"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GOLDEN BLOOD
“Apa kalian melupakan kami?”
Suara dua orang paruh baya terdengar dari arah pintu masuk, menghentikan langkah mereka yang baru saja hendak menuju ruang makan.
Semua menoleh, lalu tersenyum lebar hampir bersamaan.
Naomi langsung menghampiri dengan antusias.
“Ah, Kakak! Sudah lama sekali Kakak tidak berkunjung!” serunya sambil memeluk Riana, saudara iparnya.
Rian, yang berdiri di samping istrinya, ikut menimpali dengan nada setengah menggoda,
“Kalau aku gak berkunjung, nanti putriku bisa dikuasai sama mereka,” ucapnya sambil merangkul Thalia dengan bangga.
Rion yang berdiri tak jauh dari situ langsung menatap saudaranya dengan ekspresi tak mau kalah.
“Kakak jangan begitu dong. Dia juga putriku. Aku pun merindukannya!” sahut Rion dengan nada protes yang disambut tawa kecil dari Naomi.
Tak mau ketinggalan, Andrian ikut nimbrung sambil merangkul Thalia.
“Iya, Daddy! Aku juga kangen ngerjain dia. Kenapa Daddy gak bilang sih kalau bunny ku ini sudah pulang?” ucapnya dengan wajah cerah, membuat Thalia mendesah panjang.
Melihat tiga pria Dewantara, ayah, paman, dan kakaknya berebut kasih sayang seolah dirinya piala rebutan, Thalia hanya bisa menggeleng, segera berjalan menuju meja makan.
Ia duduk, mengisi piringnya, lalu menatap ketiganya yang masih berdebat tanpa tanda-tanda akan berhenti.
“Sudah, sudah!” potong Naomi sambil menepuk tangan, wajahnya tegas tapi masih tersenyum.
“Mau sampai kapan kalian bertiga berdebat memperebutkan putriku ini, hm..? Aku sudah lapar, dan makanan di depan kita akan dingin semua!”
Rion, Rian, dan Andrian serempak terdiam.
Thalia menahan tawa kecil, menunduk menikmati makanannya, sementara Naomi dan Riana hanya bisa menggeleng geli melihat tiga lelaki Dewantara yang sama keras kepalanya.
Setelah makan malam yang penuh tawa, keluarga Dewantara berpindah ke ruang tamu. Suasana hangat, lampu temaram, dan aroma kopi memenuhi ruangan.
Thalia duduk santai di sofa panjang, menyandarkan kepala di pundak Andrian sambil asik memecahkan kuaci satu per satu. Pandangannya lalu mengarah pada Daddy Rian dan Papi Rion yang duduk di seberang mereka.
“Dad, Pi,” ucap Thalia dengan nada tenang namun serius.
“Apa benar… mafia Lexus bangkit lagi?”
Kedua pria paruh baya itu saling pandang, seolah kalimat Thalia barusan membangkitkan ingatan lama.
Rion akhirnya menaruh cangkirnya di meja dan menjawab pelan,
“Kalau Papi sih pernah dengar… waktu kunjungan proyek di Bangkok. Katanya kepemimpinan mafia Lexus digantikan oleh putra pemimpin sebelumnya.”
Thalia menatap Rion lekat-lekat.
“Jadi semacam… turun-temurun juga ya? Kalau gitu, nanti kalau Daddy dan Papi udah jadi tuan dan renta, berarti Shadow of Death bakal diurus Ian dong?”
Andrian langsung protes sambil mengernyit.
“Bunny, kita berdua dong! kamu juga punya darah Dewantara.”
Thalia melirik kakaknya dan tersenyum malas.“Gak ah...Males. Enakan jadi Tata, si pembunuh bayaran legendaris. Bisa sembunyi-sembunyi, kerja sendiri, tinggal dor dor, hidup nyaman tanpa musuh, banyak uang pula.”
Ia menaik-turunkan alis dengan gaya menggoda. Semua yang ada di ruangan itu hanya bisa menggeleng antara geli dan pasrah melihat gaya bicara Thalia yang memang tidak bisa ditebak.
Tiba-tiba ponsel Thalia berdering. Ia mengintip layar dan membaca pesan dari Lily, asistennya.
Wajah Thalia langsung berubah serius.
“Hmm… kayaknya Lia harus pergi dulu. Ada kerjaan di kantor, dan katanya gak bisa diwakilkan.”
Ia bangkit dari sofa sambil meraih jaketnya.
“Baiklah, Mommy, Daddy, Papi, Mami, dan Ian Lia pamit dulu ya.”
Andrian langsung ikut berdiri.“Gue anter!” serunya cepat.
Thalia menoleh sambil menyeringai jahil.
“Gak usah. Gue naik motor sendiri aja, Atau… lo mau gue bonceng lagi?”
Mendengar kalimat itu, Andrian spontan menggeleng cepat sambil mengangkat kedua tangannya.“Tidak! Cukup sekali hampir mati, Bunny! Gue masih trauma!, muntah dan kepala pusing”
Thalia tertawa kecil, mengecup pipi kanan keluarganya satu persatu dengan sekilas lalu beranjak keluar rumah.
Suara mesin motornya meraung pelan di halaman masion Dewantara, disusul angin senja yang beranjak malam, membawa aroma khas bensin bercampur elegan seperti Thalia sendiri manis, berbahaya, dan tak tertebak.
Dalam perjalanan, Thalia masih saja menggerutu sambil memutar gas motornya.
“Kak Lily gimana sih, jam enam tuh jamnya orang pulang kerja, bukan disuruh kerja lagi, huh…”
Ia mendengus kesal, namun laju motornya tiba-tiba melambat saat melihat kerumunan di ujung jalan.“Ya elah, ada apa lagi nih? Kok rame banget...” gumamnya sambil memperhatikan dari kejauhan.
Begitu matanya fokus, Thalia langsung mengenali dua sosok di tengah keributan itu Devina dan Arsen.“Hah?! Itu kan Tante Devina sama suaminya?!”
Di sekeliling mereka, beberapa pria berpakaian hitam menyerang brutal. Yang mengejutkan, Devina yang selama ini dikenal anggun oleh Thalia ternyata mampu menangkis dan menyerang balik dengan gerakan lincah nan terlatih.
Namun insting pembunuh bayaran Thalia menangkap sesuatu yang lebih berbahaya.
Matanya menyipit. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan fokus penuh.
Dan..
“Gotcha…” gumamnya pelan.
Beberapa bayangan di atas pohon terlihat mengangkat senjata, membidik ke arah Devina dan Arsen.
Tanpa berpikir panjang, Thalia memutar gas penuh, melompat turun dari motornya dalam kecepatan tinggi. Ia menarik Devina dan Arsen ke sisi jalan, membuat keduanya terdorong keras hingga terjatuh aman di balik tembok pembatas.
Dor!...
Satu peluru sempat melesat, menggores lengan Thalia dan darah menetes tipis. Tapi bukannya berhenti, Thalia justru tersenyum miring.
Dengan gerakan secepat kilat, ia melempar empat belati peraknya dari dalam saku jaketnya, melesat ke empat arah berbeda.
Dan tak lama terdengar
"srek!...aaaaa...!..thuk! thuk! thuk!
Empat tubuh berjatuhan dari atas pohon, masing-masing dengan luka di dada dan leher.
Suasana mendadak hening.
Devina dan Arsen yang masih duduk di tanah menatap tak percaya.
“Dia... barusan ngebidik empat arah sekaligus?” gumam Devina dan Arsen dengan nada takjub.
Thalia menatap mereka dengan ekspresi datar sambil mengusap sedikit darah di lengannya.“Om, Tante... kalian baik-baik aja?”
Devina segera bangkit dan menghampirinya, menatap luka Thalia dengan cemas.
“Thalia, tanganmu berdarah!”
Thalia tersenyum tipis. “Ah, ini cuma goresan kecil, Tante. Mereka lebih parah.”Ucap Thalia menunjuk pada para pria yang tergeletak tak bernyawa.
Sementara itu, Arsen dengan wajah serius langsung merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Jalan Sudirman Timur, segera!”Singkat namun syarat akan perintah.
Di sisi lain, Thalia berdiri tegak di bawah lampu jalan yang mulai temaram, menatap tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah.
Angin malam berhembus, membuat rambutnya sedikit berkibar dan dalam diam, semua orang yang masih hidup di sekitar situ tahu satu hal, Gadis itu bukan orang biasa.
Arsen berjalan mendekat setelah memastikan situasi aman. Tatapannya tajam, tapi nada suaranya tetap datar.
“Terima kasih.”
Thalia menoleh dan mengedip pelan. Mengangguk menatap Arsen.
“Pantesan aja si Athar irit ngomong,” gumamnya “ternyata nurun dari bapaknya yang juga irit bicara.”
Devina yang mendengarnya hanya tersenyum kecil, lalu mendekati Thalia dengan wajah khawatir.“Terima kasih ya, Thalia… dan maaf. Rasanya setiap kali kamu ketemu Tante, pasti ada luka di tubuhmu.”
Thalia menatap Devina yang mulai melilitkan kain dari syalnya ke lengan Thalia yang berdarah. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Tante jangan bicara kayak gitu, dong...Ini namanya musibah..dan takdir, kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi, bukan kecuali kalau kita tuhan..”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada ringan,“Tapi ya… tanggal apes kayaknya nggak ada di kalender sih, hehehe.”
Devina sempat tertawa kecil, lalu menatap Thalia curiga.“Eh, Tante boleh tahu nggak kamu sebenarnya putri siapa?”
Thalia belum sempat menjawab ketika suara raungan motor besar menggema dari kejauhan.
Beberapa detik kemudian, Athar, Raka, Rafi, Dion, Doni, dan belasan anggota Golden Blood tiba dengan kecepatan tinggi.
Begitu berhenti, para anggota segera turun dan memberi hormat pada Arsen.“Hormat kami, Big Boss!” seru mereka serempak.
Arsen hanya menatap dingin dan berbicara singkat,“Bawa mereka...Selidiki semuanya.”
“Siap, Big Bos!”
Thalia yang berdiri di sisi Devina hanya bergumam dalam hati.“Jadi benar… Athar anggota dari Golden Blood. Si iblis dari neraka itu..tapi kok gak serem ya malah nyebelin mukanya huh…”
Namun gumamannya tak luput dari pandangan Athar. Ia sempat tertegun melihat Thalia berdiri di sana dengan lengan terluka. Tapi dalam sepersekian detik, ia menormalkan ekspresinya kembali.
“Bunda…” panggil Athar dengan nada cemas.
Devina menoleh, tersenyum lembut.
“Bunda baik-baik saja, Nak. Tapi Thalia tadi sempat kena gores peluru.”
Tatapannya lalu beralih pada Thalia.
“Abang, antar Thalia ke rumah sakit, ya. Siapa tahu ada serpihan peluru yang nempel di kulitnya. Takut infeksi.”
Thalia buru-buru mengangkat tangannya, menolak halus.“Ah, nggak perlu, Tante. Ini cuma luka kecil kok, bisa sembuh sendiri.”
Namun Devina menatapnya dengan tegas, nada suaranya lembut tapi tak bisa dibantah.
“Tante minta tolong Thalia kamu bisa kan ke rumah sakit, biar Tante lebih tenang.”
Thalia menghela napas panjang dan tersenyum pasrah.“Baiklah, Tante. Daripada Lia terus debat, kan gak baik ngelawan orang tua.”
Ia menatap Athar sambil menaikkan satu alisnya.“Jadi, abang Athar ayo antar Lia ke rumah sakit, biar dapet imunisasi gratis.”
Raka, Rafi, dan yang lain hanya bisa menahan tawa kecil melihat interaksi mereka, sementara Athar sendiri cuma menatap Thalia dengan ekspresi setengah jengkel, setengah khawatir.
Thalia kini melangkah menuju motornya, namun tiba-tiba sebuah tangan besar menahan pergelangan tangannya.
“Motor gue,” ucap Athar datar tapi tegas.
Thalia menatap tangannya yang dicekal, lalu mendongak, menatap pria itu dengan alis terangkat.“Ini motor gue, dan itu motor lo...,” katanya menunjuk motornya sendiri. “Gue bawa motor sendiri.”
Athar tetap tak melepaskan cengkeramannya.
“Pakai motor gue.”
“Ohhh, nggak usah deh.” Thalia menyipitkan mata, lalu menurunkan suaranya sedikit agar hanya Athar yang mendengar.
“Gue gak akan ke rumah sakit kok...”
Ucapan itu membuat Athar mempersempit tatapannya, sementara di belakang mereka, Arsen, Devina, sahabat Atar dan semua anggota Golden Blood memperhatikan interaksi keduanya dengan wajah menahan tawa.
Devina menatap suaminya, lalu berbisik lirih, “Yah… apa kita akan segera punya menantu?”
Arsen yang masih bersedekap hanya menjawab singkat, “Hem… sepertinya.”
Devina kemudian beralih ke arah Raka dan bertanya pelan, “Apa mereka sering seperti ini di sekolah?”
Namun sebelum Raka sempat menjawab, Dion yang memang terkenal paling cerewet langsung menimpali,
“Tentu, Bunda! Di sekolah mereka sering ribut. Dan asal Bunda tau putra Bunda itu cuma bisa senyum katang tertawa kalau berhasil bikin Thalia kesal.”
Ia menunjuk ke arah Athar dengan ekspresi geli. “Lihat aja, Bun.”
Dan benar saja.
Ketika Athar berjalan lebih dulu menuju motornya, wajahnya terlihat tenang tapi sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, sebuah ekspresi puas yang jarang muncul.
Sementara di belakang, Thalia menghentakkan kakinya keras-keras sambil manyun.“Dasar tembok… bisanya ngancem aja!” gumamnya kesal. “Awas aja ya, gue doain jodoh lo kuntilanak!”
Ia benar-benar sebal, apalagi setelah Athar dengan nada datar mengancam,“Kalau lo nggak ikut ke rumah sakit sesuai kata Bunda, si Coki Vespa kesayangan lo nggak bakal gue balikin.”
Dan ancaman itu berhasil, karena semua orang tahu, Coki bukan sekadar motor bagi Thalia, tapi belahan jiwa beroda dua miliknya.
Sementara Devina hanya menutup mulut menahan tawa, menatap suaminya dan bergumam,“Sepertinya keluarga kita bakal makin ramai kalau dua anak itu beneran jadian.”
Dengan wajah kesal, Thalia akhirnya naik ke motor Athar. Ia sengaja duduk agak jauh di belakang, menjaga jarak seolah sedang naik motor dengan musuh bebuyutan, bukan teman sekelasnya.
Namun baru beberapa detik motor melaju, Athar tiba-tiba menarik gas kencang. Motor sport itu meraung dan melesat cepat di jalanan.“ATHAR!!! Lo mau bikin gue jantungan, hah?!” seru Thalia refleks, matanya melotot.
Tanpa sadar, ia langsung memeluk pinggang Athar erat-erat. Athar menahan tawa kecil, tapi suaranya terdengar santai, bahkan sedikit menggoda,“Lemah...”
Mata Thalia menyipit.
“Oh, gitu ya? Lo ngeledek gue?”
Dan tanpa basa-basi
cuittt.....
Thalia menjepit pinggang Athar dengan cubitan andalannya.“Aw, lepas..keluh Athar sambil meringis, mencoba menahan tangan Thalia yang mencubitnya tanpa ampun.
“Siapa suruh lo ngebut! Dan bilang gue lemah, Kalau jatuh gimana? Hem...lo mau ganti nyawa gue!” omel Thalia keras-keras di belakang, tapi ekspresi Athar justru berubah geli.
"Bawel.. "
“Lo ya... "Kesal Thalia
Ia menghela napas panjang, mengeluarkan ponsel dari saku dan mulai mengetik pesan cepat.
Lily: "Kak, aku kena insiden kecil di jalan. gak bisa ke kantor. Tolong bawa berkasnya ke masion aja, ya... "
Pesan terkirim.
Thalia bersandar pelan, menatap punggung Athar yang kokoh di depannya, lalu mendesis pelan.“Gara-gara kejadian tadi, kerjaan gue mundur... Huh.. "gumam Thalia
Athar yang mendengarnya cuma tersenyum kecil tanpa menoleh, suaranya nyaris tertelan oleh deru mesin motor.
“Gak ikhlas nolong.. "
Thalia memutar bola matanya.
“Gue ikhlas.. "
“Trus kenapa ngedumel.. "
Thalia hanya terdiam malas bicara apalagi angin sore membuatnya terbuai merasa ngantuk.