"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PELINDUNG SUNYI
Di Kamar rawat inap di Rumah Sakit Arthala. Keheningan yang canggung telah berganti menjadi keheningan yang penuh keprihatinan.
Aluna, karena terlalu lelah secara emosional dan fisik setelah shift panjang dan kepanikan hebat, akhirnya mengalah pada kelelahan. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memejamkan mata. Seragam pelayan yang kusut menjadi saksi bisu perjuangannya.
Axel berdiri di dekat ranjang Justin, sementara Jhonatan dan Kevin berbisik pelan di dekat pintu, membahas langkah hukum terhadap Jovan.
Yoga melangkah perlahan ke sisi ranjang Justin. Ia menatap pemuda yang babak belur itu dengan tatapan yang dalam.
"Dengar baik-baik, Justin."
Justin yang bersandar di bantal, menoleh ke arah Yoga.
"Kakakmu... Aluna, dia sangat kuat. Dia mengorbankan segalanya untukmu, sampai harus menutupinya pada semua orang."
Yoga melirik sekilas ke arah Aluna yang tertidur di sofa. "Hargai kerja kerasnya. Jangan pernah biarkan dia merasa perjuangannya sia-sia. Kamu berhak atas mimpimu, tapi kamu punya tanggung jawab untuk belajar dengan keras, mendapatkan hasil terbaik, dan segera menjadi sukses. Itu adalah cara terbaik untuk membalas pengorbanan Kakakmu."
Justin mengangguk pelan, air mata menggenang di matanya yang memar. Ia mengerti bahwa Yoga tidak sedang menghakimi, melainkan memberikan tugas suci untuk menghormati Aluna.
Saat Yoga menjauh dari ranjang, Jay menghampiri Justin. Jay masih terkejut dengan semua pengungkapan ini, tetapi ia adalah orang yang penuh empati. Ia teringat puing-puing gitar di gang gelap.
"Hei, Bro. Jangan khawatir soal gitarmu. Itu... itu gitar yang bagus, kami melihatnya."
Justin menunduk, mengingat betapa rapuhnya gitar itu saat dibanting. Itu adalah harta karunnya.
"Aku janji padamu, begitu kamu keluar dari sini, aku akan membelikanmu gitar baru. Aku akan membelikan yang terbaik" Jay memberi janji
Justin menatap Jay dengan tidak percaya. "Tidak... tidak perlu. Aku tidak mau menyusahkan kalian."
"Tidak ada susahnya. Anggap saja itu fee tambahan atas performance terbaik yang pernah kami tonton. Itu sudah menjadi tanggung jawab kami. Sekarang, fokus saja untuk sembuh." sambung Jay
Justin hanya bisa mengangguk, terharu. Ia baru saja kehilangan harta paling berharganya, tetapi kini ia mendapatkan janji dukungan dari lingkaran pertemanan kakaknya.
Axel menghampiri Justin, dengan wajah yang dinilai rumit "Aku minta maaf, Justin. Aku seharusnya memastikan keamananmu."
Justin hanya tersenyum dan mengangguk kecil seakan berkata "tidak apa apa"
Axel kemudian berbalik, menatap Aluna yang tertidur lelap. Ia menatap seragam pelayan itu, yang kini tidak lagi terlihat memalukan, tetapi gagah di matanya.
Malam ini, semua rahasia telah terungkap. Aluna yang rapuh dan tangguh, Justin yang berbakat dan berani, dan Big Five yang kini memiliki tanggung jawab baru.
Dengan Justin yang kini dalam perlindungan mereka, dan Aluna yang rahasianya terbongkar, langkah apa yang akan diambil Big Five selanjutnya .
.....
Aluna masih tertidur pulas di sofa di dalam kamar rawat inap Justin. Kelelahan yang ia pikul selama berbulan-bulan akhirnya mengambil alih. Justin sudah beristirahat, ditidurkan oleh obat penenang.
Jhonatan, yang secara alami mengambil peran komando, menatap ke dalam ruangan sejenak, lalu berbalik menghadap anggota Big Five lainnya.
Jhonatan: "Cukup. Kalian semua pulang sekarang."
Axel Protes "Pulang? Kita tidak bisa meninggalkan mereka. Aluna—"
Jhonatan Memotong dengan nada final " Aluna aman di sini. Ini Rumah Sakit Arthala. Ayahku adalah salah satu pemegang saham terbesar, dan Ayah Yoga yang memilikinya. Tidak ada yang berani menyentuh Aluna atau Justin di sini. Kita sudah memberikan arahan pada perawat di sini. Mereka akan mendapatkan perawatan terbaik."
Jhonatan melirik Yoga. "Yoga, kau tetaplah di sini . Aku ingin kau pastikan Aluna dan Justin tetap aman. Hubungi aku jika ada pergerakan, sekecil apa pun."
Yoga mengangguk. Ia tidak perlu disuruh. Sejak rahasia itu terbongkar, ia sudah mengambil keputusan untuk tetap berada di sana.
Jhonatan: "Axel, Kevin, Jay. Kita sudah tahu siapa pelakunya. Kita tidak akan membiarkan Jovan lolos. Besok pagi, kita bahas. Kita akan menyusun langkah. Kita harus pastikan Jovan tidak hanya dihukum, tapi juga tidak bisa mendekati Justin lagi."
Kevin kini serius "Kami mengerti. Anak itu akan membayar mahal untuk gitarnya Justin."
Jay: "Dan untuk setiap pukulan yang ia berikan pada adik teman kita."
Axel masih enggan pergi. Ia menatap kamar itu, rasa bersalahnya terasa sangat besar. Ia ingin berada di sana saat Aluna terbangun, untuk meminta maaf atas semua yang tidak ia ketahui.
Jhonatan kembali berkata " pulang dan istirahat. Kita butuh pikiran yang jernih besok. Masalah ini tidak akan selesai dalam satu malam."
Satu per satu, Axel, Kevin, dan Jay meninggalkan koridor, membawa pulang rasa marah, keterkejutan, dan tekad untuk membalas.
Tersisa hanya Yoga. Ia mengambil kursi di sudut, agak jauh dari pintu, tetapi posisinya sempurna untuk mengawasi. Ia mengeluarkan ponselnya, tetapi tidak menggunakannya. Ia hanya duduk dalam keheningan, menjadi pelindung sunyi bagi Aluna yang tertidur pulas dan Justin yang terluka.
Malam itu, Aluna tidur nyenyak, tidak tahu bahwa di luar, rahasianya telah mengubah dinamika kelompok yang paling berkuasa di kampus. Ia tertidur dengan aman, sementara yoga menjaganya.
Hanya ada cahaya lampu tidur redup. Justin sudah tertidur di ranjang, dan Aluna terlelap di sofa sempit.
Yoga duduk di kursinya, mengawasi. Ia melirik Aluna. Gadis itu tertidur dalam posisi yang tidak nyaman, tubuhnya meringkuk dan kepalanya tertekuk, masih mengenakan seragam pelayan yang kusut. Ia terlihat begitu rapuh, sangat berbeda dari Aluna yang keras kepala dan tegas di kampus.
Yoga tahu, kelelahan yang ia lihat tadi malam telah mencapai puncaknya.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati dan lembut, Yoga bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri sofa. Ia berlutut di sebelah Aluna.
Yoga mengulurkan tangan. Tangannya yang besar dan hangat dengan perlahan membetulkan posisi tidur Aluna. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Aluna, menopang sedikit kepala gadis itu dengan bantal kecil yang ia ambil dari ranjang kosong di sudut, dan memastikan tubuh Aluna tersandar dengan lebih baik di sandaran sofa.
Saat Yoga menatap wajah lelah itu, ia tidak melihat Aluna, mahasiswi beasiswa. Ia melihat kekuatan, pengorbanan, dan keheningan yang selama ini ia kagumi dalam diam.
Yoga membiarkan tangannya berlama-lama sejenak di sisi sofa, memastikan Aluna nyaman, sebelum ia menariknya kembali.
Ia tahu, perannya sudah berubah. Ini bukan lagi soal menjaga rahasia; ini adalah tentang perlindungan mutlak.
Yoga kembali ke sofa di seberang ruangan. Keheningan dan kelelahan setelah seharian penuh drama mulai menyerangnya. Ia melonggarkan dasinya, bersandar ke bantal, dan memejamkan mata.
Dalam beberapa menit, Yoga Athala – sang pewaris Athala Group, yang dikenal dingin dan kaku – ikut tertidur.
Ia tertidur di sofa Rumah Sakit milik keluarganya, menjadi perisai bagi seorang gadis yang rahasianya baru saja terbongkar, dan adik laki-lakinya yang terluka.
Di tengah malam yang sunyi, Aluna dan Yoga terlelap dalam ruangan yang sama. Keduanya disatukan oleh nasib yang rumit: Aluna dalam kelelahan, dan Yoga dalam tugas barunya sebagai pelindung sunyi yang tak terpisahkan.
....
Fajar di Rumah Sakit
Kamar rawat inap di Rumah Sakit Arthala. Cahaya subuh yang samar-samar mulai menyelinap melalui celah tirai.
Aluna tersentak bangun. Jam menunjukkan pukul lima pagi . Ia merasa bingung sejenak, sebelum ingatan tentang malam yang traumatis itu kembali membanjiri dirinya: seragam pelayan, Justin yang terluka, dan tatapan penuh tuntutan dari Big Five.
Ia segera beranjak dari sofa yang terasa keras. Langkah pertamanya menuju ranjang Justin.
Aluna berdiri di samping adiknya. Justin tertidur pulas, wajahnya yang memar terlihat damai di bawah pengaruh obat penenang. Ia dengan lembut membetulkan selimut Justin, menyeka peluh dingin di dahi adiknya, dan mencium keningnya.
"Maafkan Kakak, Dek," bisik Aluna, rasa bersalah karena membiarkan Justin sendirian terasa menyakitkan.
Aluna kemudian menoleh ke arah sofa di seberang ruangan. Pandangannya terpaku. Ia sedikit terkejut melihat Yoga tertidur di sana.
Yoga meringkuk di sofa yang sempit dan pendek untuk tubuhnya yang besar, hanya mengenakan kemeja yang longgar. Ia terlihat kelelahan, dan postur tidurnya tidak nyaman. Aluna menyadari bahwa Yoga pasti tidak tidur sejak mereka tiba di sini.
Meskipun Yoga adalah pewaris Athala dan pria yang paling ditakuti Aluna karena ketenangannya, saat ini ia terlihat sangat manusiawi dan rentan.
Aluna bergerak pelan. Ia mengambil selimut baru yang terlipat rapi di sudut ruangan. Dengan kehati-hatian yang sama saat ia membetulkan selimut Justin, Aluna menyelimuti tubuh Yoga.
Aluna berdiri di samping Yoga, memandangi wajah pria itu untuk waktu yang lama. Matanya menyusuri garis wajah Yoga yang tegas.
Aluna menyadari, meskipun Yoga tidak bicara banyak, ia adalah yang pertama mengetahui rahasianya, tetapi yang paling teguh memegang janji untuk diam. Ia tidak lari saat kekacauan terjadi; dia yang mengemudi, dia yang memimpin, dan dialah yang kini tinggal dan menjaga saat yang lain pulang.
Di lubuk hatinya, rasa malu yang ia rasakan semalam mulai digantikan oleh rasa terima kasih yang tulus dan mendalam.
"Dia yang selalu ada, tanpa syarat. Dia yang berjanji melindungiku, dan dia menepatinya." pikir Aluna
Aluna tahu bahwa dia tidak bisa lagi menganggap Yoga sebagai teman biasa atau sekadar bagian dari kelompok Axel. Yoga adalah pelindung sunyi yang kini memiliki tempat sendiri di hatinya.