany sedikit lega mendengarnya. “Oh… kamu orang Indonesia juga?”
“Iya! Aku sudah dua semester di sini. Nanti kalau kamu butuh bantuan, tanya saja ke aku, ya.”
Mereka duduk di tepi ranjang sambil berbincang. Clara orangnya ceria, ramah, dan banyak bicara kebalikan dari Stefany yang pendiam.
Clara: “Jadi kamu kuliah di Universitas Harapan Bangsa, terus pindah ke sini karena program apa?”
Stefany: “Ayahku yang memutuskan. Katanya supaya aku bisa dapat pengalaman internasional.”
Clara: “Wah, keren! Jurusanmu apa?”
Stefany: “Manajemen Bisnis.”
Clara: “Sama dong! Kita satu jurusan. Nanti aku kenalin ke teman-teman kampusku, ya.”
Stefany tersenyum tipis. “Boleh… terima kasih, Clara.”
Malam itu, mereka makan malam bersama di kantin asrama. Clara bercerita banyak tentang kehidupan kampus, dosen-dosennya, juga kegiatan-kegiatan mahasiswa internasional.
Tapi Stefany hanya setengah mendengar. Di kepalanya, suara dan wajah Stefanus tak mau pergi.
Kembali ke kamar, Stefany membuka laptopnya. Ia melihat foto-fotonya bersama Stefanus yang tersimpan rapi.
Senyum itu… tatapan itu… semua terasa nyata.
Kalau saja waktu bisa diputar, pikir Stefany. Kalau saja hari itu dia tidak…
Stefany memejamkan mata. Dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Pesan dari ayahnya.
Ayah: “Bagaimana? Sudah sampai dengan selamat?”
Stefany: “Sudah, Yah. Terima kasih.”
Ayah: “Fokus kuliahmu baik-baik. Ini semua demi masa depanmu.”
Stefany menatap layar ponsel lama sekali sebelum membalas singkat:
Stefany: “Iya, Yah.”
Tidak ada lagi pesan balasan. Seperti biasa, ayahnya selalu singkat dan tegas.
Stefany berbaring di ranjang, lampu kamar dipadamkan.
Di kegelapan, bayangan Stefanus datang lagi. Senyum terakhir yang ia lihat. Suara terakhir yang ia dengar sebelum… semuanya hilang.
Air mata kembali mengalir.
“Aku rindu kamu, Stefanus,” bisiknya lirih. “Aku benar-benar rindu…”
Malam itu, di negeri orang, Stefany memeluk foto kecil di tangannya hingga tertidur.
Keesokan paginya, sinar matahari musim gugur menyinari kamar Stefany lewat jendela. Udara Jerman yang dingin menyentuh kulitnya, membuat ia menarik selimut lebih rapat. Malam tadi ia tidur dengan gelisah, memimpikan Stefanus yang datang dan pergi begitu saja, meninggalkan rasa hampa yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Ketukan di pintu membuatnya tersadar.
“Stefany? Kamu sudah bangun?” suara ceria Clara terdengar dari luar.
Stefany menghela napas, bangkit dari ranjang. “Iya, Clara. Masuk aja.”
Clara membuka pintu sambil tersenyum lebar. “Wah, kamu sudah siap? Hari ini kita ada orientasi kampus, lho.”
Stefany mengangguk pelan. “Aku siap… mungkin.”
Clara tertawa kecil. “Kamu terlihat tegang sekali. Tenang saja, semua mahasiswa baru pasti gugup di hari pertama.”
Stefany mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya masih ada beban berat. “Aku cuma… butuh waktu menyesuaikan diri.”
Perjalanan ke Kampus
Di bus menuju kampus, Clara bercerita banyak tentang universitas mereka.
Clara: “Di sini dosennya seru-seru, Stefany. Apalagi Prof. Müller, beliau terkenal baik tapi tugasnya banyak.”
Stefany: “Sepertinya aku harus belajar ekstra keras, ya.”
Clara: “Iya, tapi nanti kamu akan terbiasa. Di sini kehidupan kuliah agak beda sama di Indonesia.”
Stefany: “Beda gimana?”
Clara: “Di sini mahasiswa dituntut mandiri. Banyak diskusi, banyak proyek kelompok. Kamu akan sering presentasi.”
Stefany mengangguk pelan. Mandiri… Kata itu terngiang di kepalanya. Seolah mengingatkannya bahwa di negeri asing ini, ia benar-benar sendirian.
Aula kampus dipenuhi mahasiswa baru dari berbagai negara. Bendera-bendera kecil menghiasi meja registrasi. Stefany mendaftar, mendapat name tag bertuliskan: Stefany Indonesia Faculty of Business Management.
Clara memperkenalkan Stefany kepada beberapa mahasiswa lain:
Clara: “Ini Stefany, teman baruku dari Indonesia.”
Mahasiswa Korea: “Halo, senang bertemu!”
Mahasiswa Jerman: “Selamat datang di Jerman!”
Stefany tersenyum sopan. “Terima kasih… senang bertemu kalian juga.”
Meski berusaha ramah, hatinya masih tertutup. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan siapa pun. Luka karena Stefanus masih terlalu segar.
Di Kafetaria Kampus
Setelah acara orientasi, Clara mengajak Stefany makan siang di kafetaria.
Clara: “Bagaimana hari pertamamu sejauh ini?”
Stefany: “Rame… tapi hatiku masih terasa kosong.”
Clara: “Kosong?”
Stefany: “Iya. Seperti ada sesuatu yang hilang… atau seseorang.”
Clara menatapnya penasaran. “Seseorang? Maksudmu…?”
Stefany terdiam lama sebelum menjawab lirih, “Orang yang sangat aku cintai. Dia sudah… tiada.”
Clara terdiam, wajahnya berubah lembut. “Aku… maaf, Stefany. Aku tidak tahu.”
Stefany menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya… masih belum terbiasa tanpa dia.
Malam itu ponselnya berdering lagi. Pesan dari ayahnya.
Ayah: “Bagaimana kuliahmu?”
Stefany: “Baru orientasi, Yah.”
Ayah: “Ingat, kamu di sana untuk masa depanmu. Jangan sampai terpengaruh hal-hal yang tidak perlu.”
Stefany: “Maksud Ayah?”
Ayah: “Teman boleh. Pacar jangan dulu. Fokus pada pendidikanmu.”
Stefany menggigit bibir. Ia tidak menjawab pesan itu. Dalam hati ia berkata pelan, Pacar? Aku bahkan masih belum bisa melupakan yang sudah pergi…
Clara: “Stefany, boleh aku tanya sesuatu?”
Stefany: “Apa?”
Clara: “Tentang orang yang kamu bilang sudah tiada itu… dia pacarmu?”
Stefany terdiam lama sebelum mengangguk pelan. “Namanya Stefanus. Dia… dunia untukku. Tapi dia meninggal mendadak.”
Clara memegang tangan Stefany. “Aku ikut sedih, Stefany. Pasti berat bagimu.”
Stefany tersenyum pahit. “Lebih dari berat. Seperti separuh jiwaku ikut hilang.”
Malam semakin larut. Stefany duduk di dekat jendela, memandangi lampu kota Jerman yang berkelip.
Stefanus… kalau saja kamu di sini. Semua akan berbeda.
Ia memeluk foto itu lagi.
Dan untuk pertama kalinya sejak tiba di Jerman, Stefany berkata dalam hati, “Aku akan mencoba bertahan. Meski tanpamu.”
Jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi ketika Stefany terbangun. Udara di kamar asrama terasa dingin menusuk, membuatnya menggigil meski sudah memakai kaus tebal. Ia menarik selimut sebentar, enggan beranjak. Namun suara langkah di kamar sebelah, bunyi air di kamar mandi umum, dan aroma kopi yang samar-samar tercium dari lorong membuatnya sadar: hari pertamanya di kampus Jerman sudah menunggu.
Clara, teman sekamarnya, sudah lebih dulu bangun. Gadis berambut cokelat itu duduk di kursi dekat jendela, menyesap kopi panas sambil menatap keluar. Ketika Stefany membuka mata, Clara tersenyum hangat.
“Selamat pagi, sleeping beauty,” canda Clara dengan aksen Inggris yang sedikit kental.
Stefany mengusap wajahnya yang masih terasa berat. “Pagi, Clara… Kau sudah bangun sejak kapan?”
“Sejak setengah jam lalu. Aku terbiasa bangun pagi. Kau harus menyesuaikan diri dengan jadwal kuliah di sini terutama untuk mahasiswa Management Bisnis seperti kita. Dosen-dosen di sini terkenal disiplin,” jawab Clara sambil mengangkat bahunya.
Stefany mengangguk lemas. “Sepertinya tubuhku masih belum terbiasa dengan perbedaan waktu ini.”
Clara tersenyum maklum. “Jet lag. Semua mahasiswa baru mengalaminya. Tapi percayalah, seminggu lagi kau akan bangun pagi tanpa pusing.”
Stefany akhirnya turun dari ranjang. Di meja kecil dekat dinding, Clara sudah menyiapkan roti, selai stroberi, dan teh hangat di dalam mug biru.
“Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana,” ujar Stefany sambil duduk di kursi.
“Kau bisa mulai dengan menghabiskan rotinya,” jawab Clara sambil tersenyum nakal. “Kau perlu tenaga. Hari ini ada orientasi mahasiswa internasional, tur kampus, dan kelas pertama Management Bisnis kita. Percayalah, hari ini akan panjang.”
Stefany menatap keluar jendela sebentar. Daun-daun kering berjatuhan di halaman asrama, angin membawa sebagian ke arah trotoar. Semua terlihat indah tapi asing.
“Clara,” Stefany berkata pelan, “kadang aku merasa… ini seperti mimpi. Semuanya terasa begitu cepat. Kemarin aku masih di rumah, lalu tiba-tiba saja aku sudah di sini.”
Clara menatapnya sebentar, lalu berkata lembut, “Itu wajar. Hidup di negeri asing memang butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi kita di jurusan yang sama, jadi aku akan membantumu semampuku.”
Stefany mengangguk kecil, merasa sedikit lebih tenang.