"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
Lamaran Briana
Molly tidak tahu apakah dia bernapas atau pingsan. Jantungnya masih berlari maraton di dalam dadanya sejak dia memasuki ruangan itu. Suasana kaca, marmer, dan kemewahan menghancurkannya, tetapi bukan itu yang membuatnya begitu limbung. Itu Briana.
Wanita itu bergerak seperti predator di kandang emasnya sendiri. Setiap langkah diperhitungkan, setiap tatapan menusuk, setiap kata terdengar seperti perintah yang tidak ada yang berani mempertanyakan. Dan sekarang, Molly ada di sana, sendirian, di hadapan wanita yang dikagumi dan ditakuti seluruh dunia itu.
Briana berjalan ke jendela panorama. Tangannya beristirahat di saku celana panjang formalnya yang sempurna, bahunya lurus, posturnya seperti seseorang yang lahir di puncak dunia. Dia melihat ke kota di bawah seolah-olah semuanya hanyalah bidak di papan catur yang menjadi miliknya.
"Kau tahu, Molly," dia memulai, tanpa menoleh, "ribuan orang akan memberikan segalanya untuk berada di posisimu."
Molly meremas ujung roknya, gugup.
"Aku... aku tidak tahu apakah aku pantas mendapatkannya."
Briana akhirnya berbalik. Mata birunya bertemu dengan mata cokelat gadis itu, dan Molly merasakan kakinya gemetar.
"Kau tidak pantas mendapatkannya. Belum." katanya dengan dingin yang membuatnya ditakuti. "Tapi kau bisa belajar untuk pantas mendapatkannya."
Kata-kata itu, meskipun keras, jatuh seperti pujian yang aneh. Molly menelan ludah, mencoba memahami.
"Kenapa... aku?" dia berani bertanya. "Aku hanya seorang siswa... ada orang yang jauh lebih berkualitas..."
Briana mendekat perlahan. Suara hak sepatunya yang membentur marmer bergema seperti palu di benak Molly.
"Karena, tidak seperti mereka, kau tidak korup." gumamnya, berhenti beberapa sentimeter darinya. "Matamu tidak meminta apa pun padaku. Aku tidak melihat keserakahan, aku tidak melihat kepalsuan. Hanya ketakutan dan kepolosan. Dan itu, Molly... langka."
Molly berkedip, bingung, tidak tahu apakah itu pujian atau jebakan.
"Tapi... aku tidak tahu apakah aku bisa menangani sesuatu yang begitu besar."
Senyum sinis muncul di bibir Briana.
"Kau tidak perlu tahu. Cukup patuhi."
Kalimat itu jatuh di udara seperti hukuman. Molly merasakan wajahnya memerah, dia tidak mengerti mengapa kata-kata itu terdengar begitu... berbahaya, hampir intim.
"Pa-pa... mematuhi?" ulangnya, suaranya bergetar.
"Ya." Briana sedikit membungkuk, napasnya menyentuh ringan wajah gadis itu. "Mematuhi perintahku, belajar dari gerakanku, mempercayai pilihanku. Begitulah cara bertahan hidup di duniaku."
Jantung Molly berdebar begitu keras sehingga dia pikir Briana bisa mendengarnya. Tidak pernah ada orang yang berbicara kepadanya dengan begitu otoriter, seolah-olah dia memilikinya hanya dengan tatapan.
"Aku... aku ingin belajar." jawabnya hampir berbisik, tanpa menyadari bahwa dia baru saja menyerah.
Senyum Briana melebar, puas.
"Bagus. Kalau begitu kita mulai hari ini."
Beberapa jam berikutnya sangat intens. Briana menyuruhnya menemaninya dalam pertemuan cepat, memperkenalkannya kepada para eksekutif, menunjukkan bagaimana dia memerintah tanpa pernah meninggikan suaranya — hanya dengan kehadirannya. Molly merasa seperti bayangan, tersesat di tengah begitu banyak informasi, tetapi terpesona dengan cara Briana mengendalikan segala sesuatu di sekitarnya.
Di sore hari, sudah kelelahan, Molly berpikir bahwa dia akhirnya akan memiliki waktu untuk bernapas. Tapi Briana sepertinya tidak mau membiarkannya pergi begitu cepat.
"Kita akan makan malam." perintahnya, tanpa memberi ruang untuk penolakan.
Molly membelalakkan matanya.
"Ma-makan malam?"
"Ya. Kau perlu makan. Dan aku tidak suka melihat orang yang bekerja untukku pingsan kelaparan."
Nada suaranya terdengar praktis, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Molly tidak bisa menjelaskan, tetapi rasanya dia tidak punya pilihan.
Restoran itu adalah yang paling mewah di kota, dengan meja yang dipesan untuk beberapa orang istimewa. Molly merasa tidak pada tempatnya dengan gaun sederhananya, sementara Briana, dalam setelan hitam elegan, tampak menjadi bagian dari tempat itu secara alami, seolah-olah seluruh lingkungan dibuat untuk memujanya.
"Tenanglah." kata Briana, menyadari ketegangan gadis itu. "Kau bersamaku."
Itu empat kata, tetapi membawa beban yang tidak bisa diabaikan oleh Molly. Kau bersamaku. Seolah-olah itu berarti: "Tidak ada yang bisa menyakitimu, selama kau berada di sisiku."
Selama makan malam, Molly mencoba menghindari tatapan Briana, tetapi selalu gagal. Rasanya seperti ditarik oleh magnet.
"Kau tinggal bersama orang tuamu?" Briana bertanya, memotong filletnya dengan tenang.
"Ti-tidak... ibuku meninggal ketika aku berusia 14 tahun. Ayahku... dia melakukan apa yang dia bisa, tapi... hanya ada kami berdua."
Briana mengamatinya dalam diam sejenak, seolah-olah merekam setiap detail.
"Jadi kau tahu bagaimana rasanya berjuang untuk apa yang kau inginkan."
Molly mengangguk, malu-malu.
"Ya... itu sebabnya aku di sini. Aku ingin masa depan yang lebih baik... untukku dan untuknya."
Briana memiringkan kepalanya, dan matanya melembut sejenak.
"Ambisi murni tidak menarik bagiku. Tetapi ketika didorong oleh cinta... itu, Molly, berbahaya."
Gadis itu tidak tahu harus menjawab apa. Dia merasakan hatinya sakit, karena, entah bagaimana, Briana tampaknya melihat ke dalam dirinya.
Makan malam berlanjut, tetapi ketegangan di antara keduanya hanya meningkat. Setiap kali Briana berbicara, Molly merasa ada makna ganda yang tersembunyi. Setiap tatapan seperti belaian diam, setiap senyuman adalah janji terselubung.
Hingga, pada akhirnya, Briana memegang gelas anggurnya dan berkata:
"Aku ingin menawarkan sesuatu padamu, Molly."
Gadis itu mengangkat matanya, terkejut.
"Sesuatu... selain magang?"
"Selain dari semua yang kau bayangkan." Briana bersandar di kursinya, tetapi tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku ingin kau berada di dekatku. Tidak hanya sebagai pekerja magang. Tetapi sebagai seseorang yang... milikku."
Molly merasakan udara menghilang dari paru-parunya.
"Mi-milikmu?"
"Jangan takut." Briana tersenyum sinis. "Aku tidak berbicara tentang kontrak atau dokumen. Aku berbicara tentang kepercayaan. Kesetiaan. Aku ingin kau mengerti bahwa, di sisiku, kau akan memiliki segalanya. Tetapi, sebagai imbalannya, kau akan menjadi milikku dan hanya milikku."
Kata-kata itu bergema seperti perjanjian tak terlihat. Molly tidak tahu apakah dia harus melarikan diri atau menerima. Tetapi sebagian dari dirinya... bagian yang tersembunyi... ingin mengatakan ya.
"Aku..." suaranya gagal. "Aku tidak tahu apakah aku bisa..."
Briana membungkuk, mengunci pandangannya dengan intensitas.
"Kau bisa. Aku akan mengajarimu."
Untuk sesaat, dunia menghilang. Hanya ada mereka berdua, terperangkap dalam hubungan yang tidak dapat dijelaskan itu.
Molly menelan ludah, mencoba mengatur pikirannya, tetapi kenyataannya kejam: Briana menariknya dengan cara yang tidak masuk akal. Kekuatan wanita itu membuatnya takut... tetapi juga membuatnya terpesona.
Dan, untuk pertama kalinya, Molly bertanya pada dirinya sendiri: apakah itu cinta... atau penjara?
Malam itu, ketika Briana menurunkannya di rumah dengan mobil mewahnya, Molly tidak bisa tidur. Berbaring di tempat tidur sederhana, menatap langit-langit, dia ingat kata-kata pengusaha itu.
"Kau akan menjadi milikku dan hanya milikku."
Mengapa itu terdengar kurang seperti ancaman dan lebih seperti janji yang ingin dia terima?
Di sisi lain kota, Briana menatap gelas wiski di penthouse-nya, dengan mata tertuju pada lampu-lampu malam.
"Molly kecilku." — gumamnya pada dirinya sendiri, senyum dingin muncul di bibirnya. — "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Tidak akan pernah."
Permainan baru saja dimulai.