Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 / THTM
Tidak ada yang benar-benar kebetulan.
Elara tahu itu sekarang.
Dan sore itu di tempat fotokopi kecil di sudut jalan, hanyalah satu bagian dari rencana yang ia siapkan diam-diam.
Dompet itu tidak pernah jatuh.
Ia meletakkannya dengan sengaja di bawah meja, di antara tumpukan kertas dan debu mesin fotokopi, dengan alasan yang bahkan Nayara pun tidak akan pernah menduga.
Ia hanya ingin memastikan sesuatu.
Karena beberapa hari terakhir, dunia kecilnya terasa berubah.
Nayara—sahabat yang biasanya ceria, cerewet, dan selalu menatapnya lurus-lurus—mulai berubah jadi sosok yang menutup diri. Tatapannya kosong, geraknya gugup, senyumnya tak sampai ke mata. Elara bukan orang yang mudah curiga, tapi instingnya tajam. Ia tahu sesuatu sedang disembunyikan.
Dan kemudian... ia menemukan sesuatu di ruang kerja Alaric.
Bukan sesuatu yang besar. Hanya selembar foto.
Foto Nayara.
Di atas meja kerja pria itu.
Di antara berkas proyek, dokumen perusahaan, dan surat-surat dari cabang luar negeri.
Awalnya Elara ingin berpikir logis — mungkin Nayara memang mengenal kakaknya lewat urusan pekerjaan, atau mungkin sekadar pertemuan biasa. Tapi semakin ia pikirkan, semakin tidak masuk akal.
Alaric bukan tipe pria yang membawa foto siapa pun ke ruang kerjanya.
Apalagi gadis yang bukan siapa-siapa.
Dan sejak hari itu, setiap kali Nayara terlihat gugup, setiap kali ia berusaha menghindar saat nama Alaric disebut... rasa curiga itu tumbuh seperti duri kecil yang menancap dalam.
Maka, ia mulai menyusun langkah.
Langkah-langkah kecil, tenang, tapi pasti.
Ia kembali hangat pada Nayara, seolah semua baik-baik saja.
Ia tertawa, ia menggoda, ia mengajak makan, bahkan pura-pura tidak memperhatikan tatapan kosong sahabatnya. Semua itu adalah bagian dari rencana untuk melihat seberapa jauh Nayara bisa berpura-pura.
Dan malam itu, di tempat fotokopi...
Elara hanya ingin menguji.
Ketika ia membuka pintu toko dan melihat Nayara berdiri kaku, wajahnya sedikit pucat, matanya seperti menyimpan ketakutan, Elara tahu — dugaannya tidak salah.
Ia hanya pura-pura mencari dompet.
Ia melihat sekilas ke arah sudut ruangan, ke balik sekat kayu di mana cahaya lampu redup tak sepenuhnya menjangkau.
Dan di sana, untuk sepersekian detik, ia menangkap sesuatu.
Bayangan.
Gerakan kecil.
Seseorang.
Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat dadanya menegang.
Namun Elara tetap tersenyum.
Dan Elara tidak menanyakan apa pun. Ia hanya berpura-pura ceroboh seperti biasa. Lalu pergi.
Namun di luar toko, langkahnya berhenti.
Ia berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya sendiri, dan bibirnya mengulas senyum tipis yang tidak pernah muncul sebelumnya.
“Kamu sembunyikan sesuatu dariku, Nayara,” bisiknya pelan.
“Dan aku akan tahu apa itu.”
Sejak malam itu, Elara mulai berubah.
Ia tidak lagi sekadar sahabat. Ia mulai menjadi pengamat yang cermat, pengumpul potongan teka-teki yang disembunyikan Nayara.
Ia memperhatikan setiap kata Nayara, setiap napasnya saat nama Alaric disebut, bahkan bagaimana tangannya sedikit gemetar saat memegang ponsel.
Ia mulai datang ke rumah Nayara lebih sering, menanyakan hal-hal kecil yang tampak sepele tapi sejatinya menjebak.
Dan setiap kali Nayara tersenyum untuk menutupi rasa paniknya, Elara makin yakin — sesuatu memang terjadi antara mereka.
Namun apa?
Cinta?
Rahasia?
Atau dosa?
Pertanyaan itu terus berputar di kepala Elara, dan jawaban yang mulai terbentuk membuatnya takut sekaligus marah.
Karena jika benar yang ia duga...
Kalau Nayara memang terlibat dengan Alaric—
Maka gadis itu bukan hanya membohonginya, tapi juga telah menodai satu-satunya hubungan keluarga yang Elara masih anggap tulus.
Dan itu...
tidak bisa dimaafkan.
Malam berikutnya, Elara kembali ke fotokopian itu.
Kali ini Nayara tidak ada. Lampu toko sudah padam, tapi Elara berdiri di sana cukup lama, menatap dari luar.
Dingin, tapi pikirannya panas.
Dari kejauhan, ia bisa melihat pantulan samar wajahnya di kaca toko. Di dalam bayangan itu, seolah ada siluet lain yang berdiri di belakangnya—tinggi, diam, seperti menonton dari kegelapan.
Ia menoleh cepat.
Kosong.
Tak ada siapa-siapa.
Tapi entah kenapa, Elara tersenyum.
Perasaan aneh menjalar di dadanya, antara takut dan penasaran.
“Kamu pikir aku bodoh, Nayara?”
“Aku hanya menunggu kamu bicara... sebelum aku yang memaksamu melakukannya.”
Senyum itu muncul lagi di bibir Elara — tipis, tajam, nyaris seperti milik Alaric.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya,
bayangan Elara dan Alaric seolah berdiri di sisi yang sama tanpa mereka sadari —
dua sosok yang berbeda tapi sama-sama memegang tali yang menjerat Nayara perlahan.
...----------------...
Tak ada yang berubah di mata orang lain.
Elara tetap gadis ceria yang ramah, murah senyum, dan selalu membawa energi hangat ke mana pun ia pergi.
Tapi di balik senyum itu, pikirannya bekerja tanpa henti.
Ia tahu sesuatu antara kakaknya dan Nayara.
Ia tahu, tapi belum punya bukti.
Dan Elara bukan tipe yang menuduh tanpa bukti.
Karena itu, ia menunggu.
Mengamati.
Mencatat hal-hal kecil yang tidak diperhatikan siapa pun.
Pagi itu, Elara duduk di taman sekolah. Di pangkuannya ada buku catatan yang ia buka pura-pura seperti sedang belajar, padahal di sana, halaman-halamannya penuh coretan nama, waktu, dan tanda tanya.
"Senin – Nayara datang terlambat lima belas menit. Alasan: macet.
Rabu – keluar kelas sebentar, bilang mau ke toilet.
Jumat – terlihat bicara di telepon, wajah tegang.
Sabtu – Alaric pulang malam dari kantor."
Ia menggigit ujung bolpennya pelan.
“Lucu,” gumamnya dalam hati. “Tiap kali Kak Alaric ada di rumah, Nayara selalu tampak... gelisah.”
Senyumnya muncul, samar, tapi dingin.
Bukan tawa ringan seperti biasanya.
Senyum itu lebih seperti bentuk keyakinan — keyakinan bahwa ia sedang menelusuri sesuatu yang besar.
Sore harinya, Elara sengaja datang lebih cepat ke rumahnya.
Alaric belum pulang, tapi mobilnya tidak ada di garasi.
Namun kamar kakaknya... terbuka sedikit.
Elara berdiri lama di depan pintu itu.
Setengah ragu, setengah yakin.
Akhirnya ia mendorongnya pelan.
Kamar itu rapi seperti biasa, tapi ada sesuatu yang aneh:
di meja kerja Alaric, ada setumpuk dokumen, satu map hitam terbuka, dan di antara lembaran kertas, terjepit foto kecil yang sudah ia kenal.
Foto itu sama — foto Nayara, yang dulu pernah ia lihat sekilas.
Tapi kali ini, foto itu ada dua.
Satu di meja, satu di bingkai kaca kecil.
Elara merasakan sesuatu di dadanya seperti tertekan.
Tangannya gemetar, tapi matanya tetap menatap foto itu lama-lama.
Antara marah dan... tidak percaya.
“Kakak... ini apa, sih?” bisiknya lirih.
Ia menutup map itu cepat-cepat, menata ulang meja seolah tak terjadi apa-apa.
Namun rasa penasaran itu sudah terlalu dalam untuk dihapus begitu saja.
Beberapa hari berikutnya, Elara mulai mengikuti kebiasaan Nayara dengan lebih hati-hati.
Ia tahu jam pulang sekolah Nayara, tahu kapan gadis itu bekerja di tempat fotokopi, bahkan tahu kapan gadis itu berjalan sendirian melewati gang kecil menuju rumahnya.
Ia tidak menunggu lama di tempat terbuka.
Ia hanya berdiri di ujung gang, di balik pohon besar, matanya menatap sosok sahabatnya itu yang tampak canggung membawa tas besar dan menunduk sepanjang jalan.
Dan entah kenapa, setiap kali melihatnya seperti itu, ada rasa sakit yang Elara tidak bisa jelaskan.
Bukan cemburu, bukan benci, tapi semacam campuran antara kehilangan dan rasa dikhianati.
“Kamu bohong sama aku ya...”
“Padahal aku udah anggap kamu kayak saudara.”
Suatu hari, Elara sengaja mendekati ibu Nayara yang sedang menyiapkan makan malam.
“Bu,” panggilnya santai, “Nayara kerja di tempat fotokopi itu udah lama, ya?”
Sang ibu menatapnya sebentar, lalu mengangguk.
“ Baru-baru ini neng kan sebelumnya sering sama neng. Tapi emang dari dulu dia suka kayak gitu, Kenapa memang nya non?”
Elara menggeleng cepat, berpura-pura tak peduli.
“Enggak, cuma nanya. Soalnya tadi aku lihat tempatnya ramai, aku pengin bantuin, tapi kayaknya dia udah nyaman kerja di situ.”
Ibunya tersenyum, lalu kembali sibuk di dapur.
Namun Elara diam — pikirannya terus bekerja.
Karena di tempat fotokopi itu...
ia ingat benar, pernah melihat bayangan kakaknya berdiri di sana.
Bayangan yang terlalu nyata untuk dibilang kebetulan.
Malam itu Elara menulis lagi di buku catatannya.
...“Kak Alaric dan Nayara... apa yang kalian sembunyikan dari aku?”...
...“Aku gak akan tanya. Aku akan cari tahu sendiri.”...
Ia menatap tulisan itu lama.
Lalu menutup bukunya, menyandarkan kepala di dinding, dan menatap ke langit-langit kamarnya.
Dari luar, cahaya lampu jalan masuk lewat jendela, memantulkan bayangan samar di wajahnya.
Dan di bayangan itu, untuk pertama kalinya, Elara tampak seperti seseorang yang bukan lagi gadis lembut dan ceria.
Tapi seseorang yang sedang belajar bermain dengan rahasia.
Keesokan harinya, Elara kembali ke tempat fotokopi itu.
Kali ini, ia benar-benar tidak berpura-pura lupa dompet atau barang lain.
Ia berdiri di depan mesin besar itu, pura-pura mencetak tugas sekolah, tapi matanya menatap tiap sudut toko itu — meja, kursi, lemari kecil di pojokan, bahkan pintu belakang yang sedikit terbuka.
Dan di dinding... ia melihat sesuatu.
Kertas foto berukuran kecil, tertempel dengan selotip kusam.
Gambar itu bukan foto Nayara — tapi foto ruang kantor milik Alaric.
Sekejap, darah Elara berdesir.
Ia menatapnya lama, bibirnya bergerak tanpa suara.
“Kenapa ada foto itu di sini...?”
Nayara yang sedang menjaga kasir tampak gugup saat menyadari Elara melihatnya.
Gadis itu cepat-cepat menurunkan pandangannya, pura-pura sibuk menghitung uang receh.
Dan Elara tahu, dari situ saja —
ada sesuatu yang besar yang sedang mereka tutupi.
Ia pulang malam itu dengan langkah tenang, tapi di dadanya, badai kecil mulai terbentuk.
Ia tak tahu kenapa, tapi semakin ia menemukan potongan demi potongan, semakin kuat pula perasaan bahwa ini bukan sekadar rahasia kecil.
Ini sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Sahabatnya.
Kakaknya.
Dua orang yang ia sayangi —
dan sekarang, dua orang yang mungkin telah saling menghancurkan tanpa ia sadari.
“Kalian pikir aku gak akan tahu, ya?”
“Kalian salah...”
Senyum itu muncul lagi di bibir Elara, tipis, berbahaya.
Dan di malam yang sepi itu,
Untuk pertama kalinya, Elara tidak lagi merasa sebagai sahabat yang terluka —
melainkan sebagai seseorang yang siap membongkar kebenaran dengan tangannya sendiri.