Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serba Salah
"Kencangkan sabuk pengamanmu!" pinta Xav sambil mulai menekan tombol di layar dekat kemudi.
"Oh, ok." Eireen bergegas memasang sabuk pengamannya. "Tapi, apa tidak sebaiknya aku yang mengemudi?"
Xav tidak menjawab, justru suara terdengar.
Mata Eireen fokusnya segera tercuri, melihat penutup bagasi depan mobil terbuka, hingga mengeluarkan senjata.
"Wah...!" celetuknya kagum.
DOR! DOR!
Senjata di mobil Xav itu otomatis bergerak, menembaki mobil-mobil yang menyerang mereka.
Seketika itu juga, mobil-mobil itu kocar kacir, mencari jalan memutar. Beberapa orang diantaranya bahkan takut, dan masuk ke dalam mobil lagi.
Xav memanfaatkan hal itu dengan segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Ia pun mengambil satu buah granat gas, melemparnya lewat jendela. Sampai tiga kali.
Area itu segera dipenuhi kabut gas putih yang semerbak. Xav membawa mobilnya kabur secepat yang ia bisa, selagi kabutnya masih tebal.
Sementara, mobil-mobil itu ada yang saling bertabrakan atau justru salah serang di dalam kabut itu.
DOR! DOR!
Bunyi tembakan masih bersahutan di belakang sana, Xav justru masih merasa tidak aman.
Benar saja, saat ia menoleh ke samping, ada gadis yang menatapnya tidak berkedip. "Bisa tidak jangan menggangguku?!" ketusnya.
"Aku mengganggu apa? Jelas-jelas aku hanya diam saja dari tadi."
"What ever!" Xav menjawab dengan nada menahan geram, malas berdebat, segera mengalihkan pandangan.
Ia menekan tombol di layar digital di sebelah kemudi, membuat senjatanya masuk kembali ke dalam bagasi depan.
Sementara Xav memperhatikan kondisi di area berkabut tadi, Eireen justru sibuk memperhatikannya saja.
Memang Eireen tidak mengatakan apa-apa, tapi, dilihati begitu, sudah membut Xav kesal luar biasa. 'Haruskah kutendang dia keluar dari mobil sekarang juga?' batinnya.
Beruntungnya, Eireen mengalihkan pandangan sebelum Xav sungguhan melakukannya.
Gadis itu justru santai sekali, bersedekap tangan. "Sepertinya, kalau denganmu aku tidak perlu takut diserang. Wah... memang tidak salah aku mengejarmu. Bukan hanya tampan tapi juga bisa diandalkan. Cocok sekali jadi kekasihku!"
Xav tidak menyahut. Baru ini dia bertemu perempuan, yang mungkin, sudah seperti versi dirinya kalau menjadi perempuan, dulu kala, saat ia belum dikhianati oleh Aleysha.
Dulu Xav adalah laki-laki tengil, seperti Eireen. Tapi, pengkhianatan mengubah ia menjadi dingin seperti sekarang.
Mobil mereka semakin menjauh, sudah mengambil belokan juga, hingga tidak terkejar.
"Bukankah lebih enak kalau kita melawan mereka? Mencari informasi?" tanya Eireen setelah diam beberapa detik.
"Buat apa? Mereka hanya orang bayaran!"
"Oh... tumben jawab? Ah... atau... kau takut salah tingkah ya? Makanya diam, kalau aku sedang memujimu?"
Xav diam. Eireen berkata lagi. "Baiklah, aku tidak akan terang-terangan memujimu lagi."
Xav diam-diam lega, karena tidak harus mendengar gombalan aneh Eireen lagi.
Namun, gadis itu justru lanjut berkata, "Tapi aku tidak akan berhenti mengejarmu. Nanti kupikirkan cara lain, seperti jadi perempuan malu-malu mau begitu?"
"Aneh sih. Kalau aku malu-malu, kau diam saja, bagaimana bisa pendekatan? Hmm. Tidak bisa, tidak bisa." Eireen terus bicara sendiri.
Selagi Eireen berpikir, Xav mengomel dalam hati. 'Dasar gadis gila! Mimpi apa aku harus bersama dengannya terus begini?'
"Aha. Aku tahu!" celetuk gadis itu tiba-tiba.
Firasat Xav sudah tidak enak sekali. Rasanya, seperti akan ada hal buruk terjadi.
"Ck. Tapi aku malas kalau harus jadi orang lain begitu. Hah. Sudahlah, aku akan tetap jadi diriku saja. Ya walau tidak akan menggombal seperti tadi, aku akan tetap mengejarmu dengan terus mengajakmu bicara. Wah.. pasti menyenangkan..."
"Menyenangkan apanya?!" Tiba-tiba Xav menyela. "Setiap kata yang keluar dari mulutmu itu menggangguku. Kau tahu?!"
Bukannya tersinggung, marah atau bagaimana, Eireen justru menatap terpesona. "Aku suka, kalau sedang marah begini. Astaga... sepertinya memang aku sudah gila."
"Kau memang gila, dan bisa-bisa aku jadi tidak waras karenamu!"
"Hihi. Bagus dong? Berarti kita pasangan gila, wah, pasti kompak dan bahagia!"
"Bahagia apa? Yang ada aku mati karena darah tinggi, gara-gara kau itu!"
Eireen justru terkekeh. "Oh... kau sudah membayangkan bagaimana saat kita menjadi pasangan berarti ya? Cie.. cie...!"
Xav melirik tajam. Entah kenapa semua omelannya seolah mental begitu saja di mata Eireen.
"Aduh lirikan maut, tolong hentikan, jantungku tidak aman ini...!" kata Eireen dengan nada gemas, sambil menekan dadanya sendiri, seolah sungguhan sakit.
Xav sampai kehabisan kata-kata. Ia hanya mencengkram kemudi, mengalihkan pandangan.
Eireen semakin terkekeh, seolah puas sekali membuat kesal laki-laki yang ia suka.
Bagi Eireen, itu ampuh sekali mengalihkan pikiran tentang kondisi pamannya yang masih ia khawatirkan.
Sayang, Xav tidak tahu tentang itu. Mobil mereka kembali memasuki jalanan penghubung antar kota.
Sepanjang perjalanan Eireen bicara ini itu, tapi Xav masih bisa terus diam, walau mengomel dalam hati.
Ia berharap Eireen lelah sendiri. Sayang, seperti perempuan kebanyakan, Eireen bicara bicara puluhan ribu kata sehari.
Eireen yang melihat bibir Xav tampak agak kebiruan pun berceletuk, "Hei, kita harus ganti baju, atau..."
CIT...!
Tiba-tiba Xav berbelok ke jalanan hutan, membuat Eireen berpegangan ke hanger atas jendela. "CK. Ck. ck. Kemampuan mengemudimu itu agak-agak mengkhawatirkan ternyata."
"Baguslah. Dengan begitu, aku punya celah untuk melengkapimu," imbuhnya begitu percaya diri.
Xav hanya geleng-geleng kepala. Entah kenapa gadis itu sudah berpikir jika mungkin mereka akan jadi pasangan sungguhan yang saling melengkapi satu sama lainnya.
"Benar, tidak ada laki-laki sempurna, yang ada, laki-laki yang bisa kuterima celanya." Eireen mengangguk-anggukkan kepala, seolah sudah pas sekali, Xav jadi jodohnya.
Kepercayaan dirinya memang luar biasa. Walau, itu adalah salah satu bentuk perisai perlindungan diri, dari sisi dirinya yang pesimis, karena pengkhianatan dari Aslan.
"Tapi aneh, kau belum punya kekasih kan?" tanya Eireen penasaran.
Xav tidak menyahut, menoleh pun tidak.
"Walau kepribadianmu buruk, tapi, kalau kenal lama-lama, kau itu tipe yang akan dikejar banyak perempuan sih. Aneh kalau tidak punya kekasih. Begini-begini, aku tidak mau merebut kekasih orang. Jadi katakan saja, ada atau tidak?"
"Ada!" Xav menjawab sambil melirik sekilas. "Jadi stop, bicara tidak penting denganku! Bisa, kan?"
Eireen menyipitkan mata, curiga. "Tidak ada ternyata. Huhu. Kau pikir aku bisa kau bohongi dengan mudah, hah? Big No...!"
"Baguslah, kalau begini aku aman, bisa mengejarmu sesuka hatiku!" imbuhnya.
Xav sudah malas menjawab. Ia benar-benar dibuat serba salah. Jawab biar dia diam gagal, tidak jawab Eireen tidak mau diam juga.
Tidak berselang lama, Xav mengarahkan mobil ke area yang bahkan tidak ada jalan setapaknya.
Eireen curiga. 'Mau dibawa kemana aku?'
Ia menahan diri bertanya, sampai mobil itu berhenti, di area semak-semak. Xav turun dari mobil tanpa kata.
Eireen mengikutinya, berusaha berjalan di sampingnya. Ternyata, ada sebuah rumah di balik semaknya. Rumah kayu kecil, tapi terlihat terawat.
"Apa... ini termpat persembunyian Keluarga Nordic? Wah... kau percaya sekali kepadaku ya, sampai membawaku kemari??"
Xav tetap diam, membuka pintu dengan scan iris matanya. Pintu terbuka, Xav masuk ke dalam sebuah kamar.
Eireen mau ikut, tapi, kepalanya dihentikan oleh telapak tangan Xav. "Mau mengintip kau, hah? Atau jangan-jangan kau berpikir untuk melakukan..."
Eireen segera menampik tangan Xav dari kepalanya. "Siapa? Enak saja. Tidak ada yang bisa menyentuhku, sebelum menikahiku. Begini-begini, aku masih punya martabat!"
"Heh." Xav hanya menghembuskan napas kesal, menutup pintu kamar itu dengan segera.
"Dasar menyebalkan! Siapa juga yang mau ehem." Eireen malu sendiri, sampai tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Ia memilih berkeliling rumah kecil itu, masuk ke kamar satu lagi. Saat ia buka lemari kamar itu, ada pakaian perempuan.
"Masih baru dan sama seperti merk bajunya. Ah... apa ini tempat persembunyian keluarganya?" Eireen memutuskan mengganti pakaiannya dengan itu.
Setelah memakai celana hitam, dalaman kaos abu-abu dan jaket kulit hitam, Eireen mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, kemudian menguncirnya satu.
Ada topi hitam juga, ia pakai juga itu, berserta sepatunya. "Semua ukurannya mirip denganku. Apa... punya ibunya ya?"
Tidak mau pusing memikirkan itu, Eireen segera menggelengkan kepala, kemudian keluar dari kamar.
Ternyata, Xav sudah tidak ada di kamar sebelumnya. "Lha, dimana?"
Ia cari-cari, laki-laki itu tidak ada di dalam rumah itu. "Sial, jangan bilang aku ditinggalkan sendiri di sini?!"
Ia memutuskan keluar. Tapi, saat akan membuka pintu, tidak bisa. "Lho-lho, kenapa?"
DOK! DOK! DOK!
"Hei... buka pintunya!" ucap Eireen sambil menggedor pintu itu. "Sial, jangan bilang dia sengaja mengurungku di sini. Argh, awas saja! Hei, buka... .!"
CEKLEK!
Pintunya terbuka, Xav menatap kesal dari baliknya. "Bisa tidak jangan berisik, huh?!"
"Ya kau kenapa mengunci pintunya?"
"Siapa?"
"Ya kau lah, dari tadi aku tidak bisa membuka!"
Xav justru memperlihatkan tombol di tengah gagang pintu. "Kau tidak menekan ini sat membukanya!"
Eireen malu sendiri. "Oh... ya bilang dong. Mana kutahu? Kau sih, kenapa meninggalkanku, keluar dulu?"
Xav geleng-geleng kepala, meninggalkannya.
Eireen menutup pintu, mengikutinya. "Hei, tidak istirahat dulu? Sudah malam ini."
Xav tidak peduli, langsung masuk saja ke dalam mobil. Eireen mau tidak mau ikut, duduk di sebelahnya.
Mobil beranjak, meninggalkan area itu, tapi tidak kembali ke jalan saat datang.
Eireen tidak bertanya, percaya-percaya saja kepada laki-laki itu. Sampai mobilnya keluar dari area hutan, menuju ke jalan kota.
Saat itulah, perutnya tiba-tiba berbunyi. KRUCUK! KRUCUK!
Eireen malu sendiri, saat Xav menoleh ke arahnya. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, pura-pura tidak tahu.
Xav entah bagaimana, menganggap itu lucu, hingga tersenyum tipis, menggelengkan kepala, sambil mengalihkan pandangan ke depan lagi.
Merasa ada yang meledeknya, Eireen menoleh, memperhatikan wajah Xav dari samping.
Sayangnya, ia tidak berani membahas, karena malu. Jadi, ia diam saja, menahan lapar, walau ingin sekali ia mengomel, meminta beli makanan dulu.
Namun, tanpa ia duga, ternyata, laki-laki itu membawa mobil masuk ke area drive thru makanan siap jadi Jepang.
Eireen sudah senyam-senyum sendiri saja. Tapi, Xav justru hanya diam dan meliriknya, saat ditanya petugasnya.
Paham jika ia disuruh memilih sendiri pesanannya, Eireen bisa melongokkan kepala, menghadap ke petugasnya, memesankan untuk mereka berdua.
"Sudah seperti istri saja aku!" ucapnya setelah selesai.
Xav hanya diam, melakukan pembayaran dengan uang cash yang tersimpan di kompartemen dekat kemudi, lantas membawa mobilnya pergi.
Eireen membuka bentonya, kemudian menyuapkan kepada Xav. "Aaaa....?"
Nahas, Xav justru teringat dengan masa lalunya.
Ingatan tentang Aleysha membuatnya marah.
"Berhentilah melakukan itu!" Ia pun menampik tangan Eireen hingga daging berserta sumpitnya jatuh.
Eireen agak terkesiap. Kali ini, marahnya Xav benar-benar berbeda. "Eh, maaf, aku keterlaluan ya? Maaf."
"Sekali lagi kau lakukan itu, kebuang kau ke jalanan sekarang juga!" ucapnya dengan nada kasar, karena masih diliputi emosi.
"Iya, maaf." Eireen pun terdiam setelahnya.
Ia tidak bicara lagi, bahkan makanannya hanya ia lihati saja sejak tadi.
Xav tidak tahu saja, Eireen cukup trauma dengan mata dibuang.
Lebih-lebih yang mengatakan adalah orang yang ia kagumi, yang ia pikir berbeda dari orang yang selalu menghinanya anak terbuang.
Xav jadi serba salah melihatnya. Aneh, padahal, kalau Eireen bicara terus, ia berharap segera itu berhenti. Tapi, sekarang rasanya aneh.