Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Anak buah Zul tertangkap
Pagi itu, Fanda baru saja selesai menyiapkan sarapan.sedangkan Andre masih tertidur lelap di kamar karena tubuhnya masih terasa sakit akibat luka semalam.
Fanda duduk di meja makan sambil menatap ponselnya, berniat mengumpulkan bukti pesan ancaman.
Namun tiba-tiba, sebuah email baru masuk. Judulnya singkat:
"ini yang laki-laki kau percaya"
Dengan jantung berdegup, Fanda membuka lampiran di dalamnya. Matanya langsung membelalak. Ada foto Andre bersama seorang perempuan yang ia tidak kenal, diambil di sebuah kafe.
Dalam foto itu, Andre tampak mencium pipi wanita itu dan memegang tangan nya.
Pesan singkat menyertai foto itu, apakah kamu yakin dia jujur padamu
Fanda memegang ponselnya dengan tangan gemetar.
Ia tahu foto itu bisa saja rekayasa, tapi hatinya tetap berdebar.
“Tidak mungkin… Mas Andre nggak mungkin seperti ini. Pasti ini editan,”
bisiknya pelan.
Saat itu, Andre keluar dari kamar dengan langkah tertatih.
“Sayang, kamu belum makan? Aku mencium bau masakan enak, kok nggak nyoba duluan?”
Fanda cepat-cepat menutup ponselnya, mencoba menenangkan diri. Senyum kecil ia paksa keluar.
“Aku nunggu kamu Mas, ayo duduk, biar kita sarapan bareng.”
Andre tidak menyadari kegelisahan istrinya. Ia duduk sambil tersenyum meski wajahnya masih lebam.
“Terima kasih, Sayang. Kamu selalu perhatian.”
Fanda hanya mengangguk, tapi di balik senyumnya, hatinya dihantui rasa cemas.
Di tempat lain, Zul menatap layar laptopnya puas. Ia menyesap kopinya perlahan sambil tersenyum miring.
“Foto editan dari seorang ahli ini pasti membuat hatinya goyah. Sekarang tinggal tunggu… kapan dia mulai ragu sama laki-laki itu.”
Seorang pria yang membantunya tertawa kecil.
“Bos, kalau begini, mereka pasti ribut sendiri. Nggak usah susah-susah repot lagi.”
Zul menatapnya tajam, senyumnya tipis.
“Justru itu yang aku mau. Biarkan dia yang menghancurkan rumah tangganya sendiri. Aku cuma perlu dorong sedikit saja.”
Malam harinya, Fanda berdiri di balkon, menatap kota dengan mata kosong. Andre datang dari belakang, merangkul pinggangnya seperti biasa.
“Ada apa, Sayang? Kamu dari tadi diam aja.”
Fanda menoleh, menatap wajah suaminya lama-lama. Ia ingin percaya sepenuhnya, tapi bayangan foto itu masih menghantui pikirannya.
“Mas… kamu janji nggak akan bohongin aku?”
Andre tertegun. Ia mengusap rambut istrinya lembut.
“Sayang, aku nggak punya alasan buat bohong. Semua yang aku punya cuma kamu. Percaya sama aku, ya?”
Fanda mengangguk pelan, tapi hatinya belum benar-benar tenang.
Di balik semua itu, Zul tersenyum puas. Rencananya mulai bekerja.
Malam itu suasana apartemen terasa hening.
Fanda duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya berulang kali. Foto itu masih tersimpan di layar.gambar Andre berciuman bersama seorang perempuan asing di sebuah kafe.
Hatinya berperang. Ia tahu Zul sanggup melakukan apa saja, tapi bayangan itu menolak hilang dari kepalanya.
Andre keluar dari kamar mandi, masih mengusap rambutnya dengan handuk. Saat melihat Fanda diam termenung, ia menghampiri dengan dahi berkerut.
“Sayang, ada apa? Dari tadi kamu kelihatan gelisah.”
Fanda menggenggam ponselnya erat, lalu mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca.
“Mas… aku pengen tanya sesuatu, tolong jawab jujur.”
Andre duduk di sampingnya, menatap lekat.
“Ya, tanyalah. Aku nggak pernah punya alasan buat bohong sama kamu.”
Dengan tangan gemetar, Fanda menyerahkan ponselnya.
“Ini… aku dapat email. Katanya ini kamu.”
Andre menunduk, matanya langsung tertuju pada foto itu. Ia menatap cukup lama, lalu menghela napas dalam. Perlahan ia menggeleng.
“Aku nggak kenal perempuan ini, Sayang. Dan aku bahkan nggak pernah duduk di tempat seperti di foto ini,dan juga mana berani aku berciuman di tempat ramai begitu.”
Fanda terdiam, meneliti wajahnya.
“Tapi kenapa foto ini kelihatan nyata sekali?”
Andre meraih tangan istrinya, menekannya di dadanya sendiri.
“Dengar aku. Aku nggak tahu dari mana foto ini datang, tapi jelas ini permainan Zul. Dia tahu kalau nggak bisa hancurkan aku dari luar, maka dia coba hancurkan dari dalam… lewat rasa percaya kamu sama aku.”
Fanda menatap mata suaminya. Dalam sorot itu, ia tak menemukan kebohongan. Hanya kelelahan dan ketulusan. Air matanya akhirnya jatuh.
“Mas, maaf… aku sempat ragu. Aku takut kehilangan kamu.”
Andre mengusap pipinya lembut.
“Kamu nggak salah, Sayang. Kita diserang dari segala sisi. Tapi aku janji, aku cuma milikmu. Apa pun yang Zul lakukan, jangan pernah biarkan dia menang dengan bikin kita saling curiga.”
Fanda mengangguk pelan, lalu memeluk Andre erat.
“Aku percaya sama kamu Mas. Mulai sekarang, aku nggak akan biarkan orang lain masuk di antara kita.”
Andre mengecup keningnya lama-lama. “Terima kasih Sayang, itu yang paling aku butuhkan.”
Di luar sana, Zul sedang menunggu pesan reaksi dari foto yang ia kirim. Namun saat melihat tak ada balasan dari Fanda maupun Andre, wajahnya mengeras.
“Hm… jadi mereka masih bertahan? Baiklah, kalau begitu aku harus pakai cara yang lebih keras lagi.”
Malam itu, Andre dan Fanda baru saja keluar dari apartemen. Mereka berencana membeli makan malam di kaki lima, dengan berjalan kaki saja. Saat berjalan, perasaan Andre terasa tidak enak. Jalanan terlihat sepi, hanya lampu jalan yang menerangi.
Tiba-tiba, tiga pria berbadan besar muncul dari arah berlawanan.
“Hei, itu orangnya!” salah satu berteriak, lalu langsung menyerang.
Andre sigap, mendorong Fanda ke belakang.
“Sayang, mundur!” katanya cepat.
Tinju pertama datang, tapi Andre menangkis, membuat penyerang terpental. Dua lainnya maju serentak, membuat suasana ricuh.
Fanda panik, tapi justru mengeluarkan ponselnya. Ia tahu sesuatu sedang tidak beres, lalu menekan tombol kamera dan mulai merekam seluruh kejadian.
“Andre!” Fanda berteriak saat salah satu pukulan mengenai pipi suaminya.
Tapi Andre masih berdiri tegak melawan.
Beberapa warga dan satpam apartemen yang tidak terlalu jauh dari lokasi datang membantu melerai perkelahian. Dua penyerang berhasil kabur, tapi satu tertangkap oleh Andre. Ia dipiting dan didorong ke dinding.
“Ngaku, siapa yang nyuruh lo?” bentak Andre.
Pria itu terengah-engah, mencoba melepaskan diri.
“Gue… gue cuma disuruh…Bos Zul! Semua ini perintah Bos Zul!”
Fanda langsung mendekat, memastikan kamera ponselnya menangkap jelas wajah pria itu dan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangan Fanda bergetar, tapi ia tahu ini bukti yang sangat penting.
Andre menatap Fanda sekilas, memberi isyarat agar terus merekam.
Akhirnya Satpam dan warga segera membawa pria itu ke pos keamanan sambil menunggu polisi datang.
Sementara Andre berdiri dengan wajah penuh luka, Fanda menghampiri Andre dan memegang lengannya.
“Aku rekam semuanya, Mas,” bisik Fanda.
“Kali ini Zul nggak bisa lagi sembunyi di balik bayangan.”