“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. MALU TAPI MAU
Lampu kamar sudah redup sejak beberapa menit lalu. Hanya cahaya hangat dari lampu meja yang menyala.
Renzo sudah lebih dulu terlelap, tengkurap di atas ranjang dengan punggung yang naik-turun perlahan. Lelah, pasti.
Nadhifa berdiri di depan cermin, membuka perlahan kerudung yang sejak tadi masih menempel di kepala. Rasanya seperti melepas segala kepenatan dari wajah.
Nadhifa berjalan ke sisi ranjang, menyibak selimut dengan hati-hati, lalu menyelinap ke dalamnya. Udara sejuk dari AC langsung menyergap kulitnya, membuat ia otomatis mendekat ke arah tubuh hangat Renzo.
Matanya menatap punggung lebar Renzo dalam diam. Di balik keras kepalanya, pria itu begitu lembut dan penuh rasa. Ada luka di hatinya yang tidak pernah ia ceritakan. Tapi entah kenapa, sejak awal, Nadhifa percaya bahwa ia akan jadi rumahnya.
Selimut ditarik hingga menutup bahunya, lalu ia pelan-pelan menempelkan dahinya di punggung Renzo.
“Mas,” bisiknya pelan.
Renzo tidak menjawab, tapi tangannya tiba-tiba bergerak, menarik Nadhifa agar menempel ke tubuhnya. Masih dalam posisi tengkurap, ia membalikkan wajahnya ke arah Nadhifa dan menggumam dengan suara beratnya. “Kamu udah lama nggak peluk aku kayak gini…”
Nadhifa tersenyum kecil, pipinya menempel di lengannya. “Aku peluk setiap malam, cuma kamu udah keburu mimpi.”
Renzo tertawa kecil. Tanpa aba-aba, ia membalik tubuhnya sepenuhnya, kini wajahnya menghadap Nadhifa, dan kedua tangannya memeluknya erat.
“Kalau kamu kedinginan … bilang. Aku bisa jadi penghangat hidup kamu seumur hidup.”
Nadhifa tertawa pelan, menutup mata sambil mengelus rambutnya yang setengah berantakan.
Beberapa waktu kemudian…
Ranjang di kamar itu bergoyang ringan, bukan karena hentakan keras, tapi karena gerakan tubuh Nadhifa dan Renzo yang perlahan menyatu dalam irama yang sudah familiar. Nadhifa pertama kalinya mengambil peran lebih berani.
Tatapan Renzo menembus remang cahaya lampu tidur. Tangannya menggenggam erat pinggang Nadhifa, seakan menahan agar ia tidak mundur.
“Berani juga kamu sekarang,” gumamnya, bibir terangkat nakal. “Jangan-jangan udah latihan sendiri di mimpi ya?”
Nadhifa menahan tawa. “Kalau pun iya, cuma sama kamu.”
Renzo mengangkat alis, membalas sentuhannya dengan genggaman lebih dalam. Tidak ada paksaan malam itu. Tidak ada desakan. Hanya dua tubuh saling merasakan, hangat, saling memberi, dan menerima.
Bayangan mereka menari di dinding, samar tapi nyata. Rangkulan mereka membentuk siluet yang bergerak perlahan, seperti adegan dalam film tanpa kata.
Setiap gerakan Nadhifa menegaskan bahwa ia bukan lagi wanita pemalu di depan sang suami. Ia tahu bagaimana mencintai dengan seluruh tubuhnya.
Renzo mendesah pelan. Nafasnya memanas, matanya tak pernah lepas dari Nadhifa. “Nadhifa,” panggilnya rendah.
Ia menunduk, menempelkan kening ke keningnya. Renzo memeluknya lebih erat, menenggelamkan Nadhifa dalam pelukan yang merengkuh bukan hanya tubuh, tapi juga hatinya sepenuhnya.
Saat semuanya selesai, Nadhifa rebah di dadanya, berkeringat tapi tenang. Suara detak jantungnya menjadi lagu penutup malam yang hangat.
...***...
Gemericik air memenuhi kamar mandi. Uap memenuhi kaca, mengaburkan bayangan tubuh Nadhifa yang bergerak di balik tirai shower. Lalu terdengar langkah perlahan di pintu. Suara yang ia kenal sangat baik.
“Aku kira kamu masih tidur,” gumam Renzo, suaranya serak oleh sisa kantuk.
Tirai tersingkap perlahan. Wajahnya muncul di sela uap. Mata mereka bertemu. Tak ada kata-kata, hanya diam dan nafas yang saling mencari.
Nadhifa memiringkan tubuh, memberi ruang. Renzo ikut masuk. Punggung Nadhifa menyentuh dinding dingin, bertolak belakang dengan hangatnya air yang turun dari kepala. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh lengannya seperti menyentuh sesuatu yang rapuh.
Mereka tidak berbicara. Hanya nafas dan detak yang bersahutan, bercampur dengan suara air.
Dunia luar terasa sangat jauh.
Di bawah guyuran air itu, dalam ruang kecil yang basah dan hangat, Nadhifa merasakan sesuatu lebih dari sekadar sentuhan. Rasa aman. Rasa dicintai.
Intinya mereka mandi bersama.
...***...
Kemeja putih Renzo belum terkancing rapi. Ia berdiri di depan cermin, setengah fokus menatap pantulannya, setengah menunggu sesuatu. Lalu terdengar langkahnya dari belakang. Ringan, tapi cukup membuatnya sadar. Aroma sabun Nadhifa yang masih segar datang lebih dulu, menyelimuti ruangan itu.
“Biar aku bantu,” gumam Nadhifa.
Renzo menatapnya lewat pantulan cermin. Nadhifa berdiri di depannya, hanya setinggi dagu, rambutnya masih sedikit lembab. Tangannya mulai mengancingkan kemeja Renzo satu per satu—dari atas ke bawah—dengan jemari yang sedikit gemetar.
“Aku bisa sendiri, tau …,” goda Renzo, setengah berbisik.
“Tau,” jawab Nadhifa cepat. “Tapi kamu lama banget.”
Renzo tersenyum. “Atau kamu sengaja? Biar bisa lebih dekat?”
Wajah Nadhifa langsung memerah. Matanya menghindar, tapi tangannya tetap bekerja, meski sekarang sedikit terburu-buru.
“Mas…” Nada protesnya membuat Renzo tertawa kecil.
“Aku suka kamu pagi-pagi begini,” ucap Renzo jujur, menyingkirkan sehelai rambut dari pipinya. “Masih malu-malu, padahal tadi…”
“Mas!” Suaranya pelan, tapi tangannya memukul dadanya dengan lembut.
“Tadi kamu yang mulai duluan, lho,” bisiknya, membuat Nadhifa makin menunduk sambil tersenyum malu.
Sebelum ia sempat menjawab, Renzo menurunkan wajahnya dan mencium kening Nadhifa pelan. Lama.
“Terima kasih, Sayang. Udah bikin pagi jadi semenyenangkan ini,” bisiknya.
...***...
Mobil hitam itu sudah menunggu di basement. Tapi pagi ini ada yang terasa berbeda. Mungkin karena mereka terlalu lama di kamar mandi. Nadhifa bahkan tak sempat masak, belum sempat menyentuh rice cooker.
Renzo berdiri di samping pintu mobil, tampak rapi dengan jas gelapnya. Dari belakang, Nadhifa memperhatikannya saat ia menyerahkan sesuatu pada Yuda—sebuah kartu.
“Ayah transfer buat bensin sama keperluanmu. Jangan lupa motor sport itu juga butuh makan,” ucap Renzo.
Yuda menerima kartu itu dengan kedua tangan. “Makasih, Ayah. Nanti aku isi full tank, janji.”
Renzo tertawa kecil. “Jangan cuma janji. Mesin bisa ngambek kalau kelamaan kosong.”
Nadhifa tersenyum, menyaksikan interaksi mereka. Kedekatan yang perlahan tumbuh terlihat jelas. Renzo tidak selalu ekspresif, tapi caranya memperhatikan, hangat dan tulus.
Setelah Yuda pamit dan berangkat ke kampus, Renzo membukakan pintu mobil untuknya.
“Silakan, Bu CFO,” katanya.
Nadhifa masuk, menutup pintu, dan merasakan ringan di dadanya. Mobil melaju perlahan, menembus jalanan yang mulai ramai.
“Maaf, aku nggak sempat masak …,” ucapnya pelan.
Renzo menyelipkan tangannya ke konsol tengah, mengeluarkan kotak kertas coklat dari dalam tas kecil. “Aku tahu,” jawabnya santai. “Makanya aku beli roti isi dan kopi hangat.”
Nadhifa tertawa, merasa lega. “Kamu emang selalu siap, ya?”
“Harus. Apalagi kalau tahu istriku bakal sibuk urusan … mandi bareng,” bisik Renzo nakal.
Nadhifa tersenyum malu sambil membuka bungkus roti. “Mas…”
“Ya?”
“Mulut kamu tuh, ya.”
Renzo menatapnya sejenak. “Mulut ini juga yang bikin kamu senyum tiap hari, ‘kan?”
Nadhifa tak bisa menahan tawa. Di luar, pagi mulai memanas, tapi di dalam mobil, rasanya seperti musim semi.
...***...
Saat mereka keluar dari rumah sakit beberapa waktu setelah pemeriksaan, Nadhifa tetap berada di sudut perasaan yang berat.
Hatinya menahan campuran cemas dan sakit karena belum ada tanda kehamilan.
Renzo menggenggam tangannya erat, menenangkan, namun Nadhifa masih merasakan ruang kosong di dadanya. Ia menatap suaminya, hatinya campur aduk antara takut mengecewakan dan bersyukur karena tidak harus menanggung ini sendiri.
“Maaf, Mas…”
Saat Renzo memeluknya, tanpa bicara, hanya dengan napas berat dan genggaman hangat, Nadhifa merasakan sesuatu yang menenangkan.